Sunday, February 24, 2013

Rumah

"Cinta itu tidak buta. Cinta hanya tak peduli pada hal yang tak penting. Buat saya, kamu itu penting. Buat saya, kamu itu cinta." 
(Connie)

Aku mungkin tak akan pernah mengerti bagaimana memercayai keseluruhan dirimu saja sanggup membuatku patah berserakan.

Cinta ini begitu rumit untuk dipahami. Apalagi dijalani dengan selamat.

Kelak di ujung jalan sana kau harus hadiahi aku sebaki penuh peluk hangat dan senyuman yang maha manis.

Atau berjanji lah untuk selalu kembali padaku dalam keadaan baik-baik saja.

Berjanji lah untuk selalu menebus kekhawatiranku dengan kepulanganmu.
 
Ah, membayangkanmu tertawa sambil mengacak rambutku gemas saja rasanya sudah mampu menukar setengah beban yang sedang kutanggung.

Di mana pun Tuhan berada, aku bersumpah kau adalah ciptaan-Nya yang tak pernah bosan membuatku membisikkan rasa syukur.

Suatu saat nanti, jika aku berubah menjadi perempuan berhati buruk yang menolak untuk kau tuntun pulang, peluk saja aku kuat-kuat.

Aku akan meronta untuk beberapa detik, namun menit setelahnya cuma tangisku yang akan kau dengar.

Diamkan saja aku untuk beberapa lama. Diamkan.

Aku ingat sekali dulu kau pernah bilang begini: "Hei, Nona. Perlu kau tahu bahwa aku memilihmu bukan karena kau adalah mawar paling harum setaman. Hati ini, ia tak menginginkan padanan yang hanya istimewa di luar namun sejatinya lemah. Aku menjatuhimu cinta karena sebagaimana kodrat seorang lelaki, aku harus mencari tempat pulang yang nyaman dan kuat. Aku percaya kamu adalah tempat pulang yang aku cari. Rumah ternyaman yang hatiku inginkan. Jangan pernah pergi. Berjanjilah untuk jangan pernah melepas pelukku lagi dan kemudian melarikan diri."   

Katakan sekali lagi kalimat ini usai tangisku reda. Mendengarnya selalu membuat hatiku ringan.

Di waktu-waktu tertentu aku hanya butuh kau untuk lebih rajin bersabar.

Mengerti lah bahwa dilihat dari sudut mana pun cinta ini hadir terlalu dini.

Kita masih punya banyak sekali tabungan tahun yang harus dilalui.

Maaf kalau aku jadi sering berubah menjadi baik, lalu buruk, baik lagi, lalu buruk lagi.

Aku memang sulit dimengerti.

Namun pada akhirnya, di penghujung perang antara perasaan dan aku, di sana, akan selalu terhampar pemandangan yang sama.

Kamu yang tengah tersenyum lembut, tangan di dalam saku celana, badan menyender di depan pintu rumah, dan gelengan kepala singkat.

Gelengan kepala itu seolah-olah wakil dari sambutan "selamat datang"-mu.

"Bocah ini. Bandel. Masih saja senang bermain-main dengan asumsi dan prasangka. Senang sekali menyakiti perasaannya sendiri."

Lalu tanpa ucapan apa pun kau akan membuka kedua lenganmu. Menanti aku berlari dan menubruk tubuhmu sambil menangis.

Akan selalu ada sesal setelah "perang". Namun kau tak pernah gagal membuatku memaafkan diriku sendiri.

"Aku terlalu rumit. Maaf. Maaf karena aku terlalu sering membuatmu bersabar. Maaf kalau aku membuatmu begitu sulit untuk mengerti. Aku kekanak-kanakkan. Aku perempuan yang bodoh."

Pelukanmu lepas. Kau membungkuk sedikit dan menyamakan pandangmu dengan mataku.

