Tuesday, January 29, 2013

Jangan mau jadi bodoh

Photo by Nishe

Cinta itu hebat ya? Ia adalah satu dari sekian banyak perasaan yang mendapat kehormatan untuk diperhatikan secara berlebih. Dibesar-besarkan seolah-olah tanpanya manusia kemudian tak mampu menghirup oksigen dengan baik. kehadirannya begitu dinanti. Kalau kamu belum pernah kejatuhan dia, kamu dianggap pribadi yang kurang beruntung. Cupu. Nggak laku.

***

Mereka yang rela menjadi bodoh karena cinta dan pria, adalah perempuan-perempuan yang merugi.

“Jatuh cinta lah yang pintar.” 

Itu adalah pesan dan doa yang sesering mungkin saya bisikkan kepada diri saya sendiri. Sudah cukup sampel yang mampu saya ambil untuk membuktikan bahwa terkadang cinta mampu membuat otakmu kemudian gagal berfungsi. Sepandai apa pun kamu di bidang akademik. 

Terutama pada kaum perempuan, urusan cinta-cintaan ini kadang mampu membangkitkan tawa. Seperti lelucon. Bagaimana perasaan yang satu ini kemudian mampu mengendalikan mereka dengan begitu mudah. Hanya karena mereka berteman lebih baik dengan yang namanya emosi dibanding kaum pria.

Saya pernah berada di satu titik di mana rasa muak kemudian bersahabat akrab dengan yang namanya cinta. Mungkin karena terlalu sering jadi ‘tempat sampah’, saya lalu mendapat banyak contoh bahwa pembodohan akan lebih mudah menular ketika hatimu sedang dimabuk asmara.

Saya pikir jadi jomblo kadang lebih baik dari mereka-mereka yang ngaku-ngaku jatuh hati. Setidaknya pikiran saya lebih jernih. Mata saya tidak dipaksa buta. Telinga saya pun tak diijinkan untuk sengaja menuli.

Haha. Anggaplah ini salah satu cara saya untuk menghibur diri karena tidak laku-laku seperti kamu-kamu yang sedang berpacar.

Atau mungkin sekedar untuk pencitraan.

Sering galau itu capek. Kebanyakan prasangka ini-itu yang kurang baik malah bikin kamu sakit hati sendiri. Mengharap berlebih ujung-ujungnya juga nggak bagus.

Lalu gimana?

Ya jangan spesialkan. Anggaplah bahwa cinta itu sederajat dengan perasaan-perasaan lain. Sama dengan marah. Sama dengan senang. Sama dengan sedih. Tahu apa yang terjadi dengan tiga perasaan terakhir tadi? Ya. Mereka mudah dikontrol asal kita mau.

Lalu kenapa cinta tidak? Kenapa kita sulit mengontrol cinta dan anak-anaknya? Si cemburu? Si prasangka? Si galau?

Itu karena kita cenderung menganggap cinta itu spesial. Si mahanya perasaan. Hanya karena cinta mampu hadiahi kamu sejuta kupu-kupu dan gelenyar yang berbeda di jantungmu, lantas kamu menganggap ia berkuasa?

Salah.

Yang pegang kendali itu tetap kamu. Bukan cinta.

Jangan turunkan derajatmu sebagai perempuan dengan melakukan pembodohan-pembodohan tak perlu. Kamu akan selalu lebih berharga dari sejumput perasaan yang mudah datang dan pergi. Pahami itu.

Saya kerap sedih mendengar beberapa perempuan berkeluh kesah atas permasalahan yang di mata saya tampak begitu simpel dan jelas jalan penyelesaiannya. Mereka berputar-putar di satu masalah saja. Yang berulang. Yang seperti tidak ada ujungnya. Dan sebanyak apa pun jalan keluar yang saya coba untuk tawarkan, mereka menolak. Enggan. Dan lalu kembali berputar-putar di permasalahan yang sama. Seolah-olah ingin terus berada di sana. Menampik untuk ditarik. Atau seperti sengaja dibutakan akan jalan pulang. Yang ada mereka justru semakin menyakiti perasaan mereka sendiri. Galau tentang hal itu dan itu lagi.

Lalu apa gunanya saya memberi saran walau mereka minta? Tak ada. Toh saran saya tidak didengar. Mereka cuma butuh telinga. Namun telinga tak mampu berbuat lebih kalau yang punya masalah saja tidak pernah berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri.

