Friday, July 6, 2012

Tidur

Photo by Tina Sosna


Duduk di sampingku, dan ceritakan.
Tentang hari dimana kamu menemukanku,
Dan menyematkan separuh hatimu disini.
Disamping hatiku.
Dan menyatukan retakannya hingga tak berbekas.
Tak terlihat mata.
Hanya kau dan aku yang tahu,
Betapa dua paruh hati itu pernah jadi remah dan kesepian.
Pernah kusam berdebu dan nyaris tertendang.
Ceritakan,
Ceritakan padaku.

Mendekat padaku, kemari, peluk aku dengan nafasmu.
Mari kita selami dongeng yang pernah kita ronce,
Jadi seribu ikat bunga Melati, dulu, di pekarangan depan rumahku.
Tentang bagaimana ia tersimpan begitu lama di dalam mulutmu dan jantungku,
Tak berani dicetak jadi status,
Terlalu malu untuk terbangun dari mati suri,
Mendekat,
Kemari,
Mendekat padaku.

Kecup aku, sini, kecup semua lukaku.
Surutkan sebentuk sungai dadakan,
yang malam ini aku cipta di tengah pipiku.
Surutkan ia.
Berikan ia panas kecupmu.
Keringkan sungaiku.

Belai perihnya, sayang. Belai.
Rasakan bagaimana luka itu menghitam dan kering di bawah telapakmu.
Selami bagaimana ia terbentuk.
Tertempa sejuta serpih garam dan jeruk.
Perih bukan buatan.


Temani pedihku, temani.
Buatkan ia secangkir teh dan ajak ia mengobrol.
Ijinkan ia menjemput Subuh hanya dengan menatap matamu saja,
Mendengar tawamu saja,
Menggenggam tanganmu saja.
Ajari pedihku untuk mencintai senyummu, sayang.
Ajari.
Jodohkan pedihku dengan bibirmu.
Ajari ia tersenyum seperti yang selalu kau lakukan.

Peluk aku, sini, peluk aku erat-erat dari belakang.
Di atas seprai biru bunga-bunga,
Sambil membicarakan nama anak-anak kita kelak,
Sambil mendesain dapur kita besok seperti apa,
Sambil membayangkan bunga apa saja yang ingin aku tanam,
Sambil memutuskan dimana ruang kerjamu besok berada.

Bisikkan, sini, bisikkan padaku.
Bahwa esok kau akan tetap ada,
Tak menguap bersama embun pagi.
Bahwa kau esok masih tetap ada.
Memelukku erat-erat dari belakang,
Sambil membisikkan “Selamat Pagi”.

**

Ditulis sambil mendengarkan lagu berjudul “Tidur” dari Dewi Lestari, setelah menangis tanpa sebab. Haha. Sangat labil ^^ 

Thursday, July 5, 2012

Tangis

Photo by Rosie Hardy


Ketika suara Dewi Lestari terlantun menembangkan salah satu lagunya di album Rectoverso, Grew A Day Older, saya tetiba menangis. Air mata ini menetes satu, satu. Membuat saya untuk sedetik merasa kaget dan bingung. Lalu kemudian sedih. Saya peluk diri saya sendiri, dan mulai menangis dengan khusyuk. Tanpa alasan. Tanpa pretensi mengapa dan kenapa.

Entahlah. Rasanya sesak saja. Saya ingin ditemani malam ini. Dipeluk dengan hangat. Dibelai rambutnya sampai saya tertidur.

Saya ingin seseorang menelpon saya, bertanya ‘Apa yang kamu takutkan?’, dan satu jam kemudian ia hanya diam saja mendengarkan saya terisak. Tahu kalau saya hanya butuh didengarkan walaupun tak punya cerita apa-apa. Tahu kalau saya hanya butuh... ditemani. Dipegang jemarinya. Dikuatkan.

Baris ini saya tulis di tengah rinai gerimis yang menderas di pipi. Menetes satu per satu dengan bersahaja.

Ia sedang tak ingin dipertanyakan. Ia... hanya ingin jatuh.

Tolong, siapapun kamu disana, pegang erat tangan saya dan temani saya menangis.
Mari kita seduh dua cangkir kopi dan dengarkan air mata saya bercerita.

Katakan, gerimis ini pasti berakhir di penghujung Subuh nanti. Dan esok pagi langit biru akan tetap datang. Bersama mataharinya. Bersama senjanya yang sendu dan hangat.

Sekarang saya rindu. Rindu sekali. Entah dengan siapa. Saya tidak tahu. Atau mungkin saya rindu dengan semua orang. Saya sulit untuk menyebutkan nama mereka satu-satu. Saya orang yang tak pernah pandai bilang rindu.

Oh, gerimis ini kini jadi badai.

Peluk saya.

Peluk saya yang erat, Tuhan...