"Iya. Kau memang perempuan bodoh yang paling sulit ku mengerti. Namun ingat, Nona. Memahamimu lebih jauh sama dengan mengerti tentang diriku lebih baik. Aku sudah pernah bilang padamu tentang hal ini ribuan kali bukan? Bagus. Sekarang, berhenti lah menangis. Semesta tahu aku mencintaimu."

Senyummu mengembang. Pelukanmu kembali,

Matahari pun seperti dicerabut dari langit dan kemudian ditanam di bibirmu.

Badai berlalu. 

Dan aku menemukan rumahku lagi.

*

Celoteh si Pejuang Skripsi


Photo by Kitty Gallanaugh


Lagi-lagi tulisan lama yang saya temukan secara random. Melihat isinya, kayaknya saya lagi ricuh banget waktu nulis ini gara-gara mau KKN. Haha. Padahal KKN “doang” -____-

*

Baru saja membaca satu entri di blog kakak angkatan saya yang lagi anget-angetnya bertitel “sarjana” dan mendadak saya jadi galau, SEGALAU-GALAUNYA. Kayaknya malam ini bakalan lebih panjang dari yang sudah-sudah. Orang-orang di dalam kepala saya ini mulai sepik kanan-kiri, atas-bawah. Ramainya bukan buatan. Saya akan mencoba menerjemahkan inti sari celotehan mereka, tapi jangan harap saya akan menuliskan semua detil. Saya belum mau menulis skripsi!

*

Saya adalah mahasiswi semester 6 yang sebentar lagi akan melaksanakan tugas mulia bernama KKN. Untuk urusan KKN-KKN-an ini, beberapa hari yang lalu saya sempat ngetik begini di akun twitter saya; “Pengen skip langsung ke bulan Agustus tanggal 16, Tuhan. Plisss.”

Kenapa tanggal 16?

Karena pada tanggal itu semua “penderitaan” saya selama 5 minggu berakhir berbarengan dengan dilambaikannya tangan pak Kades. Ya. Intinya, program KKN saya bubar tanggal segitu. Dan saya bisa pulang kampung, berlebaran, BEBAS.

Dipikir-pikir, ini baru soal KKN ya? Belum ribet sana-sini nyari kerjaan. Saya kok sudah rempong bak disuruh transmigrasi ke Jayawijaya.

Rampung membaca postingan kakak angkatan saya itu, lantas saya pun melongo. 

Ada orang teriak begini di sela-sela sel abu-abu saya.

“Hoy, Ris! Endapkan itu yang baru saja kamu baca. PIKIR. Kamu itu sudah “berumur”. Sudah bukan jaman-jamannya lagi aktif di jejaring sosial dan banyak-banyakan nambah daftar teman. Lihatlah, berapa banyak itu temanmu yang sudah punya suami atau bahkan sudah mulai sibuk mendaftarkan anaknya ke bangku TK. Kamu pikir kamu masih bisa leha-leha dan bilang, “AH, lulus masih lamaaaaa”? Kamu pikir, mencari kerja setelah lulus itu mudah? Gampang? Langsung dapat? Jangan kamu pikir gara-gara kamu pandai dalam beberapa hal, lantas mencari kerja pun langsung bisa di-judge “jauh dari sulit”. Masih ada langit di atas langit, Ris. Ingat. Dan kalaupun kamu masih bisa dengan sangat santai dan PD untuk berpikir bahwa nyari kerja itu segampang mancing di akuarium (mengingat kamu itu datang dari jurusan APA), hem, makanlah itu bangku coklat, Ris. Dan teruslah bermimpi.”

Orang ini memang kurang ajar bukan main. SANGAT kurang ajar. Tapi di beberapa hal, entahlah, saya kok setuju dengan ucapannya.

Saya ini memang bukan remaja lagi. Kepala saya sudah dua. Labil mungkin masih, masuk kategori “muda” juga mungkin iya, tapi untuk masih punya pola pikir “Ayo nyantailah. Let it flow. Liat aja nanti kerja apa” itu kok rasanya agak riskan ya? Kowe ki semester piro je?

