Monday, November 24, 2014

Mereka yang memilih pergi

Photo by Nishe

Bagi saya, perpisahan yang paling menyedihkan adalah perpisahan yang tak pernah melibatkan kata "Selamat tinggal", "Selamat jalan", "Sampai jumpa", dan semacamnya. Ada yang bilang "good" di kata "goodbye" itu sedikit meaningless, mengingat tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perpisahan. Saya, di lain sisi, lebih menghargai perpisahan yang benar-benar diakhiri tanda titik. Tak menyisakan koma untuk bertanya-tanya. Seberapapun menyedihkannya melihat orang yang disayang mengatakan "Selamat tinggal", akan lebih menyakitkan mengetahui orang yang pernah dekat denganmu lantas sedikit demi sedikit menjauh kemudian menghilang. Terlebih, tanpa kau tahu sebabnya mengapa mereka memutuskan demikian.

Saya sudah lama tidak memercayai ungkapan "friends for life". Teman ya teman. Tidak perlu ditambah keterangan-keterangan lain pun, bagi saya mereka sudah sangat istimewa. Tanpa mereka, saya tidak akan mungkin mampu bertahan hidup sendiri di kota asing ratusan kilometer jauhnya dari kedua orang tua saya. Mereka adalah lilin-lilin kecil yang selalu membuat saya hangat. Dari mereka saya belajar banyak sekali pelajaran hidup. Untukmu teman, saya ucapkan terimakasih yang tiada tara besarnya. Cinta saya untuk kalian mengular sampai ke bulan. Atau mungkin lebih dari itu.

Hanya saja belakangan ini saya pun mulai belajar, bahwa layaknya cinta yang tak sampai, teman pun mampu menghancurleburkan hatimu. Mereka bisa memutuskan untuk menghilang diam-diam. Memotong tali persahabatan yang ternyata masih dengan setia kamu pegang. Untuk satu dan lain hal, saya mulai lelah memertanyakan mengapa. Bisa jadi ini karma. Bisa jadi karena saya memang bukan teman yang baik untuk mereka.

Beberapa minggu yang lalu, di akhir bulan Oktober yang sendu, saya sempat mengobrol dengan seorang teman di ruang tamu kos saya. Obrolan kami tentang 'hubungan pertemanan' mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan yang agaknya sedikit hambar untuk bisa saya cerna. Dulu saya pernah dengan polosnya menganggap bahwa, seperti kasih ibu dan jasa para guru, pertemanan itu harus dilandasi dasar tanpa pamrih. Semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa alasan mengapa kami masih memutuskan untuk tetap bersama adalah karena kami masih membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan, itu kata kuncinya. Kelak ketika saya sudah tidak berkontribusi apapun untuk mereka, dan atau sebaliknya, mungkin kami akan saling melupakan pelan-pelan. Menganggap yang ditinggal sekedar teman basa-basi kalau ketemu di jalan. Seorang kenalan.

Saya adalah satu dari sekian orang yang pernah berprinsip bahwa saya akan berusaha untuk tidak menyakiti hati orang lain supaya orang tadi juga tidak menyakiti perasaan saya. Saya kurang pandai berkata-kata, tapi kalimat ini mungkin cukup mampu menjelaskan apa yang saya maksud.


Nyatanya prinsip ini kadang tidak dimengerti oleh beberapa manusia lain dan saya sama sekali tidak menyalahkan mereka. Seperti yang Kak Falafu pernah bilang, "Berharaplah dengan bijak, agar hanya kecewa atas hal-hal yang memang pantas." Dan saya menyadari bahwa selama ini saya lah yang salah. Berharap yang demikian adalah sesuatu yang bodoh. Sangat bodoh. Dan tidak ada yang lebih mengecewakan dari mengetahui bahwa kita telah berharap pada hal-hal yang keliru. Seharusnya saya paham betul akan hal itu.

Beberapa manusia yang beruntung berhasil menemukan teman yang mau dan mampu dijaga sampai akhir hidup. Saya sendiri tidak berharap banyak. Kalau pun ada, saya akan sangat berterimakasih.

*
Manusia selalu datang dan pergi, silih berganti dalam hidupmu. Untuk mereka yang memutuskan pergi, saya hanya bisa menghadiahi ucapan terima kasih dan lambaian tangan pada punggung mereka yang mulai menjauh.

Karena kalapun saya bisa menyebutkan satu hal saja yang hidup pernah coba ajarkan pada saya selama ini, saya akan memilih; melepaskan.

"...and that's  a good lesson to learn in life.

 Let go. "

**

Kutipan terakhir diambil dari film Liv & Ingmar (2012).

Sunday, November 23, 2014

Forever (Hopeless) Crush

Photo by Kitty Gallannaugh

"Then there is the boy you can never stop thinking about. 
Whenever you see his name, it trips you up. 
Even if it's one that belongs to many others, 
even if he belongs to someone else."
-Lang Leav

Apakah kalian punya sosok yang begitu kalian cintai namun tak pernah ingin kalian miliki?

Apakah kalian pernah bertemu seseorang yang menelurkan sakit di sudut hati namun sama sekali tak pernah bisa kalian benci?

Adakah seseorang yang hadirnya selalu jadi tempatmu kembali ketika kamu sedang patah hati?

Saya punya sosok semacam ini.

