Friday, March 8, 2013

Anak Tanaman

Photo Shin Hyerim


Selepas makan bersama seorang teman tadi sore, tercetus sebuah pemikiran akan betapa nyamannya ketika kita bisa mengerjakan tugas se-memusingkan skripsi di rumah.

Ya. Bukan Kos atau Perpustakaan. Tapi rumah kita sendiri.

Tempat di mana kita bisa nyaman mengurung diri di kamar sehari penuh. Kalau kita buka pintu dan lapar, makanan sudah siap di meja tanpa perlu dicari. Butuh hiburan tinggal nonton TV. Dan dalam kasus saya, kalau saya capek pun kayaknya ada yang bakal sukarela mijetin tanpa harus saya minta.

Ah, rumah.... (T__T)

Saya adalah anak "tanaman" yang dibiarkan tumbuh sesukanya sesuai tuntunan alam semenjak lepas dari umur 10. Ini bukan berarti orang tua saya enggan menuntun saya dan lantas membiarkan saya tumbuh bebas. Keadaan yang memaksa demikian. Jarak lebih tepatnya.

Berhadapan dengan realita yang semacam ini membuat saya jarang "pulang" ke rumah yang sebenar-benarnya rumah. Tempat di mana ketika saya membuka pintu, saya bisa melihat Bapak yang sedang menjahit, Mamak yang sedang menonton televisi, dan atau berpapasan di halaman depan dengan adik laki-laki saya yang baru pulang dari bermain bola.

Saya baru sadar tadi sore kalau saya lelah. Obat stress yang saya butuhkan saat ini ya hanya "pulang". Pulang dan merasakan kembali peran jadi "anak manusia". Bukan "anak tanaman" yang bisa tumbuh liar dan makan ala kadarnya sendiri.

Ya, berdiri di atas kakimu itu perlu. Harus. Hidup yang baik tidak akan pernah terdiri dari siklus "bergantung pada orang lain" dan "bermanja pada kenyamanan". Namun, ketika kamu merasa kakimu telah cukup lama berdiri sendiri menghadang nyaris semua cuaca yang langit mampu tawarkan, ada kalanya kamu hanya ingin mencari waktu beberapa jenak untuk menemukan sebuah bangku kosong di pojokan taman. Dan duduk di sana tanpa berbuat apa-apa.

Saya hanya ingin seperti itu sekarang. Di rumah. Duduk. Diam. Dan tidak berbuat apa-apa.

Seandainya perjalanan pulang yang saya maksud mampu ditempuh dengan kereta, atau bis, atau kapal Ferry. Dan uang yang saya butuhkan tak lebih dari Rp. 300.000,- mungkin saya akan pulang saat ini juga. Namun, ada Laut Jawa dan beratus-ratus kilometer perjalanan menuju jantung pulau Kalimantan yang harus saya tempuh untuk menemukan rumah yang saya inginkan.

Baiklah. Anggap saja ini ujian.

Kelak, beberapa bulan lagi mungkin, semua lelah dan pusing yang diakibatkan perjalanan sunyi dari mengerjakan skripsi ini akan hilang tak berbekas. Dan induk saya pulang.

Saya nggak akan jadi "anak tanaman" lagi.

**