Mau gimana juga waktu itu jalan, Bung. Nggak stuck di tempat aja dan nungguin kita besok dapet kerja apa. Mimpi boleh, tapi usaha juga diperluin.

Bener emang kalau ada orang yang bilang “Makin kamu gede, makin sedikit hal yang bisa bikin kamu senyum.” Karena ketika kita udah mulai bisa mikir, nggak bakal lagi kita percaya mitos kalau Doraemon itu punya alat yang bisa bikin kita diterima ngelamar kerja dimana aja. Nobita yang punya Doraemon aja nggak lulus-lulus SD. Padahal dia kakak angkatan saya loh!

*

Tulisan di atas waktu saya temuin siang ini ternyata masih draft. Itu artinya saya belum selesai nulis dan lalu lupa nggak dilanjutin lagi. Sekarang saya sudah semester 8. Setengah tahun lewat dan lembar-lembar elektronik berisi keluh kesah saya tentang kerjaan ini baru saja saya temukan. Andaikan tulisan ini batu, mungkin dia sudah lumutan saya cuekin.

Saya mulai nulis skripsi sejak semester 7. Dan sampai sekarang baru jalan Bab 2. Salah saya sendiri sih. Kenapa baru niat ngerjain awal tahun ini. Yang lain udah merdeka sejak tahun ’45, saya baru angkat senjata 2013. Ya, wassalam.

Nggak nyangka aja saya akhirnya menghadapi masa-masa “krusial” ini juga. Padahal rasanya baru kemarin nangis karena keterima di universitas dan bersemangat bangun pagi ikut PPSMB. Time sure flies.

Dilihat lagi KKN itu sebenernya gampang dan simpel kok. Lha wong nggak ada yang perlu dikhawatirin. Cuma gitu-gitu aja. Berangkat, interaksi sama orang-orang baru, ngerjain program, trus udah, pulang. Simpel.

KKN itu ujian saya di semester 6. Skripsi ini adalah ujian baru saya.

Apakah beberapa tahun lagi, ketika sudah mendapat gelar sarjana dan bekerja, saya juga akan menganggap “skripsi” sebagai hal yang sama simpelnya seperti “KKN”? Yaah, apa-apa kalau udah dilewatin emang enak sih. Kelihatan gampang. Padahal prosesnya belum tentu.

Kakak angkatan yang saya ceritain di awal tadi sekarang sudah dapat pekerjaan. Syukurlah. Baca pengalaman dia nyari kerja rasanya ikut capek. Makanya waktu tahu dia akhirnya sukses diterima saya jadi ikut senang. Padahal kenal orangnya aja enggak.

Beberapa teman saya kemarin sudah diwisuda. Pakai baju kebaya cantik-cantik dan semuanya pakai selendang bertuliskan “cum laude”. Senang liatnya. Tapi juga miris di diri sendiri. Beberapa kali saya berasumsi bahwa alasan mengapa saya kok nggak cepet-cepet move on dari Bab 1 itu gara-gara dosen pembimbing. Tapi diliat kesini lagi, ini memang murni salah saya. Menghibahkan tuduhan pada DPS itu cuma akal-akalan saya aja biar nggak ngerasa terlalu bersalah gara-gara saking malesnya. Ck, mahasiswa macam apa ini.

Semakin kesini, kalau ngobrol sama temen, semakin banyak omongan berbau tentang masa depan. Mau kerja di mana besok? Ngelanjutin S2? Atau nikah?

Masa depan saya masih gelap gulita. Pernah sih beberapa kali mikir sambil nyekripsi tentang pekerjaan apa yang mau saya ambil setelah ini. Tapi ujung-ujungnya mentok. Yang bikin tambah stress, keluarga besar meletakkan harapan yang begitu besar di pundak saya. Mereka pikir, “Alah, anak UGM kalau lulus pasti langsung kerja. Kalau pinter kan ntar malah dicariin. Bukan nyari.” Semua saudara saya yang kuliah di sini emang ujung-ujungnya sukses. Lha ya jelas sih. Orang mas sepupu saya anak teknik, trus si Om double degree. Lha saya? Anak Sastra yang gini-gini aja. Mau kerja apa?