Ada satu pria yang selama ini tak pernah ingin saya enyahkan kehadirannya dari dalam kepala. Dia saya biarkan menyewa sebuah ruang di dalam memori saya untuk tinggal selama yang ia mau. Atau, bisa juga dibilang, selama yang saya inginkan.

Untuk nyaris satu dekade ia mengajari saya seni menyembunyikan perasaan. Mencintai tanpa menunjukkan. Sayang tanpa bilang-bilang. Ia juga sosok tunggal yang mengajari saya untuk ikhlas menerima kepatah-hatian yang berulang. Terlebih pula.. sepihak.  

Saya menyebutnya forever crush. Seseorang yang cuma bisa saya labeli sebagai 'gebetan' tapi tak pernah ingin saya jadikan pasangan. Kenapa? Karena saya ingin dia tetap seperti apa yang saya pikirkan. Saya ingin sosoknya tetap seperti apa yang saya andaikan. Saya takut mengenalnya lebih jauh justru akan membuat imejnya di mata saya hancur. Karena buat saya, sosoknya adalah perpaduan sempurna antara baik dan buruk. Pas. Apa pun yang saya inginkan di diri seorang laki-laki, dia punya. Dia berdiri di persimpangan antara bad boy dan good boy versi saya. Dan ini membahayakan. Maka ketika seorang teman mengabarkan hal-hal buruk tentangnya, saya kerap tidak mengindahkan. Saya tak ingin takaran good dan bad di dirinya (dalam kepala saya) lantas berat sebelah. Sebisa mungkin saya mencegah hal itu terjadi. Dan kalaupun takaran tadi lantas berat ke satu sisi, saya selalu mendapati diri saya masih mencintai sosok itu sekuat sebelumnya. Atau malah lebih. Dan sampai saat ini pun, saya tak mengerti kenapa.

Walaupun demikian, saya tak pernah menginginkan sosok ini hanya untuk saya saja. Karena selain kemungkinannya nyaris mendekati bilangan kosong, bagi saya dia adalah tempat pulang yang tidak boleh lenyap hanya karena ego saya semata. Selama ini saya mampu bertahan dari sekian patah hati karena saya memercayai dia akan selalu ada untuk tetap bisa saya cintai tanpa berubah. Dan lagipula dia tidak akan mampu mematahkan hati saya lagi. Karena di hadapannya, hati saya sudah serupa remukan. Tak ada lagi yang tersisa untuk bisa dipatahkan.

Forever Crush saya adalah seorang anak SMA berkacamata yang senang bermain gitar. Seseorang yang tak pernah menganggap saya ada. Dan mungkin pernah berpikiran bahwa saya lancang karena sempat menjatuhinya cinta. Ia tak pernah tumbuh bertambah tinggi pun berganti pakaian. Dalam kepala saya, ia tak pernah menua. Mungkin sama halnya dengan perasaan saya untuknya. 

Tentu pernah ada suatu masa, saat saya masih lugu dan muda, di mana saya bermimpi untuk bisa jadi perempuan yang menggambar cinta di matanya. Berandai-andai saya adalah perempuan yang ia tunggu kehadirannya untuk bisa diajak pulang sekolah bersama. Atau berharap saya adalah pujaan hati yang membuatnya tersenyum cerah sekali menyambut pagi dan bersemangat untuk tiba di kelas segera.

Betapapun memalukannya, tentu pernah. Tentu pernah ada momen-momen semacam itu.

Sekarang, kalau dipikir kembali, daripada mengibaratkannya sebagai "seseorang yang tak ingin saya ubah imejnya", saya lebih senang menyamakannya dengan kotak cantik di etalase toko kado yang tak akan pernah mampu saya buka. Sampai kapanpun. Seberapapun inginnya saya membuka kotak tersebut. Karena kotak itu bukan milik saya. Dan tak akan pernah terbeli seberapapun banyaknya uang yang saya punya. Apapun isinya, ia akan selalu membuat saya penasaran dan bahagia. Ketika saya menemukan kotak lain yang ternyata isinya tak saya suka, saya akan kembali lagi ke etalase toko tadi dan memandangi kotak impian saya dari balik kaca. Memandangi dan merasa bahagia kembali. Begitu seterusnya. Mungkin sampai saya menemukan kotak yang ketika isinya saya buka, saya tak hanya suka, namun juga butuh. Dan sampai saatnya tiba nanti, mungkin saya masih akan sesekali mengunjungi etalase toko tadi untuk sekedar mencari alasan merasa hangat dan bahagia. Well, terdengar menyedihkan ya. Tapi begitulah saya menganggap forever crush saya. Yang walaupun sosoknya kini imajiner (karena tak bisa saya tatap secara langsung), namun tetap saya nobatkan sebagai tempat kembali dari kepatah-hatian yang menyesakkan.

Karena itu, terimakasih! Walaupun ucap ini tidak akan pernah sampai kepadanya, kecuali ia tanpa sengaja membaca postingan ini dan secara ajaib paham betul bahwa yang saya bicarakan adalah ia sendiri, namun saya ingin tetap berterimakasih.

