Tuesday, June 26, 2012

Cermin Perca Bernama Aku.

 

Aku adalah sebuah perca berwarna samar.
Terbentuk entah dari sisa-sisa warna apa di palet yang dipegang Tuhan.
Ia tak berteman.
 Ia sendirian.
Ketika akhirnya Aku mau membuka diri dan berani terbang.
Ia menemukan sahabat berupa cermin.
Cermin perca tak berwujud yang ia namai Kata.

Aku yang pemurung tidak pernah menyukai dirinya sendiri.
Dia selalu merasa ada saja yang kurang.
Aku tidak cantik.
Aku tidak pintar.
Aku jelek.
Aku tidak berguna.
Dia selalu mengeluh.

Lalu cermin bernama Kata itu datang.
Bukan pelukan atau belaian di kepala yang ia beri.
Ia hanya berdiri di depan Aku
dan menunjukkan apa yang dia pantulkan.

"Entah kamu berpikir kamu cantik, kamu pintar, kamu berguna
 Atau kamu berpikir kamu tidak cantik, kamu tidak pintar, kamu tidak berguna
 Kamu selalu benar."

Itu bisiknya.

Sunday, June 24, 2012

Pujangga

Cr to the owner

Selama ini saya selalu meyakini bahwa di diri setiap orang akan selalu ada (minimal) satu sosok pujangga yang mendiami setiap tulisannya.

Mengapa saya bilang ‘minimal’?

Karena ada beberapa orang yang dengan sangat beruntung memiliki lebih dari satu pujangga. Orang-orang seperti ini biasanya tidak pernah kehabisan ide. Tulisannya indah dan terbaca mengalir. Cerdas dan tidak biasa. Selalu bikin saya iri.

Pujangga-pujannga ini tidaklah sama antara satu orang dengan yang lainnya. Mereka punya umur dan sifat yang berbeda-beda. Ada yang wanita, ada yang pria, ada yang sudah tua renta, ada pula yang masih balita. Tidak pernah sama.

Sebagian malah masih tertidur, sementara yang lain justru sedang semangat-semangatnya untuk bersyair.

Nah, untuk kali ini, saya akan bercerita tentang pujangga di dalam tulisan saya.

Ia berjenis kelamin perempuan. Masih muda. Dan sangat perasa. Satu menit ia bisa tertawa-tawa tanpa sebab, di detik berikutnya ia sanggup menuntun jemari saya untuk mengetik puisi bertemakan patah hati. Entahlah. Saya juga bingung maunya apa.

Sampai detik ini saya belum sempat berani memberi ia nama. Yang jelas ia adalah gadis yang sangat manis. Begitu feminin. Senang memakai gaun-gaun yang indah dan sangat membenci saya dalam satu hal. Warna rambutnya merah jambu, dan saya tidak pernah suka dengan warna yang satu itu. Agaknya ia sering ngambek karena saya benci dengan warna rambutnya. Pernah saya meminta ia untuk mengecat supaya jadi merah saja (ini warna kesukaan saya) dan ia malah mogok menulis selama beberapa hari.

Saya angkat tangan.

Gadis ini sudah bersama saya kurang lebih sejak saya kelas 2 SD. Hitunglah... 14 tahun. Tapi ia tidak pernah bertambah tua. Terakhir saya cek, pipinya masih bulat menggemaskan. Satu rona dengan warna rambutnya. Kulitnya masih semulus pantat bayi dan bibirnya masih kecil lucu seperti buah ceri yang baru masak. Mungkin ia adalah makhluk yang punya suntikan obat anti-aging super ampuh. Lain kali saya harus minta resep awet muda kalau begitu.

Berkebalikan dengan saya yang tidak suka hal-hal berbau wanita, ia begitu mencintai segala macam gaun penuh pita-pita  dan rok-rok yang cantik. Dengan motif bunga-bunga dan warna pastel yang lembut. Ia juga senang makan makanan manis seperti kue atau roti. Selain itu, ia juga suka nge-teh di pagi hari dan duduk diam menikmati hujan. Hobinya selain berkebun adalah memasak. Ia senang meracik teh kesukaannya sendiri dari kombinasi beberapa bunga dan rempah serta memanggang kue di minggu pagi (untuk hal yang satu ini ia benar-benar mengingatkan saya akan Diva, salah satu tokoh di buku Dee). Rumahnya mungil dan selalu dipenuhi harum pandan. Berlantai dua dengan dua tempat tidur, ruang tamu, ruang makan, dan dapur yang sangat menyenangkan. Berandanya menghadap sebuah kolam kecil yang berisi beberapa ikan berwarna merah (saya kurang tahu itu ikan apa -___- dan tidak cukup berani untuk menanyakannya). Dan ia senang melihat matahari terbit dan terbenam dari beranda kamar tidurnya di lantai dua.

Gadis ini pemimpi, pendongeng yang senang dengan dongeng-dongeng ber-penutup manis. Alasan mengapa terkadang tulisan saya bisa sangat ‘keji’ di akhirnya adalah karena campur tangan saya sendiri. Sebenarnya gadis ini sudah memberi tawaran ending lain yang yang lebih manusiawi, dan saya memilih yang malah tidak manusiawi sekalian. Haha. Biar bagaimanapun juga yang punya tangan kan saya :p

Orang-orang yang “menuduh” saya ini romantis, menye-menye dan tukang galau seharusnya menuduh gadis yang satu ini. Bukan saya. Celoteh mellow saya di Twitter itu kan ulah dia. Saya hanya bertugas mengetik saja v(-_-)v

Oiya, terpikir untuk menamai gadis ini Iris. Mirip nama saya ya? Tinggal minus ‘R’ saja.

Kalau nama saya dalam bahasa Jawa Kuno artinya ‘gerimis’, Iris ini dalam mitologi Yunani justru berarti Dewi Pelangi dan the messenger of the gods. Keren ya? Kata iridescence (atau kalau yang masih ingat jadi salah satu judul lagunya Linkin Park juga, OST Transformers) yang artinya ‘permainan warna’ berasal dari nama Dewi Iris ini.