Coba orang-orang nggak langsung asal menyamaratakan semua jurusan. Mana menang lah saya dibandingin mas sepupu saya tadi. Dia kan dari jurusan favorit. Pinter. Ganteng lagi. #lah

Pingin sih mikir kalau waktu saya masih banyak. Saya masih muda. Masih bisa menikmati waktu dan ke-masa muda-an saya yang nggak bakal datang dua kali. Tapi secuek apa pun saya berusaha mikir demikian, beban itu tentu ada. Bayangan orang tua yang makin hari makin tua bikin saya urung buat foya-foya sana-sini.

Berprinsip “Let it flow~ Liat aja nanti” itu memang benar riskan adanya. Planning tetap dibutuhin. Sesederhana apa pun. Sayangnya yang saya punya cenderung masuk ke tipe “nggak mungkin banget diwujudkan sampai lebaran monyet”.

Hidup itu nggak simpel, ye? Catet tuh di jidat.

Pantesan aja temen-temen yang udah kerja pada antipati sama anak-anak kuliahan yang bisanya sombong tapi pake duit ortu. Nyari duit itu susah, nyet.

Pertanyaan yang sama pun kembali lagi kayak dulu pas jaman-jaman milih jurusan.

Mau kerja yang sesuai passion atau yang ngehasilin duit banyak?

Kalau dapet dua-duanya sih syukur ya. Semoga semesta mengamini. Amin.

Buat yang masih luntang-lantung kayak saya ini sih yang penting dapet satu aja udah sujud-sujud.

Ah, mengapa aku tampak begitu desperate... *nangis*

Dan semester 8 ini pun mengajarkan saya bahwa urusan “pacar” dan “gebetan” itu kecil sekali nilainya dibanding perkara yang lain. Remeh. Jodoh udah ada yang ngurusin, masalah beberapa tahun kedepan saya makan dari duit siapa itu yang sekarang bikin pusing.

*

Ngomong-ngomong saya lagi nonton dorama Jepang judulnya “Rich Man, Poor Woman”. Isinya menohok banget. Yang cewek dari University of Tokyo tapi nggak dapet-dapet kerja, yang cowok nggak lulus SMP tapi jadi bos. Ah, memang yang namanya niat dan usaha adalah salah satu senjata ampuh menuju kesuksesan.

Asik kali ya besok kalo udah kerja gitu terus ditaksir sama bos yang gantengnya kayak Shun Oguri-kun~~     

 (づ ̄ ³)

Ngimpi aje terooooosss!!! Ngimpiiiiii!!! (¬_¬)

*

Saturday, February 23, 2013

Redup


Photo by Kitty Gallanaugh

Tulisan ini, apa pun namanya, diketik ketika aku sedang jatuh ragu. Hatiku tersaruk. Dan tak sengaja terkena ribuan pecah kekecewaan. Kepingnya menancap demikian kuat. Beberapa di antaranya berhasil merobek daging. Secuil kepercayaanku tentangmu ikut terenggut bersama darah yang mengalir. Maaf, aku tak mampu mencegahnya. Aku hanya bisa menambal lukanya dengan sehelai perban. Berharap agar sisa kepercayaanku padamu, masih cukup banyak untuk membuatku menyayangimu sampai esok pagi.

Pernah membayangkan kalau cinta ini cuma kau sendirian yang simpan? Bagaimana jika selama ini aku hanya bersandiwara? Bagaimana jika sejak pertama, kupu-kupu itu tak pernah mampir di perutku? Kau memang mengirimkan mereka padaku namun aku membuangnya. Seluruhnya ke dalam bak sampah di depan rumah. Apakah harga dirimu sebagai laki-laki akan jatuh? Coreng moreng penuh debu setelah hati yang kau titipkan berhasil kurampas dan kuinjak sesukanya?