Hei, kamu tidak paham betapa besar peranmu dalam hidup saya. Kamu mengenalkan saya bagaimana rasanya memiliki kebun bunga yang tumbuh di atas jantung saya sendiri. Yang mana pasokan kupu-kupunya kerap membanjiri perut saya ketika sosokmu tertangkap mata. Kamu pula yang mengenalkan saya bahwa saya tak perlu membelah dada untuk meremukkan hati, berdarah-darah karena cintanya patah. Kamu berikan saya tiket free pass untuk terbang ke langit ke-sembilan sekaligus terjun bebas ke perut bumi. Untukmu saya bebat luka-luka saya sendiri supaya bisa belajar berjalan kembali. Oh, tak terhitung berapa banyak prosa dan puisi yang pernah saya tulis untukmu, dan berdasar pada pelajaran yang pernah kau beri. Kelak ketika saya diijinkan untuk menerbitkan sebuah buku, mungkin saya harus menulis lagi satu esai panjang berisi ucapan terimakasih untukmu.

*

Secara tidak sengaja, saya menemukan dua tahun lalu, di bulan yang sama, saya pernah menulis begini;
"A hopeless crush that you never have any chances with will always remain unreasonably beautiful in your eyes.
Ah, November memang selalu pandai mengajak berfilosofi, menulis manis, menemukan cara untuk membangkitkan kenang dan juga menumbuhkan kangen.

Tentangmu. Kepadamu.

**

Friday, November 21, 2014

Kepada ombak yang memutuskan untuk tak pernah kembali ke pantainya

Photo by Julia Trotti

Aku adalah kepatah-hatian yang pernah memberangus hatimu jadi abu. Sakit yang kutinggalkan tak pernah kau lupa. Ia terbingkai rapi dalam museum pribadi yang kau namai "Trauma". 

Pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa semua cerita patah hati dikisahkan ulang oleh mereka yang tersakiti? Dan bukan sebaliknya? Seolah-olah mereka, si penggores luka, adalah bukan manusia. Tidak pula merasakan lara. Adakah yang pernah bertanya, sakitkah jadi yang pertama memutuskan tali bernama cinta? Sepikah jadi yang pertama memulai untuk berjalan ke arah yang berbeda?

Kenangan tentangmu ibarat foto-foto lama yang tanpa sengaja kutemukan saat aku tengah sibuk mengepak barang-barang usang. Kau yang sempat terlupa, kemudian membuatku terdiam dan tenggelam. Ah gadis polos ini. Perempuan lugu yang dulu pernah menangis karena tak pernah kubalas lagi pesannya setelah berminggu-minggu kuacuhkan tanpa alasan. Dengan sembrono kulempar potongan hati yang pernah kau beri itu tepat di depan mukamu. Bantingan pintu kosku rasa-rasanya kode yang cukup jelas untuk mengusirmu pergi dan tak pernah kembali lagi.

Kata-kata terakhirmu untukku adalah 'brengsek'. Well, aku lebih senang menyebut diriku sendiri 'bajingan'.

Kau pernah jadi ombak yang menganggapku pantai tempatmu pulang. Kubiarkan kau memeluk pesisirku sekali, dan kau selalu kembali. Seharusnya kau paham aku bukan pria yang cukup baik untuk kau titipi hati. Tak terhitung berapa kali hatimu kulukai, namun kau tetap memaksa untuk selalu datang lagi. Dan lagi. Dan lagi. Kalau begitu apa yang harus aku lakukan? Kau ibarat mainan yang datang menyerahkan diri saat aku tengah mati bosan. Sialnya kau justru menganggapku sebagai tempat penitipan hatimu yang paling aman. Kau memimpikan, menginginkan aku untuk jadi pantai terakhir yang setia memeluk erat ombakmu. Walaupun nyatanya aku bukan.

Kau pernah jadi ombak yang menganggapku pantai tempatmu pulang. Dan aku pernah jadi pantai yang tak pernah lelah mendorongmu pergi seberapapun seringnya engkau kembali.

Dan untuk pertama kalinya setelah belasan tahun kau menghilang, di sinilah aku berdiri. Seperti pecundang, diam-diam berangan-angan seandainya kau cukup sabar untuk mau memeluk pesisirku sekali lagi.. 

*

Pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa semua kisah patah hati selalu diakhiri dengan penyesalan si penggores lara? Akan aku coba jawab. Mungkin karena ia baru sadar kalau kata maaf bukanlah satu-satunya penawar untuk beberapa luka. Mungkin karena ia baru paham bagaimana sakitnya menyia-nyiakan kesempatan yang terlepas begitu saja di depan mata. Mungkin karena ia tak mengira pisau yang dulu pernah ia lempar tepat ke jantung hati si belahan jiwa lantas berubah jadi bumerang yang berbalik ke arahnya. Berbalik ke arahnya dan mencabik-cabik sisa-sisa hatinya jadi sejuta.

Seperti halnya kepergian yang pernah kukado rapi dan kuhadiahkan kepadamu,

yang ternyata beranak-pinak menjadi rindu di pihakku.
 
**

Nulis ini cuma gara-gara dengar lagu yang bikin saya nangis walaupun saya nggak tahu artinya apaan :|

Wednesday, November 19, 2014

Apa yang sehari-harinya dilakukan oleh seorang tuna karya?

Photo by Kitty Gallannaugh

Saya adalah seorang tuna karya.

Pernyataan ini ditulis bukan sebagai wujud rasa bangga. Namun mengatakannya sebagai fakta yang memalukan juga bukan.