Nah, kalau begitu fix namanya ‘Iris’ saja. Cantik :)

Selain Iris, saya yakin ada banyak sekali pujangga-pujangga di luar sana yang masih belum punya nama. Atau mungkin malah tidak diperhatikan. Masih tertidur pulas dan tak pernah dibangunkan. Padahal, saya selalu yakin kalau semua orang pasti bisa menulis dengan baik. Karena semua orang juga pasti punya pujangganya masing-masing.

Maka dari itu, mulai dari sekarang, bangunkan pujanggamu, dan menulislah :)

Saturday, June 23, 2012

Celoteh Random di Siang Hari

Photo by Tina Sosna


Belakangan ini saya sedang kepikiran untuk bisa menggandakan diri. Kalau bisa men-triple-kuartet-kan sekalian.

Mengapa?

Entahlah. Saya rasa-rasanya kekurangan waktu dan tubuh dan tangan dan kaki. Dua puluh empat jam itu kurang cukup. Saya ingin melakukan banyak hal di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan. Contohnya saja sekarang. Saya ingin menulis sekaligus nyetrika baju sambil pergi ke supermarket terdekat untuk membeli persediaan telur dan kopi, sekalian mungkin sambil tiduran membaca novel. Oiya, tidak lupa membaca buku panduan KKN bersampul biru yang belum pernah saya jamah itu dan memulai acara menyampuli semua buku yang ada di lemari dengan sampul plastik.

Banyak ya? Memang.

Sayangnya, saya hanya punya dua tangan, dua kaki, satu tubuh, dan satu ‘saya’. Untuk hal-hal semacam ini rasa-rasanya saya kok iri ya dengan amoeba dan planaria.

Ya Tuhan, ampuni makhluk-Mu yang kurang bersyukur ini.

Sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih menulis diantara sejubel kegiatan lain yang ingin saya lakukan siang ini, kebetulan saya baru saja pulang makan siang dari warung rames sebelah kos. Menunya ada banyak. Saya memilih sayur nangka dan sayur terong beserta telur dadar karena kocek di kantong ternyata tidak banyak. Yah, penderitaan anak kos di akhir bulan.

Saya pulang dengan perut kenyang sambil menenteng satu plastik es susu coklat dan nasi bungkus untuk nanti malam. Kenapa belinya siang? Karena saya tahu, malam minggu seperti ini di dekat kos jarang ada warung makan murah yang buka. Dan saya juga cukup rendah hati untuk sadar kalau nanti malam tidak akan ada yang mau mengajak saya keluar malam mingguan. Jadi, lebih baik sedia payung sebelum badai. Saya sedang bosan makan mie instan malam-malam. Kemarin itu sudah malam kesekian perut saya diisi mie. Mengenaskan memang.

Ngomong-ngomong tentang sayur terong, saya jadi ingat Ibu. Kemarin waktu Bapak dan Ibu pulang kampung, beliau belum sempat masak apapun yang bisa saya makan. Ibu agaknya kecewa harus pulang ke Kalimantan lagi sebelum sempat memasakkan saya apa-apa. Dulu, saya bilang, saya ingin sekali dimasakkan sayur sop yang ada ceker ayamnya. Siang ini, tiba-tiba saya ingin sekali makan sayur terong bikinan Ibu.

Mungkin, nanti malam saya akan menelepon Ibu dan bilang saya ingin dimasakkan sayur terong. Jadi Ibu bisa langsung memasakkannya dan mengirimkan satu rantang via SMS. Haha.

Waktu mengetik tulisan ini saya sedang duduk membelakangi jendela dan menghadap pintu kamar yang tertutup. Dari sini saya bisa melihat dengan jelas betapa kamar saya sama randomnya dengan yang punya.

Ada banyak sekali baju di gantungan dan di kasur (astaga!). Lalu kasur yang tidak ada seprainya, dan lemari buku yang bahkan lebih besar dari lemari baju. Agaknya soal lemari-lemarian ini sudah cukup menjelaskan mengapa saya bisa SANGAT mengantuk kalau di toko pakaian dan melek selebar-lebarnya begitu masuk Gramedia. Ya, untuk saya, buku selama-lamanya berada di kasta yang lebih tinggi dari baju dan segala macam kroni-kroninya. Fashion? Wassalam.

Oiya, sebelum makan saya tersadar kalau saklar lampu di kamar saya bentuknya mirip muka koala minus mulut. Entahlah. Terlihat seperti itu saja di mata saya. Kapan-kapan saya akan menggambarkan ia mulut supaya terlihat lebih unyu.

Hari ini saya berhasil merampungkan novel setebal (kira-kira) 5 cm karangan Tere Liye. Judulnya ‘Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah’. Isinya mengisahkan tentang Borno, bujang berhati paling lurus sepanjang Kapuas, dan Mei, gadis peranakan Cina yang selalu terlihat sendu nan menawan. Setting-nya ada di Pontianak, namun deskripsinya malah mengingatkan tanah kelahiran saya di Banjarmasin. Apalagi soal sepit yang kerap dicantumkan di dalam novel ini. Saya langsung ingat kelotok dan pasar terapung.

Ngomong-ngomong tentang tokoh laki-lakinya, si Borno, saya begitu kagum dengan bujang yang satu ini. Agaknya deskripsi laki-laki idaman saya yang sudah saya cantumkan di tulisan ‘Tentang Saya’ itu sangat mirip dengan si Borno. Pria baik yang tidak neko-neko. Sederhana saja. Tapi manis. Itulah dia.

Aduhai, Bang. Andaikan saja kau itu nyata. Rela aku terbang ke Kalimantan lagi. Mari bertemu dan aku akan naik sepit nomor urut tiga belasmu tiap pukul tujuh lebih lima belas menit.