Yang ada kantong-kantong telinga ini kemudian penuh. Berisi cerita yang diulang-ulang sama. Tanpa perempuan-perempuan itu tahu, kunci jalan keluarnya sudah tersimpan rapi di dalam kantong mereka sendiri. Hanya saja kebanyakan perempuan lebih menyenangi tempat bernama kesedihan. Entahlah. Walaupun tahu persoalan yang sama akan mencipta lebih banyak luka, perempuan-perempuan ini lebih gemar mengobrolkannya daripada mencari cara untuk lekas lupa. Aneh bukan? Tak habis habis. Seolah-olah tanpa galau sehari mereka lantas mati.

Sama halnya dengan jatuh cinta, kronologi hati yang patah dan tetek bengeknya kalau semakin sering ditulis akan semakin mudah diingat. Kalau begini, saya pun bingung dengan beberapa orang yang bermimpi ingin cepat move on namun masih sering gembar-gembor luka pasca putus.

Saya belum pernah putus cinta sih. Tapi saya lihat beberapa orang sanggup kok patah hati dengan elegan. Pun jatuh cinta dengan cara yang sama. Lantas kenapa tidak dicoba?

Sekali-kali belajarlah seni rahasia. Selagi kamu bukan artis, hargailah dengan baik sesuatu yang orang sebut ‘privasi’. Sekalipun itu privasimu sendiri.

***

Monday, January 21, 2013

Harga Sebuah 21

Photo by Nirrimi

Belajar jadi dewasa itu mudah. Asal mau. Contohnya gampang. Tau mana-mana yang harus di-share di dunia maya, dan mana-mana yang pantas disimpan sendiri.
Aku yakin dirimu pun butuh privasi, sayang.
Jangan buat masalahmu jadi drama untuk mereka yang tak mengerti. 

*

Dua hari yang lalu, tepat tanggal 19, saya baru saja mengurangi satu angka lagi untuk jatah saya hidup dengan memecahkan telur setelah angka dua dan menggantinya dengan bilangan pertama. Ribet? Haha. Saya sudah resmi 21. Intinya gitu sih. Angka yang sudah sebagian besar teman-teman seangkatan saya lewati tapi baru saya cicipi kemarin lusa. Nggak ada yang istimewa sebenarnya. Bertambahnya umur nyatanya bukan jaminan bahwa saya akan langsung berubah drastis jadi lebih rajin dan semacamnya. Korelasi di antara penurunan kurva tingkat kemalasan dengan bertambahnya angka di bilangan umurmu tampaknya tidak begitu signifikan terlihat. Mmm, atau mungkin hanya saya saja yang begitu?

Ngomong-ngomong tentang 21, saya menyambut umur yang baru ini dengan hari-hari yang begitu sibuk. Oh, dan juga sendirian. Itu pun kalau hujan dan Tuhan tidak saya hitung. Pasalnya semua teman-teman saya pulang. Dan saya harus berkutat di depan laptop nyaris seharian penuh. Mata sampai penat dan punggung rasanya melengkung masuk. Capeeeek sekali. Tapi alhamdulillah. Lelah ini pun ada karena setumpuk rasa percaya yang dititipkan orang-orang kepada saya. Untuk apa mengeluh kalau ujung-ujungnya malah memberatkan pikiran dan hati? Hidup saya sudah cukup sulit tanpa harus banyak protes. Pandai-pandailah memilah mana yang penting untuk dipikir dan mana yang tidak. Kalau cuma karena hal-hal sepele saja kita dimudahkan untuk bersedih, pantaskah keesokan hari kita diuji dengan kebahagiaan yang begitu besar?

Sore tadi salah seorang teman bercerita tentang teman SMA-nya yang baru putus dengan laki-laki yang –selama ini—ia anggap ‘serius’ dalam berhubungan. Lewat cerita ini, saya diam-diam merenung. Dan sadar. Betapa besar harga kata “serius” ketika umurmu sudah beranjak ke kepala dua.

Rata-rata teman sepermainan saya, di umur segini, jarang yang ingin menjalin hubungan dengan seseorang atas dasar “ingin main-main saja”. Kami pikir, kami sudah terlalu tua untuk hal-hal semacam itu. Waktu akan selalu terus berjalan. Dan kami tidak bertambah muda setiap harinya. Rasa-rasanya riskan untuk membuang-buang waktu dengan orang yang sudah kamu sadari sejak awal, bersamanya, tidak akan pernah ada masa depan. Belajarlah untuk hidup dengan tujuan. Sesepele apa pun itu.