Saya jauh dari keadaan yang 'baik-baik saja' dalam standar norma kebanyakan manusia. Namun saya juga tidak sepenuhnya menyedihkan. Terlebih berduka. Tidak.

Saya baik-baik saja. Dalam standar saya.

Dan itu cukup untuk saya saat ini.

Satu pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh teman-teman lama ketika bertemu saya adalah, "Sekarang sibuk apa?" Dan saya pernah berada di satu titik di mana saya muak, begitu malu, dan rasanya ingin melenyapkan diri terbang ke bulan tiap kali pertanyaan tadi terdengar. Tidak ada basa-basi yang lebih menyakitkan dari bertanya "Sedang sibuk apa?" pada seorang tuna karya. Itu pesan saya kepada Anda-Anda yang mungkin sekarang sudah mapan ketika bertemu teman kuliah yang masih 'gitu-gitu' aja. Jika memungkinkan, bertanyalah hal lain. Tapi kalau memang benar-benar ingin kepo, ya monggo. Kami-kami ini, kadang sudah merasa kebal, berkulit badak, mati rasa ketika ditanya yang demikian. Jadi kemungkinan besar pertanyaan Anda hanya kami tanggapi dengan cengiran atau jawaban asal. Walaupun mungkin malamnya, ada beberapa dari kami yang bakal merenung lama memikirkan hidup yang tak kunjung membaik. Saya salah satunya.

Sudah tak terhitung banyaknya saya melamun sambil menatap laman sosial media. Melihat foto-foto teman-teman sekolah dan kuliah yang sibuk menggapai mimpi mereka dari satu tempat ke tempat lain. Tertawa bersama teman kantor baru. Menikah. Mungkin ada beberapa yang bahkan sudah menimang anak. Jalan-jalan ke luar negeri. Mengejar studi yang lebih tinggi. Melihat mereka, apalah saya ini yang kastanya mungkin bisa disamakan dengan kecoak-kecoak bau di sudut-sudut WC umum. Saya ini sampah masyarakat. Satu sebutan yang dulu sering saya lempar sembarang sebagai gojekan kepada sesama teman. Menjadi salah satu dari bagian gojek tersebut ternyata begitu menyakitkan dan memalukan. Menerimanya dengan legowo bukan lah proses yang mudah. Tapi kami, saya lebih tepatnya, bisa apa lagi selain nrimo.

Ratusan malam saya habiskan untuk mencari sebab-musabab mengapa saya bisa jadi seperti ini. Karena, setahu saya, saya punya cukup amunisi untuk terhindar dari situasi menjadi bagian dari sampah masyarakat tadi. Jawabannya ternyata cuma satu. Jawabannya ya saya ini. Saya adalah sebab-musabab mengapa bisa terjerumus ke lembah nista bernama keluntang-lantungan. Saya begini karena saya kurang berusaha. Saya begitu karena saya kurang ikhtiar. Kalau saya sudah usaha, mungkin usaha saya kurang keras. Kalau sudah keras, mungkin kurang keras lagi. Begitu seterusnya.

Ada satu drama Korea yang sedang saya tonton saat ini dan menurut saya menarik. Isinya bukan tentang cinta-cintaan, karena kebetulan juga saya sedang malas nonton yang begituan. Pemeran utama di drama ini adalah seorang tuna karya yang baru saja diterima internship di sebuah firma besar. Dibandingkan intern yang lain, Jang Geu-rae, begitu namanya, bukanlah apa-apa. Dia bahkan nggak kuliah. Lulus SMA pun tidak. Dia cuma punya ijazah yang setara dengan sekolah menengah atas. Umur Geu-rae waktu jadi intern tadi sudah 26. Cukup tua bukan? Seharusnya di umur segitu dia sudah dapat posisi yang mapan di sebuah kantor dan dapat gaji bulanan rutin. Di hari pertamanya jadi intern, Geu-rae diajak seniornya ke atap gedung untuk di-interview secara personal. Fakta bahwa Geu-rae bisa diterima sebagai intern di perusahaannya (yang saya rasa cukup bergengsi) membuat si senior bingung. Terlebih dengan ijazah yang seadanya tadi. Ketika ditanya apa Geu-rae ini drop out-an salah satu kampus Ivy League? Bisa bahasa asing apa saja? Pernah bekerja di mana? Punya kemampuan apa? Geu-rae tidak bisa menjawab. Si senior pun kontan tidak habis pikir. Lantas apa yang sudah dilakukannya selama ini? Apa yang sudah ia dapat dan hasilkan selama 26 tahun ia hidup?