Beruntung nian Mei dicintai lelaki seperti Abang Borno. Kalau Tuhan punya stok kopian makhluk Adam-Nya yang mirip-mirip seperti si Borno ini, bolehlah aku mengantri untuk dapat satu. Sudi aku menunggu walau dapat nomer antri ke-seratus.

Sambil browsing, tadi saya iseng mencari tahu tentang The Hunger Games. Dulu, saya pikir ini semacam nama game di Facebook. Atau kalau tidak, nama game anyaran yang sedang ramai dimainkan. Tidak pernah sedikitpun saya terpikir kalau The Hunger Games itu judul buku apalagi film. Ya, sumpah serapahilah saya yang kuno ini.

Setelah tahu kalau The Hunger Games itu ternyata novel yang sudah diangkat jadi film layar lebar, saya pun kembali memprediksi, mereka-reka, mungkin buku ini ada kaitannya dengan bencana kelaparan atau semacam permainan yang menuntut kita untuk tidak makan setahun. Ternyata, tebakan saya meleset sejauh 360 derajat. 180 itu masih kurang.

Mungkin saya sudah bisa disamaratakan dengan makhluk gunung yang tinggal di gua. Apa guna ini modem dan laptop. Info kecil pun aku buta.

Saya masih punya banyak sekali novel yang belum terbaca tapi besoknya saya sudah beli buku yang baru lagi. Pemborosan memang. Tapi pasti saya baca kok. Entah kapan.

Ingin sekali saya usul ke pemerintah, Gramed itu sebaiknya tutup saja kalau saya lagi tidak punya uang. Bikin bangkrut. Alasan mengapa saya jadi deposit seperti ini karena ulah siapa lagi kalau bukan toko buku. Ah, bagaimana tempat yang sering kuanggap surga itu bisa berubah jadi momok yang menakutkan. Ya, setidaknya untuk dompet saya.

Terbersit keinginan untuk mulai nulis novel lagi. Ah, mungkin besok. Besok kalau saya sudah punya pacar (Astaga, kalau begitu, selamat menunggu sampai batas waktu yang infinit).

Bagi Anda yang sedari tadi bertanya, menerka, kasak kusuk ingin angkat tangan nyeletuk, “Maksud tulisan ini apa ya?” mohon segera scroll ke atas dan baca lagi judulnya.

Kalau begitu, sebelum dan sesudah, saya mohon pamit.

Wassalam.

Selamat berakhir pekan.





Friday, June 22, 2012

'Anak-anak' Saya

Photo by Klaudia Rataj

Semenjak “berbaikan” dengan diri sendiri, sekarang otak saya seperti dibanjiri banyak sekali ide. Mengalir seperti air. Bertebaran seperti serbuk-serbuk pelangi.

Saya senang karena setidaknya saya mulai terbuka dengan apa yang diri saya coba bisikkan. Saya berusaha memahami “mereka-mereka” yang cerewet di dalam kepala saya. Mereka senang bicara dan ingin pembicaraan mereka saya tuangkan ke dalam bahasa manusia. Makhluk-makhluk di kepala saya ini baru sedikit diumbar saja sudah narsisnya bukan buatan. Hmmm..

*

Sering sekali saya berpikir, kelewat rakuskah saya karena menyenangi banyak hal?

Saya senang menulis, menggambar, memotret, mengedit foto, dan kalau boleh ditambahkan (tapi sudah sangat jarang saya lakukan) saya juga suka menari.

Saya tidak bilang saya ahli dalam segalanya, tapi setidaknya saya menyukai mereka. Saya menyenangi hal-hal itu.

Saya menganggap hobi-hobi itu sebagai “anak” saya yang harus saya rawat dan perhatikan. Sedikit saja saya lengah, mungkin mereka akan kabur dan akan sangat sulit untuk membawa mereka pulang.

Anak pertama saya adalah menggambar. Saya mengenalnya jauh sebelum saya berteman dengan huruf dan angka. Kami berkawan akrab dan ia sering menemani saya ketika orang tua saya pergi. Dulu saya paling sering menggambar di dinding, di lantai dan di buku-buku milik Bapak. Bapak tidak pernah marah. Bapak bahkan mengajari saya menggambar lebih banyak. Dan gambaran Bapak 1000x lebih bagus dari gambar saya.

Lalu yang kedua, menulis. Saya tahu dia, tentu, setelah saya diajarkan bagaimana caranya merangkai huruf-huruf itu membentuk kata, dan kata menjadi kalimat. Melakukannya terasa menyenangkan. Saya bisa mengarang apapun dan menciptakan tokoh sesuka saya. Rasanya seperti bermain Barbie-Barbie-an tanpa Barbie. Waktu kecil, bagian favorit saya adalah ketika mengarang nama. Sekarang, berubah jadi mengarang judul.

Yang ketiga sebenarnya menari. Saya senang menari tradisional seperti tari-tarian Jawa. Tapi hasrat terpendam saya sebenarnya ingin bisa belajar tari Bali. Sayangnya (kalau boleh dibilang sayang), saya sekarang berjilbab dan tidak bisa sembarang menari lagi. Saya ingin ikut UKM tari di kampus, tapi ujung-ujungnya pasti saya disuruh lepas jilbab, jadi lebih baik diurungkan saja sebelum terlambat. Kangen rasanya sama menari. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengobati rasa kangen ini :(

Yang terakhir dan paling gres adalah fotografi. Saya tidak yakin kenapa saya bisa jatuh cinta dengan hobi yang satu ini. Apa karena tren? Kalau iya, saya seharusnya sudah ngebet fota-foto sejak liat teman saya petantang-petenteng bawa kamera-kamera keren awal masuk kuliah dulu. Jadi, saya rasa pesona fotografi tertangkap alam bawah sadar saya tanpa sengaja. Murni karena ‘ingin’. Memainkan Photoshop itu sama seperti mewarnai di gambar yang sudah berwarna. Haha. Aneh ya? Maksud saya semacam re-touch begitu. Jadi ya tugasnya hanya untuk mempercantik. Atau justru memperjelek kalau hasilnya gagal. Yang jelas, saya cinta warna. Mungkin itu juga yang membuat saya senang mengedit foto.

