Sunday, October 14, 2012

Untukmu.


Photo by Januarain


Pernah ada masanya aku mengenal seorang gadis cantik dengan secarik kain sebagai penutup kepala.

Senyumnya manis.

Begitu sungkan aku untuk menyapa.

Penutup kepalanya membuatku yakin. Ah, gadis ini begitu pandai membahagiakan Tuhannya.

Ia memegang teguh amanat yang ia pilih.

Secuil hatiku kembali dicuri.

Lepas dari senyumnya yang menawan, akhlaknya pun ternyata menyejukkan pandang.

Siapa yang tak ingin menyunting bidadari seperti dia? Tentu tak ada.

Namun, tahun yang menumpuk di atas pundaknya ternyata tak jua mendewasakan pikir.

Ketangguhan imannya diuji.

Di hadapan cinta, siapalah dia? Siapalah kita?

Bercak nila menambah warna di kerudung putihnya tepat saat bibirnya terlumat, pipinya terkecup, dan tangannya tergenggam.

Kepada ia yang tak kau tahu akan mengiringimu sampai kapan, sepasang janji dan amanat yang telah kau beri untuk Tuhan terpaksa digadaikan.

Kepada ia yang tak kau tahu sampai kapan janjinya berlaku, kesucian sahihmu telah kau berikan tanpa gagu dan ragu.


Gadis manis, malam ini bersama kain penutup kepalamu aku menangis.

Kain itu masih ada di sana, masih di atas kepala.

Tapi kini aku tak lagi melihat apa fungsinya.

Ia tak sanggup membentengimu. Pun kamu tak pula menghormati tugasnya untuk melindungi suci yang seharusnya kau punyai.


Gadis manis, aku rindu kain penutup kepalamu yang dulu.

Yang janjinya tak kau palsukan dan tugasnya tak berusaha untuk kau gagalkan.

Hei, (yang seharusnya) calon bidadari surga, kau begitu dirindukan semesta.

Tuesday, October 2, 2012

Hello, Goodbye

Photo by Tina Sosna


Kau tahu?

Kalau mau sedikit dicerna, hubungan ini sebenarnya begitu membingungkan.

Aku tahu apa maumu dan tentu lebih dari sangat tahu apa mauku.

Hubungan ini kurang lebih memiliki irisan persamaan di antara keduanya. Sebuah ruang kecil diantara sepetak-nyaris-penuh perbedaan. Dan itu berarti kita punya mutual-agreement yang sama. Sama-sama menguntungkan, sama-sama memuaskan prinsip masing-masing. Dan hubungan ini tidak menyakiti. Sama sekali tidak. Atau mungkin, belum.

Namun entah mengapa, kecemasan-kecemasan selalu hadir bersama sesuatu yang belum pasti. Seperti cinta, pada misalnya. Karena dalam cinta, semua yang kamu yakini hanyalah himpunan dari banyak kemungkinan. Atau mungkin, ketidakmungkinan.

Memahami dan menghormati prinsipmu adalah hal yang mudah. Aku yang sulit menyesuaikannya dengan diriku sendiri. Karena hubungan ini menuntut kita untuk saling jatuh cinta dan patah hati di waktu yang bersamaan. Di permulaan. Dan ini tak mudah.

Pada akhirnya, kecemasan akan kemungkinan pun kembali. Pulang ke dalam dekapan pikir yang tak pernah tenang. Membuat perempuan yang selalu merasa insecure ini bertanya-tanya, “Cukup berarti kah aku untuk kamu pertahankan?” Sebuah pertanyaan yang dulu aku lemparkan padamu dan kamu jawab dengan sangat bijaksana. “Aku tidak tahu. Mungkin aku harus membenahi diri lebih baik dahulu.

Cerita ini belum berakhir. Kata ‘tamat’ belum diketik dan tirai belum ditutup. Ending seperti apa yang akan mengubur dalam semua kemungkinan-kemungkinan itu jelas masih jadi misteri yang tak seorang pun tahu. Baik kau maupun aku.

Aku yang lelah merutuk hanya bisa berdoa dalam kepenatan yang jenuh bahwa sekiranya Tuhan mau jaga hatimu sampai entah kapan. Mungkin sampai kamu lelah dijaga atau mungkin sampai aku capek menunggu.

Maka sebelum semuanya tercetak jelas, aku ingin belajar menyingkirkan dulu gagu dan ragu. Ketakutan akan masa yang dalam ketidakpastiannya mungkin hadir. Hari ketika kamu mengajakku bertemu (lagi) di tempat pertama kali kita menikmati segelas jus alpukat dan teh manis bersama, dan lalu berkata dengan segala kebersahajaanmu bahwa kamu memutuskan untuk memilih perempuan lain yang lebih luar biasa.

Dan aku harus tersenyum untuk kalimat itu.

*

Batas itu ada, sayang. Kita yang tak bisa melihatnya. Dan kalaupun Ia berkehendak untuk membuat kita terus maju, lari, dan lalu berhenti di batas itu, berdua, atau tidak berdua, maka terjadilah yang seharusnya terjadi.