Walaupun laki-laki, Geu-rae adalah tokoh yang menurut saya lelet. Lemah. Klemar-klemer. Saya suka gemas melihat dia bekerja begitu pelan, bingungan, dan mau saja di-bully oleh interns yang lain. Kikuk sekali sebagai manusia. Namun ada satu hal yang menarik dari Geu-rae. Pria ini, seberapapun kerasnya ia bekerja, ia kerap mendiskredit semua usahanya. Sebelum menjadi intern, Geu-rae bukannya tidak pernah bekerja. Ia bekerja serabutan di mana-mana. Ya giat. Ya kerja keras. Biar bagaimanapun ia adalah anak satu-satunya dari keluarga yang sudah tak berbapak. Sedangkan ibunya cuma buruh cuci yang sudah renta. Waktu jadi supir taksi, dan tidak dibayar dengan uang pas, Geu-rae tidak protes. Ia justru menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bekerja keras. Ia bisa jadi supir taksi yang dibayar dengan uang tidak pas karena ia kurang giat. Kurang usaha. Pun ketika ia di-bully oleh teman-teman internship-nya karena dianggap lulus karena nyogok, Geu-rae lagi-lagi cuma bisa menyalahkan diri sendiri. Ia bisa di-bully, direndahkan karena ia selama ini kurang kerja keras. Kurang giat. Padahal melihat usahanya, siapa yang berani bilang kalau pria kurus ini kurang bekerja? Cuma dia sendiri yang tidak bisa melihat bagaimana kerasnya ia berusaha. 

Geu-rae membuat saya berkaca. Menatap sosok saya dari sudut 180 derajat. 

Kenapa saya harus memaksakan diri masuk ke dalam boks-boks normalitas hanya untuk dianggap sama? Tidak dianggap gagal?

Apakah saya harus sukses di umur yang sama seperti teman-teman seangkatan? Meniti karir di lajur start yang sejajar?

Kalau kata Madison Dube, salah satu fotografer favorit saya; "I want to protect my youth from the false guilt that is projected onto them when deciding what path is their own. You don't have to answer your neighbor when they condescendingly ask about your plans after high school. Breathe, collect your thoughts, try things, see what falls in your lap and recognize what feels true... Why are we told we must decide by a certain age?"

Kadang saya lupa selain kerja keras ada faktor lain yang menentukan bagaimana sukses itu terbentuk. Kesempatan. Saya kebetulan belum seberuntung yang lain untuk bisa ketemu dengan si Kesempatan.

Ke-nrimo-an yang tadinya terasa pahit karena dipaksakan, lambat laun mulai bisa saya terima dengan baik. Rasanya seperti mencoba minum air putih setelah menelan puyer. Masih pahit. Tapi setidaknya lebih lumayan.

Teman-teman saya sering bilang, "Wong ki ono wektune dewe-dewe (orang itu ada waktunya sendiri-sendiri)," dan saya kerap tidak paham dengan kalimat ini. Kenapa? Kenapa waktu saya berbeda? Saya pun tak tahu. Namun kali ini pertanyaan tadi sudah tidak terlalu saya ambil pusing. Entahlah. Mungkin karena percuma. Tidak ada yang bisa membantu saya untuk mencari jawabnya kecuali waktu itu sendiri.

Lantas, sebagai tuna karya, apa sebenarnya yang saya lakukan sehari-hari?

Saya pun sering menanyakan hal ini. Apa sebenarnya yang saya lakukan seharian? Karena rasanya hari berlalu begitu saja dan tahu-tahu sudah malam. Begitu seterusnya. Sampai saya kadang tidak sadar bulan sudah berganti. Bahkan sebentar lagi tahun baru.

Belakangan ini saya mulai mengingat-ingat kegiatan apa saja yang saya lakukan seharian dan, surprisingly, saya seperti melihat pola. Setiap hari, entah secara sadar atau tidak, saya selalu mencanangkan pada diri sendiri untuk setidaknya menghasilkan atau menyelesaikan sesuatu. Paling tidak saya harus menghasilkan satu karya, satu tulisan, satu gambar, satu editan, atau menyelesaikan satu atau beberapa bab buku, menyelesaikan nonton film yang sudah saya copy, dan lain sebagainya. Nonton film? Baca buku? Kesannya seperti bersantai ya? Daripada nyantai, saya lebih senang menyebut mereka brainstorming. Karena dari film-film yang saya tonton itulah kadang saya dapat ide-ide melimpah untuk menulis. Atau bahkan terinspirasi ngedit melihat sinematografi dan tonal pengeditan videonya yang cantik. Cara mengambil gambar di film-film yang saya tonton adalah salah satu inspirasi terbesar saya dalam memotret. Bagaimana kemudian mereka bisa terlihat sederhana namun tetap berkesan manis adalah rumus magis yang harus saya kuasai dengan terus berlatih. Jangankan nonton, untuk beberapa penulis, diam melamun bahkan bisa disebut sebagai bagian dari pekerjaan. 