Umur dua puluhan bagi sebagian orang mungkin bukan umur yang pantas dibilang tua (asal ngeliatnya nggak dari sudut pandang remaja ababil aja). Namun teman-teman saya, dan bahkan saya sendiri, mulai merasa bahwa beberapa tanggung jawab rasanya mulai sedikit demi sedikit dibebankan ke atas pundak. Saya pribadi mulai memikirkan beberapa tuntutan yang harus segera saya selesaikan di awal umur 20-an. Seperti misal; tuntutan untuk segera lulus kuliah. Dan setelah hal ini beres, akan ada banyak sekali tuntutan-tuntutan lain yang datang dan entah mampu saya selesaikan dengan baik atau tidak.

Umur dua puluhan ini rasa-rasanya pantas kalau saya ibaratkan sebagai hutan. Kamu tahu hutan? Di hutan segala macam marabahaya dan kejutan ada. Begitu pula dengan surga mini. Atau sekumpulan pemandangan-pemandangan cantik. Namun di hutan, aturan manusia kadang tak berlaku. Kamu yang harus tunduk dengan hukum alam. Ibaratkanlah kami-kami yang baru lepas dari kungkungan umur belasan ini sebagai manusia-manusia awam yang dilepas sendiri ke belantara hutan yang tak di kenal. Dalam kasus ini, masyarakat adalah belantara hutannya. Kami, manusia-manusia awam yang masih merah berumur dua puluhan, yang dulunya mungkin masih bisa manja dan berlindung di balik ketiak orang tua, kali ini harus mampu mengangkat dagunya sendiri untuk hidup. Sementara hutan, ia tak pernah punya cerita tentang orang-orang manja dalam buku sejarahnya.

Yang mampu tinggal dengan baik di dalam hutan adalah mereka-mereka yang tidak mudah menyerah dan pandai bersyukur. Tahukah kamu? Di hutan, makan ikan setengah matang yang dibakar asal pun sudah nikmat tiada tara. Gunakan kemampuan bersyukurmu di sini. Kalau kamu masih ingin mengeluh karena makanan seperti itu tidak layak dan ingin segera pulang untuk makan-makanan enak, maka kembalilah ke ketiak orang tuamu. Hutan tidak pernah butuh orang-orang macam begini.

Umur dua puluhan bisa jadi boomerang kalau tidak digunakan dengan baik dan seksama. Karena, katanya, apa-apa yang kamu lakukan di umur dua puluhan adalah apa-apa yang akan kamu panen ketika tua.

Lihat. Betapa krusialnya umur yang tengah saya pijak.

Beranjak dewasa juga berarti belajar untuk mengabaikan beberapa hal kecil yang tidak perlu. Karena terkadang hal-hal kecil ini kalau terus-menerus dipikir justru akan menimbulkan keluhan-keluhan. Dan apa yang akan kamu dapat dari mengeluh? Tidak ada. Cuma kepala pening dan hati yang sering sakit-sakitan. Enak? Tidak.

Saya mungkin awam dalam hal-hal seperti cinta dan hubungan di dalamnya. Saya tidak pernah pacaran dan saya tidak paham bagaimana riweuh-nya. Namun di umur yang sudah ‘setua’ ini, menurut saya, rasa-rasanya agak nggak etis kalau masih meributkan siapa yang nanyain kabar siapa, siapa yang kangen duluan, melarang ini itu karena takut si pasangan selingkuh, dan masih hobi meributkan tentang status.

Mari teliti masalah ini dari sudut pandang orang awam (dan sok tahu) macam saya.

Ribut karena kamu yang harus nanyain kabar duluan? Dan sedih karena kayaknya kok dia nggak peduli ya apa saya sehat atau nggak? Hmm. Pentingkah yang semacam ini? Beberapa mungkin berpendapat bahwa, kalau hal-hal sekecil ini saja dia nggak perhatian, gimana yang lain? Saya pikir kalau dia masih bersedia meminjamkan kuping untuk mendengar celotehmu, mengantarmu berbelanja, menemanimu main futsal, menanyakan bagaimana kabar UAS-mu dan semacamnya, perkara siapa yang menanyakan kabar siapa lebih dulu rasa-rasanya jadi kurang penting. 

