Sunday, January 12, 2014

Memeluk 2013

Credit pic goes to the owner


Sudah tanggal dua belas di bulan Januari, dan saya baru sempat menuliskan sebuah surat singkat untuk melepas tahun 2013. Tak apa. Orang malas bilang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sebuah kalimat pembenaran yang sebenarnya cuma obat pelega saat melakukan keterlambatan yang sama.

Sebenarnya 2013 bukanlah tahun yang cukup oke untuk dihadiahi catatan (yang seharusnya ditulis) akhir tahun. Buat saya sih, 2013 adalah tahun yang penuh dengan hari-hari kelabu. Mendung. Hujan tidak. Panas juga enggak. Tahun yang galau apakah ingin mengubah dirinya jadi lembaran 365 hari penuh musim dingin, atau musim panas saja. Yah, begitulah. Saya tak menganggapnya istimewa. Walaupun notabene saya berhasil menanggalkan status "mahasiswa tua" saya di tahun ini, saya tetap bersikeras tidak ingin menganggapnya tahun yang kece. Jahat ya?

2013 adalah tahun yang sedih. Tahun yang pilu namun enggan meneteskan hujan. Tahun yang ingin tersenyum, namun lengkung bibirnya kadung terbawa angin menjelang kemarau panjang. Tahun yang pura-pura kuat. Dan walaupun saya tak ingin menyebutnya tahun yang oke, namun saya ingin sekali mendekap erat 2013.

Ada sebuah peluk yang harus saya kirimkan.

*

Apakah menyenangkan belajar menguatkan dirimu sendiri?

2013 punya banyak jawaban untuk kalimat di atas. 

2013 adalah tahun yang gamang. Tahun sendu yang tak tahu ke mana harus berpulang. Jika boleh dianalogikan, ia ibarat detik-detik sebelum kamu terjun dari atas jurang. Ia adalah paduan tanah kokoh tempat pijakan terakhirmu, dan udara lepas.

Banyak catatan akhir tahun 2013 milik orang lain yang saya baca. Kebanyakan dari mereka berisi berita-berita menyenangkan nan mengenyangkan. Seperti kue-kue yang baru saja keluar dari panggangan. Padat, empuk, dan harum. Sementara 2013 milik saya, ia tak ubahnya rengginang setengah gosong yang toplesnya lupa ditutup. Melempem, tak renyah dan pahit.

Tahun ini dibuka dengan larutan sakarin yang terlampau banyak. Mengakibatkan bulan-bulan setelah Januari berubah bak air didihan daun bratawali yang masih mengepul hangat. Tidak enak. Tapi ya gimana? Dia obat. Dia obat saya untuk kuat berjalan di bawah hujan-hujan tabah yang turun di bulan Juni. Obat ini tentu tidak seratus persen manjur. Namun dengannya saya kemudian dikuatkan untuk meletakkan tanda titik di garis yang pernah lancang saya goreskan. Karena hal ini lah saya menganggap 2013 adalah tahun yang (sok) kuat. Tahun yang sedang belajar untuk menguatkan dirinya sendiri

Banyak hal-hal "remeh" yang 2013 selipkan di bulan-bulannya yang kelabu. Mereka menuntut saya untuk menemukan mereka. Satu per satu. Atau semua sekaligus. Seperti serpih-serpih hati yang April simpan rapi. Kantongnya adalah nisan untuk para pencinta yang nekat mematahkan hatinya sendiri. Atau krisis percaya diri paling akut yang Agustus coba tawarkan. Enam bulan terakhir di tahun 2013 ini saya bahkan berhasil menemukan cara ampuh untuk malas membaca dan menulis.

November berhujan kemarin, yang seharusnya begitu mudah membuat saya jatuh hati, nyatanya malah menghadiahi saya sebuah kotak kejutan, kotak pandora. Apa yang akan keluar dari sana, saya tak bisa tebak. Bulan kesayangan saya ini rupanya ingin mencoba mengajak saya menggambar rencana-rencana. Tanpa ia mengerti, saya bahkan sedang kesulitan untuk membeli polpen.

Mengingat 2013 bukanlah kawan yang gembira, saya memutuskan untuk mengakhiri tahun sedih ini sendirian saja. Menemaninya menikmati detik-detik sebelum ia memuai dan pergi dengan bergelung di balik selimut sambil maraton film. 2013 meletakkan kepalanya di pundak saya, menarik napas dalam, lantas menghembuskan semua masalahnya ke udara. Saya merengkuh tubuh ringkihnya lima detik sebelum jarum jam memeluk angka 12.

Ia menangis.