Untuk kegiatan memotret, sebenarnya saya tidak yakin apakah saya sudah bisa disebut fotografer atau belum. Pasalnya, memotret dengan kamera beneran saja saya belum pernah. Mengotak-atik tombolnya juga belum. Bukan karena tidak ingin, tapi karena memang tidak punya. Dan memotret dengan kamera orang itu rasanya tidak leluasa. Takut rusak. Makanya saya cuma bisa bangga jeprat-jepret dengan kamera HP. Sungguh tidak kece.

Tapi ya sudahlah. Katanya keindahan sebuah foto itu tidak dipengaruhi oleh alat apa yang dipakai untuk memotret, jadi saya ambil kesimpulan saja bahwa saya yang masih amatiran sok ini juga bisa disebut fotografer. Haha. Maksa ya? Ben.

“Anak-anak” saya ini perlu dikasih perhatian secara kontinyu. Jangan pernah bosan untuk mengajak mereka bermain sesekali dan jangan pula pilih kasih dengan salah satunya. Selama ini saya berusaha untuk bisa menerapkan sistem “harus bisa mengajak mereka main setidaknya seminggu sekali”. Pokoknya jangan sampai terlantar. Sayangnya, terkadang saya terlalu asyik bermain dengan salah satu dari mereka dan lalu melupakan yang lain.

Anak emas saya untuk beberapa bulan belakangan ini adalah menulis dan fotografi. Mungkin karena tugas kuliah saya yang mengharuskan saya untuk banyak menulis dan karena fotografi adalah anak saya yang baru, jadi saya harus sering-sering mengajaknya main supaya cepat betah tinggal di rumah.

Tapi baru-baru ini saya sudah mulai berbaikan lagi dengan menggambar. Kemarin saya beli sketchbook baru dan berharap bisa mengajaknya bermain lebih sering. Semoga.

*

Mempunyai banyak kegemaran itu menyenangkan. Anggap saja kamu jadi punya banyak jalan untuk melarikan diri ketika stress. Atau untuk mengobati rasa sepimu ketika waktu mulai memuaikan wujudnya.

Saya (masih) tidak bisa membedakan yang mana kegemaran dan yang mana talenta. Tapi saya yakin semua orang pasti punya keduanya.

Saya sebenarnya masih takut dianggap ambisius karena terlihat begitu ‘rakus’ ingin bisa semua hal. Jujur, sebenarnya saya tidak berniat untuk punya ‘anak’ sebanyak itu. Mengurus mereka pun susah. Saya orangnya gampang bosan. Tapi saya berusaha untuk tidak cepat ‘berpaling’ untuk urusan yang satu ini. Mereka ini berguna suatu saat nanti, saya percaya itu.

Mudah untuk mengabaikan ‘anak-anak’ itu dengan alasan, “Ah, kerjaan saya jelek. Nggak sebagus si anu, nggak sekeren si ini”, sementara mereka sebenarnya sedang mengetuk, ingin dibiarkan masuk. Saya membiarkan mereka semua masuk dan jadi ‘anak-anak’ saya karena mereka asyik. Karena saya suka mereka.

Dan karena perbandingan tidak akan membawa saya kemana-mana. Kecuali kalau itu studi banding.

Percayalah, kalau tulisan pun ada tempatnya masing-masing, “anak” kita yang lain juga pasti punya fans fanatik di suatu tempat. Membanding-bandingkan tidak pernah ada gunanya kalau cuma dijadikan alasan untuk berhenti berusaha dan malah menelantarkan “anak-anak” kita yang seharusnya bisa tumbuh dan berkembang.

Seperti halnya manusia, mereka butuh diperhatikan dan dicintai.

Jangan biarkan anak-anakmu jadi rendah diri dan pada akhirnya memilih minggat.

Jelek dan cantik itu relatif.

Dan percayalah, kreativitas itu ada di mana-mana.

*

Kalau kamu yakin Tuhan itu Maha Adil, maka Dia nggak akan bikin makhluk-Nya yang lain punya bakat dan kamu tidak.

Semua orang tentu punya. Tergantung apakah orang itu mau 'mengakui' bakatnya atau tidak. Mencintainya dengan pantas, atau tidak. Menjaganya dengan benar, atau tidak.

Tapi kalau kamu tidak percaya kalau Tuhan itu Maha Adil, kamu boleh abaikan paragraf saya di atas.


Thursday, June 21, 2012

Supernova



Malam ini, setelah sekian lama, saya melahap makan malam saya sendirian. Tanpa iring-iringan musik, tanpa menonton, bahkan tanpa menyalakan laptop sekalipun. Yang saya lakukan hanya terus dan terus menerus nyerocos sambil mengetik... di dalam kepala.

Dan ketika saya menulis tulisan ini, tak ada satupun bunyi yang saya ijinkan terlantun selain desing kipas laptop dan bunyi konstan tak-tik-tak-tik keyboard yang terhantam jemari saya yang sedang semangat-semangatnya jadi babu si otak. Tak merasa tersinggung didikte sekumpulan sel abu-abu yang bahkan tak bisa ia raba.

Sebelum makan malam, saya berhasil menamatkan buku pertama serial heksalogi Supernova karangan Dee. Sebelum makan malam dan sesudah menamatkan buku Supernova pula saya luangkan sedikit waktu untuk berbaring telentang di atas kasur, sambil berpikir.

Seketika saya tersadar, betapa ramainya isi otak saya.

Seperti ada sekelompok ibu-ibu arisan sedang menggosip di dalamnya. Tak pernah berhenti bicara. Saya sendiri saja kewalahan mengikuti topiknya yang selalu berpindah dari satu hal ke hal lain. Kadang berhubungan, kadang jauh sekali tak ada sangkut-pautnya.

