Sunday, February 26, 2012

A Story of A Yellow Balloon

Pic by Jillian

Ada banyak sekali mimpi yang aku punya waktu aku kecil. Betapa semuanya terasa begitu mudah untuk dikhayalkan tanpa perlu berpikir panjang tentang seberapa sakit dan beratnya usaha yang harus ditempuh untuk memenuhi semua mimipi-mimpi itu. Waktu aku kecil, kata ‘mustahil’ tidak pernah ada dalam daftar kamusku. Segalanya bisa aku impikan. Yang aku tahu Nirmala dan Bobo itu nyata. Cinderella atau Timun emas itu ada. Dan mungkin suatu saat aku bisa bertemu mereka ketika berjalan di belokan depan rumah selepas pulang sekolah. Aku tidak kenal kata ‘tidak mungkin’. Aku bisa memimpikan apapun. Dunia dongeng itu benar-benar ada di kepalaku. Tumbuh. Menjelma menjadi kelambu tipis yang besok akan mengenalkanku pada ungkapan pahit bahwa mimpi dan kenyataan harus dipisahkan oleh sesuatu bernama usaha.

Ketika usiaku bertambah sedikit, ditandai dengan bergantinya rok merahku menjadi biru, aku mulai meninggalkan dunia khayalku dan ‘sedikit’ berusaha menjejak bumi. Belajar berpikir bahwa Rong Rong tidak mungkin kucingku yang menyamar menjadi teman seekor gajah dan mendaftarkan diri ke majalah Bobo atau pergi keliling dunia dengan naik balon kuning itu mustahil. Aku jadi ogah hujan-hujanan karena mulai belajar Biologi dan sadar kalau air hujan bisa membuatku sakit. Aku mulai kenal kucir rambut warna warni dan iri melihat anak perempuan lain bisa tampil begitu cantik sementara aku biasa saja. Aku berusaha untuk tidak lagi menangis ketika kesandung di jalan dan lututku berdarah karena takut dibilang ‘kayak anak kecil’.

Aku sibuk melakukan banyak hal. Disibukkan oleh banyak hal. Sibuk memikirkan banyak hal. Sampai akhirnya mimpi-mimpi kecilku itu mulai terlupakan dan berganti dengan kegiatan ‘sibuk menjadi dewasa’. Negeri dongengku pupus. Oki dan Nirmala meninggalkan kepalaku.

Siklus yang sama terulang kembali waktu rokku berganti warna. Yang tadinya biru kelam jadi abu-abu tua. Mimpi-mimpi kecilku kini benar-benar hangus bahkan tanpa menyisakan abu. Persoalan ‘cinta’ dan tetek bengek remaja mulai memenuhi ruang-ruang di kepalaku yang lantas berhasil menggusur habis tanah negeri dongengku yang dulu setia menemaniku berkhayal sebelum tidur. Fisika, Kimia, Matematika dan apapun itulah yang orang-orang sebut sebagai ‘pelajaran’ berhasil mencuci bersih semua ingatanku tentang balon-balon, gulali, arum manis, mimpi keliling dunia, dan kantong ajaib Doraemon.

Semuanya, tanpa memberiku kesempatan untuk mengunci mimpi-mimpi kecil itu di dalam kepalaku, pergi begitu saja membiarkan aku yang masih sibuk menjadi dewasa. Sibuk mengenal cinta anak Adam tanpa ingat bagaimana balon kuning itu juga mencintaiku dan bahkan menemaniku membangun negeri dongeng bersama Nobita dan Ninja Hattori.

Kini, ketika aku mulai merasa umurku tak lagi muda, tak lagi disibukkan dengan perkara ‘sibuk menjadi dewasa’ atau acara gengsi-gengsian ala remaja labil, aku diingatkan kembali akan memori tentang negeri dongengku yang dulu terbakar dihanguskan urusan cinta dan sekolah itu karena mendengarkan sebuah lagu. 

Hatiku tiba-tiba menghangat…

Adalah sebuah lagu dari boy group asal Korea Selatan bernama DBSK yang mengingatkanku akan memori kecil itu. Judulnya Balloon. Berhubung bahasa yang mereka gunakan untuk menyanyi benar-benar tidak aku mengerti, maka Google-pun membantuku mencari terjemahan liriknya sebelum –pada akhirnya- aku sadar hatiku terasa memanas ketika membacanya. Arti dari lagu yang kekanak-kanakan itu ternyata jauh lebih ‘dalam’ dari tebakan awalku.