Selain itu saya punya rutinitas lain (ini agak panjang, jadi kalau sudah bosan bisa langsung skip ke akhir saja). Setiap hari, sebisa mungkin, saya harus mengunggah satu foto atau gambar ke situs-situs seni yang saya punya. Untuk Flickr dan dA, saya juga harus memasukkan mereka ke grup-grup tertentu supaya karya saya dapat eksposur. Dilihat tidak cuma oleh saya saja, namun juga oleh orang lain. Selanjutnya ngecek message, membalas komen (kalau ada), melihat karya-karya milik fotografer atau artis lain, lalu nge-klik favorite dan/atau menulis komen di foto atau gambar-gambar yang menurut saya bagus. Yah, itung-itung sebagai bentuk sosialisasi dan promosi diri. Saya pernah salah komen orang, dan malah di-watch (semacam add friend untuk komunitas dA) sama orang tersebut. Sampai sekarang dia adalah watcher saya yang paling sering mem-feature foto-foto saya di puisi yang ia tulis. Memang kadang terlihat basa-basi, tapi saya sebisa mungkin komen di karya yang memang menurut saya oke. Tidak lantas asal komen di semua foto. Nah, itu untuk Flickr dan dA. Untuk instagram, saya sering upload multiple pictures secara berkala atau sekaligus. Untuk mendapatkan eksposur, tentu saya harus menulis hashtag. Beberapa orang yang tidak paham, menganggap bahwa penulisan hashtag adalah sesuatu yang alay. Saya tidak peduli. Saya butuh eksposur untuk karya-karya saya, maka saya akan tulis hashtag-hashtag yang relevan dengan gambar tersebut. Peduli amat kata orang alay. Belakangan ini saya juga kerap explore akun-akun inspiratif di IG. Biasanya sih untuk inspirasi menggambar. Kalau feed-nya bagus-bagus, biasanya saya follow. Itu tadi Instagram. Tambahan lain, saya masih punya tumblr, sesekali membalas komen di blog Bahasa Inggris yang sudah lama saya tinggalkan (dan akan saya update lagi), kalau lagi rajin ya bereksperimen dengan Lightroom dan Photoshop, bikin-bikin preset baru. Saya juga suka upload di Facebook walaupun tidak banyak (cenderung tidak ada) yang merespon. Entah karena karya saya yang memang sama sekali tidak menarik, bukan selera pasaran, atau "teman-teman" Facebook saya yang ada 1400 itu tidak peduli. Saya juga tidak paham. Yang penting saya upload. Lainnya mungkin ngecek blog-blog favorit saya, baik itu dari fotografer atau penulis. Kalau blog fotografi, biasanya saya senang menyimpan foto-foto mereka sebagai referensi atau baca-baca apakah ada tips-tips yang baru mereka unggah. Saya punya satu folder berisi foto-foto dari banyak fotografer panutan. Saya kadang senang menatap foto-foto mereka satu-satu dan membayangkan bisa punya karir yang sama. Berkencan dengan kamera setiap hari untuk menyambung hidup. Alangkah menyenangkannya.

Ya kira-kira begitulah rutinitas harian saya. Cukup menjelaskan kan kenapa saya selalu butuh pulsa modem? :D

Sebagai tuna karya, saya masih bersyukur karena terhitung beruntung. Setidaknya saya cukup paham saya mampu di bidang apa, saya suka apa, dan saya mau ke mana. Kalau ketiganya digabung, itu bakal jadi dream job saya. Dan saya sedang mengusahakan untuk ke sana. Sedang membangun tangganya satu persatu untuk tiba di puncak. Namun yang namanya dream job tentu tidak bisa diraih dengan mudah. Banyak pengorbanannya. Untuk saya, pengorbanan saya adalah waktu, tagihan pulsa, jari yang pegal, leher tegang dan kepala yang pusing (apalagi kalau sedang terkena art block dan writer block). Itu pengorbanan yang cukup ringan menurut saya, dan saya merasa beruntung.

Tulisan ini dibuat bukan untuk dibangga-banggakan. Bukan untuk pamer. Apa yang membanggakan dari menjadi seorang sampah masyarakat? Tidak ada. Tulisan ini saya buat sebagai reminder untuk diri saya sendiri. Kalau suatu saat saya malas, saya harus ingat bahwa saya sudah membagi cerita rutinitas saya ke banyak orang. Biar saya tahu malu kalau suatu hari melenceng dari komitmen.

Mari, para kerabat senasib sepenanggungan, jadilah tuna karya yang produktif. Yang hari-harinya tidak dihabiskan hanya dengan bermalas-malasan sambil menunggu turun hujan duit. Hasilkan sesuatu. Selesaikan hal-hal yang perlu diselesaikan. Belajar hal-hal baru. Baca-baca banyak buku. Sekalipun tuna karya, jadilah tuna karya yang berwawasan. Kalaupun hal-hal yang sekarang kita lakukan belum membuahkan hasil dan untung, tak masalah. Seperti kata teman saya, wong ki ono wektune dewe-dewe. Tidak perlu ngoyo. Semesta tahu mana yang berusaha, mana yang tidak.

Ada beberapa kutipan yang saya comot dari postingan blog fotografer dan blogger favorit saya, juga cuplikan dialog film yang saya tonton yang kemudian saya jadikan semacam motto. Mungkin kutipan-kutipan ini juga bisa memotivasi kalian.

Selamat berjuang untuk pensiun dari jabatan tuna karya!

**

"If you don't go after what you want, you'll never have it. If you don't ask, the answer is always no. If you don't step forward, you're always in the same place. Seems simple enough, but it can be hard to just let go and do it. But that's just it: let it all go and run after what you want. You'll thank yourself for it."
-Julia Trotti-



"I've met a lot of talented people over the years. How many of them made it professionally without discipline, commitment, and a really good work ethic? I can tell you. I can count it on two fingers. Zero. It's not gonna happen for you, Mason. The world is too competitive. There are too many talented people who are willing to work hard, and a butt load of morons who are untalented who are more than willing to surpass you."
-Boyhood, 2014-



"If you work really hard and you're kind, amazing things will happen."
-Conan O'Brien-

Tuesday, November 18, 2014

Tentang sebuah petualangan tanpa rencana

Photo by Rona Keller


Saya pernah mendamba sebuah cinta yang datang secara tiba-tiba. Dibawa oleh seorang pria asing yang saya kenal tanpa sengaja di sebuah bandara.