Sudah lama sekali jari-jari saya tidak dibiarkan jadi jongos murah hati oleh otak saya sendiri. Sama lamanya dengan saya yang sudah entah sekian tahun menulis tanpa mendengarkan apa yang diri saya diktekan. Pantas, rasanya menulis pun sekarang terasa hambar. Tak ada lagi seninya. Terasa komersil.

Dulu, saya bisa begitu senang menulis tanpa harus takut si ini akan berkata jelek, si anu akan memuji tulisan saya. Tak pernah. Tak ada tekanan, tak ada tedeng aling-aling. Saya menulis semata-mata karena ingin. Karena saya punya sesuatu yang ingin disampaikan. Tak peduli siapa yang baca. Tak sungkan mengetik apa saja.

Sekarang, rasanya saya bahkan takut untuk menghadapi lembar kertas elektronik di laptop saya ini. Selain untuk keperluan mengerjakan tugas dan mengisi blog Bahasa Inggris saya (yang semakin lama semakin saya yakini terlihat sangat bodoh karena isinya cuma ‘sampah’), lembar putih ini jarang sekali saya jamah untuk menulis.

Lalu apa hubungannya curhatan saya tentang dunia tulis-menulis ini dengan novel karangan Dee?

Oh, tentu ada.

Beberapa minggu lalu, salah satu dosen kelas Menulis Kreatif saya bertanya “Adakah penulis yang tulisannya berhasil mengubah hidupmu?” dan saya menjawab “Tidak”. Waktu itu saya pikir, rasanya terlalu hiperbolis untuk mengklaim seseorang bisa punya dampak sebegitu besar kepada orang lain, apalagi dalam taraf “mengubah hidup seseorang”, hanya karena tulisan mereka, terlebih dalam bentuk novel. Buku fiksi. Tak lebih dari kompilasi khayalan si penulis yang berhasil terangkum dalam wujud ribuan huruf.

Well, seandainya pertanyaan itu terlontar saat ini, sekarang, saya akan dengan lantang berkata, “Ya. Ada.”

Dan tanpa perlu pikir panjang nama Dee akan saya ucapkan satu detik sebelum dosen saya bertanya “Siapa?”

Sebelumnya, jauh-jauh hari sebelum saya membaca Supernova, saya sudah dengar banyak bagaimana orang-orang begitu kerap menyelipkan judul ini dalam diskusi-diskusi panjang tentang buku-buku sastra. Tentang bagaimana ia begitu ‘menginfeksi’, begitu indah sekaligus pelik, fiktif namun non-fiktif.

Saya yang pada dasarnya terkadang terlalu bebal untuk mengikuti ‘mainstream’ dan malah sibuk menghaburkan uang untuk membeli novel-novel picisan tentang cinta, sekarang merasa begitu terkutuk karena tak pernah menyempatkan diri untuk bahkan membaca referensi tentang buku ini.

Ya. Terkutuklah saya yang terkadang terlalu gengsi untuk mengikuti mainstream.

Saya sudah pernah baca buku-buku Dee sebelumnya dan mengakui betul bahwa ia telah berhasil membuat saya jatuh bertekuk lutut semenjak membaca kalimat pertamanya. Dee mahir melahirkan untaian kata yang sederhana tapi pas. Tidak berlebih. Terkadang nyiyir dan menyindir. Tapi cerdas.

Namun, untuk menggabungkan kesederhanaan dengan sains... rasanya saya baru baca buku semacam ini ketika menjamah Supernova.

Awalnya saya pikir ‘Ah, buku macam apa ini? Novel? Atau ensiklopedi?’ dan tanpa pikir ulang ingin sekali langsung menutupnya dan lanjut Twitter-an saja. Namun, ada semacam dorongan kecil bahwa ‘hei, kamu harus menamatkannya’ datang dari kepala saya, dan rujukan itu pun tanpa disangka berbuah manis di akhir. Melahirkan potret saya yang tengah melongo antara takjub dan bingung setelah berhasil merampungkan Supernova dan menutup rapi sampulnya.

Buku macam apa ini? Saya bahkan kebingungan untuk menjabarkan jawabnya.

Disini kompleksitas dan kesederhanaan berjalan beriringan. Saling bergandeng tangan dan melengkapi satu sama lain. Ilmu eksak dan cerita fiktif bermain kejar-kejaran berdua. Banyak ambiguitas yang hadir, pertanyaan retorik, kalimat-kalimat yang butuh dibaca dua kali baru mengerti, dan cerita cinta yang menyakitkan sekaligus manis secara manusiawi.

Menurut saya, apa yang menarik dari novel ini adalah karena isinya paling manusia dibanding novel-novel picisan yang pernah saya baca.

Bahasanya berani. Pertanyaannya tak sungkan. Ia membicarakan tentang konsep-konsep teologi dan ilmu eksak dalam satu frame. Begitu juga tentang cinta. Tidakkah itu menakjubkan?

Buku ini punya bahasa yang cerdas tapi tidak sok. Tahu kan kalau ada penulis yang cuma ingin sok terlihat pintar dengan menuliskan istilah-istilah yang bahkan tak ia mengerti? Supernova tidak begitu. Di satu sisi, terkadang, ia terdengar menggurui. Tapi kalau dituduh menggurui, ia juga tidak sepenuhnya begitu. Terkadang, ia terdengar seperti pesimis yang doyan mengkritisi macam-macam, tapi di lain paragraf, ia bahkan terdengar lebih bersyukur dari tulisan-tulisan lain. Kemungkinan-kemungkinan yang lahir di buku ini begitu kompleks. Namun, kompleksitas yang tertuang disini justru berasal dari hal-hal paling sederhana yang mungkin karena saking simpelnya jadi terabaikan untuk dinalar, seperti eksistensi kita sebagai manusia, dan menanyakan pertanyaan yang sebenarnya paling mendasar namun terkadang tabu untuk dipertanyakan, seperti tentang Tuhan.