Meminjamkan telinga bukan hal yang mudah dilakukan kalau kamu tidak suka dengan yang bercerita. Coba bayangkan kalau kamu harus mendengar orang yang tidak kamu sukai nyerocos tentang hal-hal yang kurang penting seperti bagaimana sebalnya ia karena batal bertemu dosen pembimbing atau sedih karena di kosan sendirian? Sudikah kamu meminjamkan telinga untuknya? Kecil kemungkinan. Kesediaan pasanganmu untuk berkomentar tentang kegiatanmu sehari-hari pun sudah sepantasnya kamu hargai. Itu artinya dia masih ingin tahu bagaimana hari-harimu berjalan. Senangkah? Atau kamu punya masalah? Bukankah itu yang disebut perhatian? Tidak perlu bertanya kabar pun tak apa. Menurut saya.

Saya pikir di antara orang-orang yang dekat, mereka punya semacam radar untuk mengetahui apakah yang satu sedang sehat dan gembira atau tidak. Kalau kamu sedang sedih dan dia terlihat tidak menyadarinya, lantas kamu ngambek karena dia tidak perhatian bahkan untuk menanyakan kabar setelah melihat matamu yang sembab, anggaplah bahwa ia percaya kalau kamu masih cukup kuat untuk menghadapi masalahmu sendiri. Mungkin ia berpendapat, kalau kamu butuh bantuan, kamu akan bercerita, kamu akan meminta sendiri bantuannya kalau kamu butuh. Kamu tidak ingin kan dianggap anak kecil yang ini itu harus ditawarin? Tentunya pasanganmu yakin, kamu adalah pribadi yang sudah cukup dewasa untuk memilah mana yang pantas untuk dibagi dan mana yang bukan. Ibu Ainun yang begitu dicintai laki-laki sehebat Pak Habibie itu juga bukan wanita yang mudah merengek. Laki-laki yang hebat butuh perempuan yang lebih hebat dan kuat darinya. Tunjukkan kalau kamu bukan perempuan lemah yang mudah merengek untuk hal-hal yang sepele. Berusahalah sebisamu untuk berpikiran positif. Sulit memang. Namun sulit bukan berarti tak bisa.

Ribut tentang siapa yang kangen duluan? Hmm. Saran saya sih, carilah hal-hal yang lebih bermutu untuk diributkan. Tidak bilang kangen bukan berarti tidak kangen, kan? Dua hal tadi beda jauh lho. Untuk beberapa orang, mengatakan hal seperti rindu dan cinta bukan hal yang mudah. Saya masuk ke dalam kategori itu. Kalau dia pasanganmu, saya rasa sikap sudah cukup menjelaskan kok. Kalau dia minta bertemu atau terus menerus berusaha untuk menghubungimu, mungkin dia sedang rindu. Siapa yang tahu kan? Saya jadi ingat apa yang ibu saya sering katakan, “Kamu itu sudah besar. Jangan apa-apa mesti dikasih tau dulu baru ngerti.”
 
Kalau sudah suami-istri, saya nggak akan protes kalau kamu mau larang-larang pasangan kamu untuk hal-hal yang mungkin tidak mengenakkan hati. Masalahnya kalian sudah berkeluarga. Dan akan begitu banyak buntut yang ikut tersakiti kalau kalian tidak berhati-hati dalam menjaga hubungan yang sudah ada. Tapi kalau pacaran? Saya tidak bilang kalau pacaran itu hubungan yang tidak penting untuk dipertahankan. Itu sih kembali ke pendapat masing-masing individu saja. Saya cuma kurang setuju kalau dalam hubungan yang sedini ini (ya, saya menganggap pacaran adalah hubungan yang sama dininya dengan pertemanan) lantas satu orang merasa punya hak untuk melarang orang yang lain melakukan sesuatu, terutama karena “sesuatu” tadi nggak ngenakin buat dia pribadi. Hei, bukankah pondasi kalian menjalin hubungan ini adalah salah satunya atas dasar rasa percaya? Kalau melepas pasanganmu untuk melakukan hal yang baik namun agak berat di kamu saja kamu sudah was-was tidak karuan, bukankah ini sama saja sudah melukai hatinya dengan rasa tidak percayamu? Kamu meragukan kesetiaannya secara tidak langsung. 