Aku terdiam di kamarku beberapa waktu. Menghimpun kembali puing-puing kenangan masa kecilku yang dulu aku retakkan begitu mudahnya. Mencoba berkenalan lagi dengan mimpi-mimpi sederhanaku yang dulu tak sempat aku simpan dan kunci di dalam peti emas. Kini, ketika Oki, Nirmala, Coreng, dan P-Man mulai berdatangan untuk menemaniku menemukan Negeri dongengku lagi, aku merasa aku mulai merindukan perasaan bagaimana aku dulu begitu penasaran akan menikah dengan siapakah Sizuka besok? Dalam hati aku sangat berharap itu Nobita dan bukan Dekisugi. Karena biarpun Nobita bodoh, aku tahu dia anak yang baik. Aku ingat sekali pintu ajaib Doraemon mengaburkan muka suami Sizuka di masa depan ketika Nobita mencoba melihatnya. Ah, betapa rindunya aku menonton kucing berwarna biru itu setiap minggu pagi jam delapan. Sampai sekarang Pintu Kemana Saja-nya masih membuatku iri setengah mati. Andaikan aku punya satu, aku pasti bisa menjemur pakaian di Gurun Sahara, membuat es batu di kutub selatan, merampok bank semauku, jalan-jalan sore di Prancis, lari-lari pagi di Jepang, bahkan mungkin aku bisa menyusup ke kamar salah satu personil  DBSK yang aku sukai itu dan menonton mereka terlelap. Aku juga bisa pergi ke masa lalu. Memperbaiki semua nilaiku dan masuk ke fakultas yang aku inginkan. Aku bisa melakukan apa saja.

Aku ingat sekali dulu ingin tidur siang di atas awan. Rasanya pasti empuk sekali. Lembut. Dan di sana pasti sangat sejuk karena banyak angin. Dulu aku berpikir, kalau suatu hari nanti aku bisa naik pesawat, aku akan membuka jendelanya dan melompat ke atas awan yang paling tebal (sekarang aku baru sadar kalau jendela pesawat terbang tidak mungkin bisa dibuka sesuka hati seperti jendela bis). Lalu aku ingin sekali punya pensil ajaib yang bisa memunculkan apapun yang kamu gambar. Juga punya jin yang tidur di dalam kerang.

Kalau aku melihat langit, aku selalu berpikir surga ada persis di baliknya. Dan dengan tangga yang cukup tinggi, aku bisa menggapainya dengan mudah dan mengintip surga barang sedikit. Ingin tertawa rasanya kalau ingat betapa pandainya dulu aku berbohong tanpa ketahuan dan tiba-tiba bertobat hanya gara-gara membaca buku “Siksa Neraka” bergambar dan melihat orang yang suka bohong besok dipotong lidahnya.

Aku takjub akan kenyataan bahwa mimpi-mimpi kecil yang luar biasa itu, khayalan simpel yang terdengar bodoh itu, bisa begitu mudah dilupakan ketika aku tumbuh dewasa. Ketika aku sibuk menjadi dewasa.
Di balik keremangan kamarku di sore hari menjelang maghrib, rasa rinduku akan masa kecil yang sederhana itu datang menjelma menjadi butir-butir air dan senyum. aku jadi sadar mengapa aku begitu mencintai pemandangan langit sore selepas pulang kuliah. Langit itu mengingatkanku akan langit yang sama yang sering aku lihat sebelum berangkat ke masjid waktu aku kecil. Jingga yang sama. Yang sering menemaniku duduk-duduk di depan rumah sembari menunggu adzan berkumandang. Langit jingga itu selalu ku umpamakan suatu perayaan menyambut malam. Sebentuk pesta syukuran karena sampai warna hitam menutupi keseluruhan mega, aku masih diberi nafas untuk hidup. Masih diberi kesempatan untuk memandang bintang-bintang-Nya.

Mengingat umur yang kian hari kian menua ini, rindu rasanya ingin berada di situasi seperti dulu. Di mana beban hidup belum seberat ini. Di mana tanggung jawab belum menjadi keseharian. Bebas berlarian sesuka hati. Berbuat apa saja. Meminta apapun.