Saya selalu cinta akan tulisan yang terekam dalam kalimat-kalimat sederhana tapi manis. Simpel tapi tegas. Dan saya jatuh pada poin itu SETIAP membaca tulisan Dee. Selalu.

Buku ini berhasil menyadarkan saya akan betapa pentingnya mendengarkan diri sendiri. Menghargai apa yang otak kamu bicarakan. Mendengarkan celotehnya. Dan bersikap jujur pada hatimu.

Saya tidak tahu dapat pemikiran ini darimana, tapi inilah yang berhasil saya tangkap setelah selesai membaca Supernova. Mungkin ada lebih dari jutaan pesan yang otak saya berhasil tangkap dan endapkan di sela-sela selnya, tapi cuma ini yang berhasil daya ingat saya terjemahkan dalam bahasa manusia yang sanggup terbaca manusia lain.

Well, saya benar-benar menyesal karena membaca tulisan sebagus ini dari pinjaman seorang teman yang membelinya di pasar buku bajakan. Ya, Supernova yang baru saja saya tamatkan ini buku bajakan yang teman saya beli beberapa bulan lalu. Miris.

Sebenarnya saya segan membeli (dan membaca) buku-buku bajakan mengingat saya tahu betul bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang. Sama sekali bukan. Tiap penulis yang berhasil menerbitkan tulisannya wajib ‘dibalas’ dengan harga yang setimpal, yaitu dengan membeli buku aslinya.

Karena siapapun yang pernah menulis, tahu melahirkan (apalagi menerbitkan) sebuah buku itu tidak mudah.

Lain kali, ketika saya telah berhasil mengisi kantong saya dengan kocek yang cukup, saya akan bertamasya ke toko buku dan membeli semua buku serial Supernova yang sudah terbit untuk saya jadikan koleksi pribadi.

Mengingat buku pertamanya saja sanggup ‘menginfeksi’ sebegini parah, saya bertanya-tanya, mau dibuat gila seperti apa lagi ketika saya berhasil menamatkan buku keduanya, dan seterusnya?

*

Ini hanya pemikiran tambahan yang merangkak keluar dari gua persembunyiannya sesaat setelah saya melakukan perenungan sambil menatap langit-langit kamar.

Oke, setelah saya membaca karangan Dee, saya berhasil menyimpulkan bahwa setiap penulis pada dasarnya memiliki gayanya sendiri-sendiri. Indah tidak nya ketika dibaca, itu pembaca yang menentukan. Namun, satu hal yang pasti; tiap tulisan punya fans-nya masing-masing.

Anak SMA yang sedang gencar-gencarnya dibombardir dengan cerita-cerita indah khas teenlit, akan menganggap novel Mira W itu tua dan membosankan, sementara novel chicklit itu terlalu dewasa dan rasanya nggak pas dengan dunia mereka. Para anak-anak kuliahan mungkin bisa berpikiran lain, begitu pula dengan yang sudah kerja, berkeluarga, kritikus sastra, dan sebagainya.

Maka pada intinya tiap tulisan punya nafasnya sendiri-sendiri, punya tempatnya masing-masing.

Seperti halnya manusia yang tidak bisa jadi apapun (jujurlah, kita tidak mungkin kan jadi Spiderman merangkap wartawan?), tulisan pun tidak bisa menyenangkan setiap lapisan manusia. Ia bisa jadi primadona di satu lapisan, dan dianggap kampungan di lapisan yang lain.

Nah, hal ini yang kena banget di saya.

Saya, selama ini, selalu ingin tulisan saya disenangi siapa saja, digandrungi kalangan manapun. Dangkal ya? Memang. Ujung-ujungnya saya pun tidak punya gaya menulis yang tetap. Selalu terpengaruh sana-sini. Di satu waktu saya ingin tulisan saya terlihat imajinatif seperti Rowling, di sisi lain juga terbaca sesederhana Hirata. Lalu setelah membaca Madre-nya Dee, saya ingin menulis topik yang simpel-simpel saja, keesokan hari entah penulis mana lagi yang ingin saya ‘jiplak’ gaya berbahasanya.

Sebenarnya, apa sih tujuan saya menulis? Saya kok jadi bertanya-tanya gini.

Dalam sebuah siklus, menjiplak bisa dibilang tahap awal pembelajaran dimana seseorang diharapkan nantinya bisa mencipta sesuatu yang baru. Dengan meramu apa-apa yang telah ia dapat dari tahap menjiplak tadi dicampur dengan keorisinilan yang dia punya. Saya merasa berputar-putar di tahap yang sama selama belasan tahun saya menulis dan tidak menemukan secercah cahaya sama sekali akan dimana pintu keluarnya. Saya, terus dan terus saja menjiplak. Di titik ini, saya merasa lelah. Tidak. Saya baru sadar kalau saya lelah.

Saya rasa inilah mengapa saya tidak pernah puas dengan tulisan saya sendiri dan selalu mencacinya seperti jerawat yang tiba-tiba nongol di wajah. Ini juga mungkin alasan mengapa saya tidak berani lagi untuk menulis dengan jujur. Tanpa embel-embel takut dicaci atau dipuji orang lain. Terlalu banyak tuntutan. Takut dikritik dan dicap mengkritisi.

Sekarang, saya sedang belajar menghargai tulisan-tulisan saya. Mungkin dulu ia takut terbaca ‘jujur’ karena saya terlalu galak. Saya terlalu keras dengan mereka. Kalau mereka tidak keluar bagus, lebih baik tak usah ada. Tak usah merengek-rengek untuk minta diketik apalagi di-publish di blog. Mungkin, jauh di pojok-pojok kepala saya, mereka menangis ketakutan, meringkuk tak mau keluar. Jadilah mereka habis tertelan ego saya yang kelewat komersil ‘kalau tidak keren, saya nggak mau nulis’.