Mungkin ia yang menyapa saya terlebih dahulu. Bertanya basa-basi berangkat penerbangan jam berapa dan mau ke mana. Atau mungkin pula saya yang pertama kali mencolek bahunya. Bertanya di mana saya bisa menemukan vending machine terdekat yang kemudian dijawabnya dengan telunjuk mengarah ke utara.

Saya pernah bermimpi menemukan sesosok asing yang ketika pandangnya saya temukan tanpa sengaja, saya tak perlu buru-buru memalingkan muka. Entah dengan kekuatan magis apa, senyumnya mampu membuat saya berangan-angan akan sebuah petualangan. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya karena saya tak pernah menyenangi sebuah kepergian. Sapanya adalah gerbang menuju perjalanan yang ujungnya tak perlu saya risaukan. Berakhir di ‘selamanya’ atau ‘seminggu saja’ saya tak peduli. Ia berhasil mengajak saya untuk terjun ke lembah bernama spontanitas. Meninggalkan hidup yang penuh rencana dan kalkulasi. Karena baginya apalah arti hidup kalau saya tahu semua tikungan, turunan dan tanjakan. Dan saya melihat pola pikirnya sebagai sesuatu yang manis. Sesuatu yang membebaskan. Lalu tanpa ia minta, saya diam-diam mengikuti ke mana langkahnya mengarah. Sebelum pada akhirnya ia sadar dan menoleh ke belakang, tersenyum, lalu tanpa berkata apa pun menawari saya tangan kanannya yang tengah membawa serta sejuta macam kemungkinan.

Dan atau, ketidakmungkinan.

*

Why so serious?

Itu kalimat pembuka perdebatan panjang kami di ruang tunggu bandara. Bermula dari perbedaan pendapat tentang cinta, lantas kami mendapati fakta bahwa ia adalah seorang Ketua dari Suku Slengekan dan saya adalah Putri dari Kerajaan Terrencana. 

Baginya cinta adalah sebuah permainan yang dimainkan tidak dengan main-main. Ia menerima dengan pikiran terbuka segala kecurangan, kekeliruan, rasa perih, luka atau apa pun yang mungkin akan ia hadapi selama permainan ini berjalan. Ia menurunkan semua armor-nya dan merentangkan hatinya lebar-lebar. 

Ayo main! Hidup ini terlalu singkat untuk dilalui hanya dengan berdiam diri dan berkalkulasi. Bercintalah yang serius. Jatuh cintalah dengan baik dan benar. Jatuhnya beneran. Cintanya juga beneran. Kalau kamu masih hitung untung-rugi, itu namanya bukan cinta. Itu dagang.  

Bagi saya cinta adalah pisau dengan dua sisi tajam. Saya boleh membawanya serta ketika saya sudah cukup dewasa untuk paham bahwa memutuskan untuk mencintai sama saja membuka kemungkinan untuk terluka. Saya tidak suka lecet. Karena sekali terluka, bekasnya akan susah sekali hilang. Saya sebisa mungkin membentengi hati saya dengan dinding tebal. Siapa-siapa yang bisa masuk, adalah siapa-siapa yang saya perbolehkan. Bagi saya menjadi bodoh dan ceroboh ketika berhubungan dengan cinta adalah bukan tindakan bijak. Terlalu kekanak-kanakkan. Saya ingin cinta yang dewasa. Manis tanpa pemanis. Paham sebab-akibat. Terencana. Tahu tujuannya ke mana. 

Mari berencana! Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan bertingkah ceroboh tanpa perhitungan. Bercintalah dengan bijak. Jatuh cintalah dengan pintar. Jatuhnya walaupun sakit, tapi sudah sedia obat merah. Cintanya walaupun tulus, namun tidak buta. Kalau kamu masih tidak peduli untung-rugi, itu bukan cinta namanya. Itu main monopoli.

*

Saya pernah mendamba sebuah cinta yang datang secara tiba-tiba. Dibawa oleh seorang pria asing yang saya kenal tanpa sengaja di sebuah bandara.

Pria ini membawa satu ransel besar berisi hidup yang tak saya kenal. Hidup yang tanpa jadwal. Hidup yang penuh dengan kegilaan. Dan dulu, dulu sekali, saya pernah berkeinginan untuk mencintai sesuatu yang seperti ini. Sepertinya. Sesuatu yang tak terprediksi. Yang berbahaya. 

Pria ini menjanjikan saya sepaket surga beserta nerakanya. Dia bilang, dia akan sewakan sepasang sayap kalau saya ingin terbang. Tapi jatuh dari ketinggian seribu adalah resiko yang harus saya tanggung sendiri. Dia tidak mau campur tangan.

Saya menimbang lama.

Apakah ia kekeliruan yang menyamar sebagai pilihan yang benar?

"Ayolah! What's so scary about going on a trip with a stranger?"

"It's scary. SO scary. Aku nggak kenal kamu. Bagaimana kalau di tengah jalan nanti tiba-tiba kamu ngaku sebagai penjual organ dalam? Dan barang-barang yang ada di dalam tasmu adalah pisau daging?"

"Oh c'mon! I'm not that poor! Aku bahkan takut lihat darah. Pisau daging? My bag is full of clothes, book, paper, trash, whatever. Look. Oh, and some underwear. You wanna see that too?"