Sekarang, ketika aku mulai tahu bahwa hidup tak semudah seperti yang bisa aku khayalkan, yang aku tahu aku hanya perlu bertahan. Berjuang. Berusaha. Ingin sebenarnya kembali membangun negeri dongeng di kepalaku. Agar aku bisa melarikan diri kesana bersama Ibu Peri dan Barbie ketika aku sedang patah hati karena IPK yang anjlok. Atau mungkin hanya untuk beristirahat sejenak melepas kepenatan menghadapi dunia nyata yang tak pernah lelah memberi masalah. Mungkin di sana aku akan berguna menumpas kejahatan bersama pahlawan Lalat Baja Hitam, Power Rangers, dan Ultraman. Mungkin aku akan hidup bahagia selamanya.

Aku tersenyum akan perasaan hangat yang tiba-tiba menyentak di segenap nadi. Membawa aliran panas suam-suam kuku itu mengalir ke dalam tubuhku. Membawa kehangatan yang tersisa dari jantung menuju ujung jariku, kepalaku. Memenuhi seluruh selku akan kenangan berbelas tahun silam saat dunia masih sangat mencintaiku. Saat aku masih begitu mencintai mimpi-mimpi kecil yang tak terjamah itu.

Sekalipun kini aku tak bisa lagi tinggal dan membangun kembali semua puing yang berhasil kuhancurkan, setidaknya aku cukup mematri janji bahwa aku tak akan lupa aku pernah berkhayal berangkat sekolah naik dinosaurus ataupun karpet terbang.

Mungkin besok, ketika aku sedang bosan setengah mampus duduk saat perkuliahan berlangsung, aku bisa memandang keluar jendela, melihat langit, dan membayangkan ada balon kuning melayang di sana menungguku terbang untuk main perosotan di atas pelangi. Atau tiba-tiba Giant dan Suneo muncul dengan baling-baling bambunya mengajakku main ke rumah Nobita karena Doraemon punya alat baru untuk berwisata ke Planet Saturnus.

Sore yang berawan itu berhasil aku tutup dengan menonton sekawanan burung pulang ke sarangnya dilatari langit yang mulai menggelap. Lamat-lamat, yang aku tahu, perasaan hangat itu hadir lagi di jantungku. Diam-diam. Tak perlu banyak bersuara. Cukup dengan sentakan sederhana tapi langsung mengendap di dasarnya.

Aku tersenyum. Sadar bahwa Bobo, Paman Gembul, Oki, Nirmala, Bona, Rong Rong dan teman-teman lain ikut duduk disampingku menemaniku menonton langit sore.

Sebuah balon kuning terbang dari dalam kepalaku. Membawa pesan kepada Tuhan, langit, dan semesta-Nya, tentang tekadku yang akan menggenggam mimpi-mimpi tak terjamah itu erat-erat, menguncinya dalam sebuah peti emas sampai tiba suatu masa, saat aku duduk di kursi goyang menikmati hari tua dan bercerita pada cucu-cucuku. Mengenalkan mereka pada sepetak negeri dongeng.

Sebuah Wonderland yang tak akan pernah dimiliki Alice manapun.


  
Balloon

During my past childhood
I dreamt a beautiful dream about riding a balloon and flying
If a yellow balloon flies in the sky
My heart remembers beautiful memories
My dream as a child
Was to ride a yellow balloon and fly high into the sky
I forgot about that small dream
And lived till now because I grew up too much
But when I’m miserable
I want to run around and to play like a child
Filling a balloon full of my small dreams
I can’t understand why tears come out when I look at the sky
I wonder
Why you forgot the tiny childhood when you become adult?
At the times I want to just fly high into the sky
With my forgotten dreams and memories
Though time passes
Though I forgot
Will it be possible to contain it in the yellow balloon?

-DBSK-


Akupun terbang. Aku tiada.

Photo by Rona Keller

Aku pemuja yang dikalahkan hujan dan dimaki pelangi. Aku menyedihkan. Aku tak berteman. Tapi aku mencintaimu. Aku bahagia.

Aku pemuja yang menari bersama badai kupu-kupu. Riang. Tak terbebani. Tapi kau tak pernah peduli. Aku selalu sendiri. Maka akupun terbang. Aku tiada.

Friday, February 3, 2012

Yang Tak Tersentuh

Photo by Oprisco

Kubuat tulisan ini berdasarkan bau tanah basah yang kuhirup di sesorean tadi. Ketika hujan rintik-rintik menjamah atap kosanku dan lagu Owl City melenggang santun di telinga. Ada satu-dua potretmu yang melintas di otak kecilku. Aku enyahkan saja. Percuma juga memikirkanmu. Kalau tidak gila, hanya stress tak berkesudahan yang kudapat. Percuma bukan?

Kau juga tidak akan pernah jadi milikku.