Photo by Kitty Gallannaugh |
Tak perlu khawatir.
Sejak awal,
kisah ini sudah Tuhan tuliskan dengan rapi.
Tentu saja mereka akan berakhir dengan indah.
Tentu saja.
Karena nya tenanglah.
Bersama atau tidak,
ini akan selalu jadi aku dan kamu.
Ini akan selalu aku.
Gadis yang pernah menari di bawah rintik hujan,
dan kau marahi habis-habisan karena terkena flu keesokan harinya.
Ini akan selalu kamu.
Pemuda yang rela melewatkan pertandingan bola kesukaannya,
hanya untuk mengirimiku kue ulang tahun tepat pukul dua belas malam.
Ini akan selalu jadi 'aku' dan 'kamu'.
Percayalah.
Tak perlu menangis.
Sejak semua bermula,
akhir dari kisah ini telah Tuhan lukis dengan baik.
Tentu saja mereka akan terlukis dengan cantik.
Tentu saja.
Tuhan terlalu penyayang mencipta akhir yang buruk untuk makhluk-Nya.
Hapus air matamu.
Menangisi perpisahan yang belum nyata adalah tindakan tiada guna.
Siapa yang bisa menerka,
peluk hangat atau lambaian tangan yang Tuhan pilihkan?
Biar bagaimanapun segala kisah adalah milik-Nya.
Namun ini akan selalu jadi aku dan kamu.
Ini akan selalu aku.
Samudera yang lelap memeluk pantaimu.
Ini akan selalu kamu.
Matahari yang rajin menerbitkan bibit ribuan rindu.
Ini akan selalu 'aku' dan 'kamu'.
Yakinlah.
Kelak,
siapa yang mampu menebak.
Apakah kita akan saling menjaga,
atau mencela?
Apakah aku tak akan pernah kehilangan diriku,
dan kamu akan selalu jadi milikmu?
Kepada siapa kepemilikan hati ini kelak bernama?
Sanggupkah kau menebaknya?
Kisah ini telah Tuhan cipta ribuan tahun yang lalu, sayang.
Jauh sebelum kau sempat mengenali senyumku di balik rak buku sore itu.
Jauh sebelum aku melempar kagum akan betapa lugu dan manis perangaimu.
Ribuan tahun jauh sebelum kita saling menjatuhi hati.
Ribuan tahun jauh sebelum kita saling mematahkan cinta sendiri-sendiri.
Jika yang kau pilih di kemudian hari adalah sebuah peluk hangat di penghujung petang.
Diiringi gerimis rintik dan payung yang lebar terbuka menaungiku namun menyisakan basah di pundakmu.
Cincin. Kecup. Dan cinta.
Apakah ini akhirnya?
Jika yang aku pilih di kemudian hari adalah lambaian tangan di teriknya siang.
Ditemani awan yang menggantung malas dan payungku yang tak menyisakan tempat bernaung untukmu.
Tangis. Hening. Dan benci.
Apakah ini akhirnya?
Langit tak pernah cukup pandai bercerita,
kelak ketika kita nyatanya saling membenci,
dan bukan saling mencari.
Karenanya kutitipkan sepucuk surat cinta pada hujan.
Bahwa setidak menyenangkan apa pun akhir dari kisah ini,
ingatlah dengan seksama bahwa aku pernah mencintaimu dengan baik
Kau pernah mengasihiku dengan bijak.
Kita pernah bermimpi tentang tiga orang anak dan sebuah rumah sederhana.
Kau dan aku pernah bercita-cita mengakhiri masa senja,
dengan sepotong peluk, secangkir senyum dan banyak cinta.
Ini akan selalu jadi aku dan kamu, sayang.
Selalu.
Apa pun akhirnya.
Ini akan selalu jadi aku dan kamu.
Walau mereka --nyatanya-- tak akan pernah jadi kita.
*
No comments:
Post a Comment