Rasa was-was tentu tak bisa dihindari. Siapa yang bisa menghindari rasa takut? Tak ada. Perasaan seperti itu muncul begitu saja. Di luar kontrol. Namun “melarang” juga tidak begitu perlu asalkan hal-hal yang  ia lakukan masih dalam jalur yang baik. Lain soal kalau pasanganmu adalah pecandu narkoba dan semacamnya. Kalau misal kamu melarang cowokmu untuk berhubungan dengan teman ceweknya hanya karena kamu cemburu dan khawatir cowokmu akan selingkuh, bukankah itu hanya akan menunjukkan kalau kamu tidak cukup dewasa? Tidak cukup pandai untuk mengatur bahkan egomu sendiri? Belajarlah untuk memilah kekhawatiran mana yang patut kamu tunjukkan ke pasanganmu dan mana yang tidak perlu. Kalau pun esok lusa pasanganmu ternyata benar-benar selingkuh, bersyukurlah karena kamu telah ditunjukkan laki-laki seperti apa dia. Kamu tentu tak ingin kan, menghadiahi anak-anakmu kelak seorang bapak yang tidak mampu bertanggung jawab dengan rasa setianya sendiri? 

Dan untuk urusan status, saya pikir ini adalah hal yang sangat arguable. Masing-masing orang punya pendapat. Banyak yang tidak suka terkungkung dengan hubungan tanpa status, karena mungkin esoknya bingung, saya dianggep apa sih sebenernya? Saya berhak cemburu nggak? Besok lusanya kita trus gimana? And so on, and so on, and so on. Kalau dibiarkan, akan banyak sekali tanda tanya-tanda tanya yang hadir dan mungkin malah bikin galau. 

Tadi sore, teman saya bercerita tentang salah satu temannya yang sedang melakukan hubungan tanpa label. Temennya temen saya ini dan si cowok sama-sama nyaman, namun tidak meletakkan status apa pun untuk menamai hubungan tersebut. Katanya sih, asalkan nyaman, buat apa sih nuntut-nuntut status? Kalau emang udah yakin sama yang ini, buat apa juga lirak-lirik yang lain? Ini tergantung orangnya juga sih. Kecenderungan seseorang untuk selingkuh kan beda-beda. 

Pertemuan-pertemuan mereka pun cukup diwarnai dengan cerita tentang kegiatan sehari-hari atau tentang progress kuliah dan sejenisnya. Menurut temennnya temen saya ini sih, udah nggak jaman lagi kalo ketemu terus sayang-sayangan, bertukar rayu, dan pegang-pegangan nggak mutu. Yah, saya pribadi sebenarnya setuju sih. Daripada nambah dosa, mending nambah ilmu. Tukar cerita bisa nambah ilmu juga kan? 

Karena saya berpegang pada prinsip agama yang saya anut, yaitu Islam, hubungan tak berstatus milik temennya temen saya ini malah bagus menurut saya. Dengan begini, mereka jadi tidak merasa punya hak untuk melakukan hubungan fisik yang lebih, karena mereka pada dasarnya bukan siapa-siapa. Banyak anak muda jaman sekarang yang merasa “dibolehkan” untuk melakukan hal-hal seperti ciuman dan atau bahkan hubungan badan hanya karena status “pacaran” tadi. Dan ini sangat riskan. Ya, kalau masing-masing dari mereka punya kontrol nafsu yang cukup baik, lha kalau tidak? Kalau kebablasan kan bahaya.

Biar bagaimanapun, mencegah bukankah akan selalu lebih baik daripada mengobati? Tapi kalau pun kamu tidak setuju, dan menganggap hubungan tanpa status itu adalah a big no no, itu kembali ke kamu. Kalau yang kamu takutkan adalah hati yang akan sakit ketika si pasangan-tanpa-status ini ujung-ujungnya berpindah hati dan tidak dijodohkan dengan mu, kembalilah pada apa yang William Shakespeare katakan di masa lampau, “Expectation is the root of all heartache.” Jangan biarkan harapanmu digantung begitu tinggi pada apa-apa yang diciptakan fana. Apalagi kepada makhluk sekecil manusia.