Saya tersenyum. "People say a villain is always charming. To be honest, I'm afraid of you."

"So, after judging me as someone who involves in some kind of organ selling and stuff, you then confessed that I am a... charmer? Well, I don't know how to respond to that, but I guess... "Thanks"? Is this backhanded compliment your way of saying "Yes, I'll travel with you"?"

"Mmm. Nope."

Dia mengerang kecewa.

"Hey, here's the deal. Okay? This invitation won't be like a lifetime decision. This is either going to be your best or worst choice. You decide. But you don't have to commit anything to me. It's not like I'm proposing to you or anything. Right? If you think I am this annoying jerk who, perhaps, likes to peep in while you take a bath, I'm not like that by the way, and you want to go home right away, then go. I am not going to restrain you or anything. You can do whatever you want. But, please. Just give me a chance to let you see that the world isn't really that bad of a place. You just have to travel a little bit far from your comfort zone, and see. That there are so much life lessons that you can just... breath in from a new place. Doesn't it sound like a better plan than going home and mourning and writing a cynical poem about love?"

Saya memandangnya lama.

"And talking about "what if", who knows if this whole deal of going-on-a-trip-with-a-stranger can cure your cynicism about marriage? Hey, we could even fall in love, get married, and have a baby in the middle of this unplanned journey."

Saya nyaris tersedak.

"So... yes?"

*

Saya pernah bermimpi menemukan sesosok asing yang ketika pandangnya saya temukan tanpa sengaja, saya tak perlu buru-buru memalingkan muka. Entah dengan kekuatan magis apa, senyumnya mampu membuat saya berangan-angan akan sebuah petualangan.

Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya karena saya, pernah, tak menyenangi sebuah kepergian.

**

Sunday, November 2, 2014

Definisi Mutlak


Summer Watercolor by kizistock

Ketika hijau, oranye, dan ungu belum memiliki nama, bagaimana orang-orang jaman dahulu menyebut campuran warna biru dan kuning, kuning dan merah, serta merah dan biru? Bagaimana mereka mendefinisikan warna-warna asing tadi? 

Malam ini, saya ibarat orang-orang masa lampau yang tengah kebingungan mencari sebuah nama. Definisi mutlak dari campuran berbagai macam rasa. 

Dan ibarat pula palet, hati saya rasa-rasanya sedang kejatuhan sekaleng penuh cat hijau, oranye, dan ungu dalam waktu yang bersamaan. Apa warna yang tercipta setelahnya? Mungkin hitam. Mungkin pula coklat pekat. Yang jelas, yang saya tahu, mereka bukan warna cinta. 

Ketika kemudian saya mencoba mendeskripsikan warna oplos tadi ke orang-orang asing, dan lalu mereka berkesimpulan bahwa warna di palet saya adalah merah muda, merah semu, merah hati dan merah-merah lainnya, apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan ketika orang-orang ini mencoba mendefinisikan mutlak apa yang ada di palet saya ketika bahkan saya sendiri, si empunya palet yang kejatuhan tiga kaleng penuh cat, sedang kebingungan memberi nama untuk warna oplos tadi. 

“Mereka agak ungu. Birunya lebih dominan. Tapi ada sentuhan merahnya juga. Kuningnya agak ketutup sih. Hijaunya tapi masih terlihat.”

“Merah muda itu pasti.”

“Iya, merah semu mereka.”

“Kalau menurutku sih merah hati.”

Kenapa harus merah?

Kenapa harus merah ketika saya jelas-jelas bilang “..birunya lebih dominan..”?

Sayakah yang buta?

Atau mereka yang tuli?

Padahal  mereka jelas-jelas bukan si pemilik palet. Padahal mereka jelas-jelas tidak melihat bagaimana kaleng-kaleng cat tadi tumpah, melebur jadi satu, dan membentuk warna baru.

Lantas mengapa mereka begitu yakin kalau warna ini merah?

Mengapa beberapa manusia begitu senang meletakkan label mutlak pada hal-hal yang mereka belum ketahui secara pasti? 

Terlebih, jika hal-hal tersebut tidak mereka alami sendiri.

Dan haruskah saya melabeli, mendefinisikan mutlak, warna di palet saya? Haruskah saya mencarikan ia nama?

Misal saya sedang mencari campuran cat yang pas untuk mewarnai sekuntum mawar, haruskah saya mewarnai satu-satunya mawar di kanvas saya dengan warna oplos yang saya tidak tahu namanya tadi hanya karena palet saya ‘terlanjur’ kejatuhan mereka tanpa saya minta? Haruskah saya mewarnai satu-satunya bunga mawar di lukisan taman yang sedang saya buat dengan warna oplos tadi, hanya karena beberapa manusia melabeli ia “merah” dan merah adalah warna yang pas untuk sekuntum mawar?

Selain itu, mengapa beberapa manusia begitu senang mencari tahu alasan apa-apa yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan mereka? 

Saya tidak suka warna oplos ini.

Kenapa? Kenapa tidak suka? Kenapa membencinya?

Ya saya tidak suka. Saya tidak ingin melukis dengan menggunakan warna ini. 

Kenapa tidak dicoba dulu? 

Kenapa saya harus gambling untuk hal-hal yang jelas-jelas saya benci?