Menarik ide-ide jujur yang ketakutan itu tak mudah. Tapi setidaknya saya mulai mencoba. Saya akan berusaha mendengarkan mereka yang senang berbicara di kepala saya. Dan lihat, sekarang kepala saya penuh oleh orang-orang mengobrol (lagi). Tidak sunyi sepert biasanya. Untuk kali ini, saya jujur. Dan tulisan tentang orang-orang mengobrol ini bukan sekedar metafora. Karena saya bisa mendengarnya. Sekarang.

Tiap tulisan punya penggemarnya masing-masing. Dan biarpun tulisan saya masih sangat jauh dari kualitas ‘cukup bagus’, setidaknya saya tahu, entah di belahan bumi mana, pasti ada satu orang yang akan jatuh hati pada gaya berbahasa saya.

Dan, maaf kalau tulisan di paragraf atas ini terbaca begitu sombong di mata Anda. Saya hanya sedang berusaha menyuntikkan rasa PD di tulisan-tulisan saya yang masih balita. Masih butuh banyak belajar.

*

Mungkin saya akan banyak menulis di blog ini. Baru kali ini saya merasakan, betapa nikmatnya bisa menulis dalam Bahasa Indonesia.

Friday, June 1, 2012

Surat Cinta Bujang Untuk Gadisnya


Photo by Taya Iv


Kalindra Almira,

Aku tahu mungkin surat ini terlalu lancang mampir di tanganmu untuk kau baca. Aku tahu aku bukan penulis surat yang baik. Bukan lelaki yang pandai merangkai kata-kata untuk gadisnya. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan kalau setiap malam hatiku terus-menerus meronta karena terlalu sempit menampung apa yang dia rasa? Aku hanya laki-laki lemah yang terlalu pengecut untuk sadar bahwa terkadang aku bisa dikalahkan perasaan daripada logika yang selama ini aku junjung. Aku kalah, Kalindra. Aku kalah. Kalaupun kau tak cukup sudi untuk memandang pecundang seperti aku, maka ijinkan loser yang tidak ada apa-apanya ini untuk menuliskan tentang hal yang beberapa hari ini kerap mengganggu tidurnya. Ijinkan aku bercerita tentang gadis yang selama ini kerap mengaburkan konsentrasiku ketika jam pelajaran berlangsung. Sekalipun aku hanya bisa membayangkannya. Membayangkanmu…

Terkadang aku terjaga hingga larut malam, Kalindra. Memikirkan tentang perasaan ‘terlalu lancang’-ku yang kian hari kian membingungkan. Mengapa harus berakhir di kamu? Kenapa harus wajahmu yang selalu mengganggu acara belajarku? Kenapa harus perasaan cemburu padamu yang selalu berhasil membuat mood-ku menjadi buruk sepanjang hari? Dan ketika akhirnya aku berhasil memetik sebuah kesimpulan, aku baru sadar ternyata tidak pernah ada alasan eksak mengapa semua hal di atas selalu berakhir di kamu. Sama seperti caraku mencintaimu, Kalindra. Mencintaimu bukan hal yang butuh alasan. Bukan berarti alasan itu tidak penting untuk disebutkan. Tapi karena alasan untuk mencintaimu itu menjadi terlalu banyak ketika harus dijabarkan. Maka entah mengapa aku menjadi bersahabat dengan Trigonometri ketika sadar bahwa rasa cintaku padamu ternyata sama persis seperti sudut tan 90°. Tidak terhingga. Sulit untuk didefinisikan.

Banyak yang bilang padaku bahwa hakikat seorang lelaki ketika berurusan dengan cinta hanya harus percaya pada waktu dan Tuhan. Begitu juga aku. Hujan selalu mengantarkan segenggam kesimpulan yang sama padaku di penghujung subuh. Bisikan yang sama yang selalu aku dengar. Tentang waktu. Tentang musim yang akan mengantarkanku pada saat dimana suatu waktu aku pasti bisa menyentuhmu. Dan juga Tentang Tuhan. Tentang takdir-Nya yang berjudul jodoh. Tentang apakah kemungkinan namaku dan namaku memang dipasangkan di dalam buku-Nya atau tidak.

Dan jika tidak, bolehkah aku menghapusnya dan menggantinya dengan namamu?

Banyak keinginan yang aku punya seandainya waktu, musim, dan Tuhan itu benar-benar akan mengantarkanku pada masa dimana aku bisa merengkuhmu secara nyata. Bukan sekedar angan. Bukan sekedar mimpi. Bukan sekedar harapan kosong yang bisa kutanggapi dengan kata ‘Ya sudahlah’. Aku punya banyak sekali mimpi tentangmu, Kalindra. Aku nyaris selalu memimpikanmu.

Aku ingin berjalan berdua denganmu di setapak yang sunyi ketika pagi masih basah saat aku tua nanti. Aku ingin kamu yang menyambutku ketika aku pulang. Aku ingin melihat kamu yang tersenyum padaku ketika aku kelelahan setelah kerja. Aku ingin kamu yang merajuk manja padaku karena ingin liburan ke Bali. Aku ingin kamu yang melotot marah padaku karena aku sering pulang malam karena rapat. Aku ingin kamu yang menenangkan aku saat aku banyak masalah. Aku ingin kamu yang menjagaku ketika aku sakit. Aku ingin kamu yang melahirkan anak-anakku kelak. Aku ingin kamu yang selalu menganggapku ganteng ketika aku tak lagi muda. Aku ingin kamu sebagai tempatku pulang. Tapi tahukah kamu bahwa aku pernah bermimpi sebanyak itu?

Kamu tak tahu.