Kalau setelah membaca ini lantas kamu berpendapat bahwa “Hei, kamu belum pernah pacaran! Kamu tidak tahu gimana rasanya khawatir dan rindu yang kami rasakan!” dan lalu menyumpah-serapahi saya yang sok tahu ini, silakan. Tak ada yang melarang. Terakhir yang saya ingat, Republik Indonesia masih menjunjung tinggi asas demokrasi. Kamu boleh berpendapat semaumu. Saya pun demikian. 

Apa-apa yang saya tulis sama sekali tidak ada niatan untuk menggurui siapa pun. Saya pun masih belajar. Tulisan ini sejujurnya adalah pengingat untuk saya sendiri. Semacam guru yang saya buat untuk mengingatkan dan mengoreksi kalau saya lupa. 

Hufft. Berat ya harga sebuah 21? Untuk sampai di umur ini pun sebenarnya tak mudah. Namun berjalan untuk melewatinya dengan baik juga bukan pekerjaan yang gampang. 

Kalau sudah “tua” begini, temukanlah cinta yang tak hanya baik untuk satu, namun mampu memperbaiki keduanya. Temukan cinta yang tak pernah membiarkanmu berjuang sendiri. Dan kalau kamu merasa kamu tak berubah menjadi lebih baik karenanya, pasti ada yang salah dalam hubunganmu. Temukan yang rusak lalu perbaiki bersama. Jika memang tak mampu, tinggalkan dengan ikhlas. Kamu tahu kan, rencana-Nya selalu lebih baik dari kepunyaanmu?

Thursday, January 17, 2013

2012 dan Membaca

Photo by Mandy Faith

Membaca membantumu menemukan banyak hal baru yang tak pernah kau tahu sebelumnya. 
Dalam beberapa kasus, membaca bahkan membantumu menemukan hal-hal yang sudah kau tahu, namun lupa untuk kau sadari dan perhatikan lebih teliti. 
Dalam beberapa kasus yang lain, membaca membantumu menemukanmu.

*

Tulisan ini harusnya saya selesaikan di hari-hari terakhir sebelum tahun 2012 tutup umur. Niatnya pengen jadi semacam catatan akhir tahun. Namun akhirnya gagal. Rasa malas saya mengacaukan semuanya. Wassalam.

Setidaknya, untuk hal ini saya percaya bahwa terlambat akan sangat lebih baik daripada batal mengetik apapun. Entah. Saya merasa berhutang pada 2012. Saya berhutang untuk menuliskannya. Selama dua belas bulan yang telah dijalani, ia tak pernah lupa untuk memberi saya kejutan-kejutan kecil dan banyak pelajaran. 2012, sejauh yang saya tahu, adalah teman yang baik. Saya agaknya lumayan sedih harus berpisah dengannya secepat itu.

Dan ngomong-ngomong tentang 2012, ada satu hal darinya yang melekat begitu dalam sampai 2013 menjemput dan menghadiahi saya dengan banyak hujan.

2012 membuat saya kembali jatuh hati pada membaca. Dan lewat membaca itu, saya merasa Tuhan sangat mengasihi saya dengan cara-Nya.

Sepanjang masa-masa kuliah, saya menyadari bahwa diri seseorang terbentuk bukan semata karena pengaruh personal saja. Lingkungan punya andil besar di sini. Entah itu tentang teman atau lingkungan tempatmu tinggal, mereka “membantu”mu membentuk kepribadianmu yang sekarang.

Saya bukan orang yang tepat untuk menilai apakah lingkungan saya yang sekarang masuk kategori baik atau buruk, dan bagaimana mereka mencetak saya jadi seperti ini (jadi baik atau jadi buruk). Tapi lewat membaca, saya dikenalkan dengan orang-orang yang sangat hebat. Dan saya yakin mereka baik. Karena lewat tulisan orang-orang yang bahkan belum saya kenal ini saya merasa mampu memaknai Tuhan dengan nyata. Saya merasa dituntun untuk lebih dekat menuju-Nya.

2012 kemarin saya awali tanpa resolusi sama sekali. Sejujurnya, saya tak kenal istilah resolusi sampai pertengahan tahun datang dan seorang teman menceritakan tentang kebiasannya menuliskan resolusi setiap awal tahun. Lantas saya menyesal karena merasa telah melewatkan bulan Januari dengan begitu semena-mena.

Urusan resolusi kemudian saya tabung dan 2012 pun terlewat.

Banyak yang mengakui bahwa 2012 adalah tahun yang tidak begitu manis. Ia membawa banyak berita buruk dan menyakiti banyak hati dengan macam-macam kisahya. Saya netral saja sih. Saya malah kebanyakan lupa dengan berita-berita kurang baiknya. Mungkin karena yang manis-manis datang dengan porsi terlalu besar dan telak mengubur yang pahit ya? Hmm. Mungkin.

Di tahun 2012 kemarin saya pun tak punya mimpi yang ingin dicapai. Baik itu akademik, urusan cinta (beeeeh), karir, apa pun. Ah, benar-benar tahun yang aimless. Namun Tuhan menukar “tahun tanpa tujuan” ini dengan satu misi. Belajar mengerti tentang-Nya dan tentang hidup saya sendiri.

Selama ini saya masih gemar membeli buku. Sangat gemar malah. Namun untuk membacanya? Hmm. Butuh kekuatan magis entah dari dunia mana untuk mampu mendorong saya selesai membaca –bahkan- satu buku saja. Saya benar-benar kecewa dengan diri saya sendiri karena hal yang satu ini. Malas membaca? Saya tidak pernah membayangkan akan ada hari-hari semacam ini dalam hidup saya.

Lantas, saya dikenalkan dengan seorang penulis blog. Nama penanya Falafu. Namun saya senang memanggilnya Kak Fa. Umurnya mungkin dua atau tiga tahun di atas saya. Dan saya sangat senang ketika tahu kalau dia ternyata berada di kota yang sama dengan saya. Yogyakarta.

Lewat tulisannya, saya diajarkan begitu banyak kata sederhana, sabar, dan kuat. Juga bagaimana caranya menjadi pribadi yang tulus dan mencintai dengan baik. Bisa dibilang, Kak Fa punya andil besar dalam pembentukan karakter saya di tahun 2012 kemarin. Bahkan dalam pengambilan-pengambilan keputusan yang krusial, saya selalu teringat Kak Fa dan tulisan-tulisannya yang sederhana.

Saya berhutang sangat banyak pada gadis ini dan buah-buah pemikirannya yang menguatkan saya tanpa mereka minta.

Lewat sosial media seperti Twitter pun saya dikenalkan akan banyak orang-orang hebat yang sangat menginspirasi. Saya menemukan banyak website yang bermanfaat dan semakin menuntun saya untuk lebih bersemangat menekuni hobi yang saya suka. Kegiatan saya membaca pun kemudian terkonversi dari yang semula buku jadi laman-laman elektronik. It’s fine, saya pikir. Yang penting saya tidak berhenti membaca sama sekali. Mau dari mana pun sumbernya, asalkan yang dipetik adalah manfaat saya yakin tak masalah. 

Tahun 2012 juga menunjukkan banyak variasi arti teman. Mana-mana yang mampu bertahan untukmu ketika kamu jatuh dan mana-mana yang memilih untuk menghapus dirimu dari hidup mereka ketika kalian tak lagi sejalan.

Ketika saya menjauh, bukan saya yang sengaja abai, mungkin kamu yang pelan-pelan menghapus saya dari hidup kamu.

Ketika saya kemudian tidak turut menceritakan bagaimana hidup saya berjalan beberapa minggu ini, dan lalu tidak pula turut tertawa bersamamu, mungkin kamu yang lupa untuk memulainya. Kamu yang lupa untuk bercerita dan tertawa. Dan turut mengajak saya di dalamnya.   

Tahun lalu mengajarkan saya beberapa kehilangan yang tak mau saya ulang. Dan sejujurnya, enggan saya ingat. Namun kenangan diciptakan bukan tanpa alasan. Ia ada untuk menandai bahwa sejatinya kita kuat dalam menghadapi hal-hal pahit, dan cukup berharga untuk tersenyum menyambut hal-hal manis.

Kemudian 2013 pun datang. Tuhan hadiahi awal tahun ini, di bulan yang sangat saya cintai, dengan banyak sekali hujan. Saya gembira.

*

Di 2013 ini saya punya segepok PR. Salah satunya adalah mempelajari seni menunggu dan juga mencari tahu bagaimana seni "menerima" bekerja.  

Januari baru mulai merangkak, ris. Sabarlah. Pelajari mereka sambil mengiringi Januarimu berjalan dan lalu berlari menuju Desembernya. Siapa tahu kamu akan menemukan jawabannya di tengah perjalanan.

Ah, baiklah.