Aku lelaki, Kalindra. Dan pada hakikatnya aku yang harus mencari wanita yang mau aku ajak menjadi tempat untuk memulai segalanya. Berbagi apapun. Aku bujang yang harus mencari gadisnya. Gadisnya yang tak akan pernah berubah melihat bujangnya yang tak akan terlihat seperti bujang lagi berpuluh-puluh tahun yang akan datang. Tapi bagaimana aku bisa mencari gadisku kalau aku sudah tersesat di matamu? 
Karena kalau ada gadis yang bisa membuatku gila hanya karena menatap matanya, aku yakin itu kamu Kalindra. Bukan gadis manapun yang pernah aku kenal.

Pernah ada yang bilang padaku bahwa berlutut adalah bentuk penghormatan tertinggi seorang lelaki ke wanitanya. Pernah kau hitung berapa kali aku berlutut di hadapanmu? Tentu saja tidak. Aku sering berlutut, Kalindra. Tapi kamu tak pernah sadar. Waktu aku mengambilkan bukumu yang jatuh. Waktu aku mengikatkan tali sepatumu. Waktu aku mengambilkanmu bunga. Waktu aku memungut pensilmu. Sadarkah kamu kalau aku selalu berlutut? Merendahkan diriku sendiri di mata gadis yang paling aku sayangi?
Kamu tak pernah sadar.. 

Aku selalu berpura-pura tak membutuhkanmu. Aku selalu membohongi diriku sendiri bahwa kamu bukan gadisku. Tapi bagaimana bisa aku terus membual lagi kalau di setiap mimpi yang aku tahu kau selalu hadir sebagai istriku? Bagaimana bisa aku membual lagi kalau cuma tanganmu yang sanggup menyatu dengan tanganku ketika aku menggenggammu di jalan sore itu? 

Kamu adalah kepingan hidupku yang hilang, Kalindra. Puzzle yang selama ini aku cari. Alasan mengapa aku harus selalu datang tepat waktu untuk berjumpa dengan matahari pagi. Kamu ukiran yang terpahat di kepalaku. Kamu rima yang terselip diantara ribuan bait puisi. Satu-satunya teori yang aku kenal selama aku hidup adalah; ‘aku butuh kamu’ bukan ‘energi tidak dapat dimusnahkan’.

Kau selalu bilang kau tak secantik gadis-gadis yang kerap muncul di iklan pemutih. artis-artis yang sering wira-wiri di layar kaca. Fitur apapun yang melekat di tubuh mereka selalu membuatmu iri dan rendah diri. Gadis-gadis dengan perut rata dan kaki jenjang itu. Wajah-wajah yang selalu mulus nyaris tanpa cela itu. Kau bahkan meragukan apakah mereka pernah jerawatan atau tidak. Tapi tahukan kamu, Kalindra? Gadis-gadis di TV itu bukan apa-apa ketika berdiri di sebelahmu. Mungkin tidak semua lelaki akan memandangmu cantik. Tapi percayalah, di mataku kau bahkan terlihat lebih istimewa dari mereka.
Aku cinta kamu yang sederhana, Kalindra. Yang tak pernah berusaha untuk terlihat paling ‘bersinar’. Yang selalu berkedip lembut di kejauhan malam pukul duabelas. Cahayamu tak pernah membuatku silau. Cahayamu tak pernah membuat mataku sakit. Kamu selalu berkelip redup. Jauh lebih lembut dari semua bintang yang pernah aku lihat. Tapi justru karena itulah aku mencintaimu. Karena kau berpijar sederhana. Karena pijaranmu tak pernah menyakiti mataku. Karena binar kecilmu selalu membuatku tersesat. Jauh ke dalam ruang rindu yang tak pernah aku tau ujungnya.

Aku pernah berandai-andai menjadi laki-laki itu, Kalindra. laki-laki yang akan menghabiskan seumur hidupnya untuk menjagamu. Betapa bahagianya laki-laki itu. Betapa bahagianya dia karena berhasil merebut satu-satunya mimpi yang pernah tumbuh menggila di dalam otak kecilku. Aku pernah berandai-andai menjadi dia. Laki-laki beruntung itu. Laki-laki yang setiap pagi akan selalu tersenyum bahagia karena hal pertama yang akan dia lihat ketika terbangun adalah wajahmu yang masih jatuh terlelap. Terbingkai beberapa helai rambutmu yang nakal. Sementara tanganmu memeluknya erat. Seolah kau takut laki-laki itu pergi. 

Aku mencintaimu dengan sederhana sekali, Kalindra. Dengan radar yang nyaris tak terdeteksi. Dengan polos. Dengan ungkapan tak terucap yang selalu terbawa angin bulan November. Aku mencintaimu dalam diamku. Dalam semua jejak sepatuku ketika aku berjalan di depan kelasmu. Dalam semua putik bunga yang bermekaran di kepalaku ketika mataku menangkap siluet senyummu saat jam istirahat pukul 1 Kamis kemarin. 

Aku mencintaimu dengan isyarat yang jauh lebih tersamar dari apapun. Terikat sederhana di tiap arteri yang berdenyut lembut di pergelangan tanganku. Sesederhana pertemuan kita. Sesederhana setiap mimpi yang aku renda. Sesederhana diamku. Sesederhana senyummu.

Kalaupun waktu, musim, dan Tuhan tak mengijinkanku untuk menyentuhmu kelak, Kalindra. Ijinkan seluruh jiwaku berkata bahwa aku pernah mencintai bidadari kecil itu dengan caraku yang lugu.

Ijinkan aku menyimpan sekeping mimpiku yang tersisa.

Mimpi tentang kita.

Tentang hari saat aku menemukan waktu, musim dan dunia menjadi lebih bersahabat dari hari manapun selama aku hidup. Bukan karena aku kaya raya. Bukan karena tempat yang aku impikan terlampau indah untuk dibayangkan.

Tapi karena aku berhasil menemukan rumah persinggahan terakhirku dengan aman. Rumah mungil untuk hatiku yang lelah.

Tempat pulangku.

Tempat dimana hanya ada aku dan kamu.

Aku disampingmu.

… dan kamu disampingku.