Belakangan ini kau begitu sering menyenangi hal-hal yang kubenci dan kuanggap murah. Kau tahu aku adalah perempuan yang sulit untuk diyakinkan, bukan? Aku bukan tipikal perempuan yang mudah memaafkan hal-hal kecil yang tak kusuka namun terus-menerus kau lakukan. Aku sungguh berharap kau sadar itu.

Diam-diam aku berkaca dan tertawa. Ah, betapa mudah perasaan ini dibolak-balik. Aku pun tak paham bagaimana rasa kering dan sepi yang dibiasakan ini kemudian menjelma menjadi benci yang mengerikan. Demi Tuhan, aku tak ingin ia ada.

Semesta pun mengerti kau terlalu budiman untuk dimusuhi. Kau adalah sepersekian kecil laki-laki baik yang masih Tuhan simpan untuk surga-Nya.

Aku memang biadab.

*

Tuesday, February 19, 2013

Memanjakan Kesedihan

Photo by Nishe


Ceritakan padaku, perempuan mana yang tak mencintai kesedihan? 

*

Perempuan adalah makhluk yang tak pernah kikir dalam memikirkan segala jenis perkara. Kalau masalahnya bernilai 100, mereka akan memikirkannya 10 kali lebih banyak, mengalikannya dengan prasangka buruk 10 kali lipat, dan menambahkan kesimpulan yang ia buat sendiri dengan 10 macam versi.

Baik ya?


Bahkan untuk memperdalam luka mereka sendiri pun mereka tak pernah tanggung-tanggung. All out. Totalitas.


Saya lalu teringat salah satu postingan yang pernah Bang Darwis Tere Liye tulis di laman Facebook-nya.
"Anak cewek itu harus gesit, tangguh, cekatan, rajin dan sifat yang lebih mendasar lainnya. 
Kalau cuma imut, lucu, menggemaskan, warna-warni, saya rasa boneka Barbie juga punya sifat artifisial seperti itu. 
Jadilah anak cewek yang mandiri, punya cita-cita, dan bisa diandalkan."

Jangan pernah jadikan status "perempuan"-mu sebagai alasan untuk "sah-sah saja" merajuk pada siapa pun. Manja memang salah satu sifat dasar perempuan dari ras mana pun ia dilahirkan. Namun menjadi mandiri   adalah pilihan masing-masing dari mereka. Tak semua mau memang, karena siapa yang ingin memilih jadi mandiri kalau bermanja-manja adalah opsi yang lebih menyenangkan? Tapi adakah yang tahan mendengar seorang perempuan merajuk terus-terusan sepanjang hari? Mengeluh tentang ini dan itu? Membuang nafas dengan kesal dan menangis kalau permintaannya tak dituruti? Yakin ada pria yang sanggup menghabiskan sisa umurnya untuk menikah dengan perempuan seperti ini? 

Salah satu 'kelebihan' orang yang gemar mengeluh adalah kepandaian mereka membutakan diri melihat hal-hal kecil untuk disyukuri. Yang tampak hanya sumber keluhan saja. Jarang mau membuka mata untuk melihat lebih teliti ke pojok-pojok ruang yang jarang terjamah. Padahal di sana Tuhan kerap menyelipkan nikmat-Nya. Nikmat-nikmat yang walaupun remeh dan sederhana, namun mampu jadi tungku  untuk jantungmu saat kondisi sedang buruk. Kebiasaan menemukan mereka akan membuat kantongmu penuh. Dan keluhan tak pernah bisa dibeli dengan kantong yang penuh akan rasa syukur.

Kamu. Aku. Mereka. Siapa pun punya masalah. Karenanya jangan pernah merasa sombong bahwa masalahmu adalah yang paling menyedihkan sejagad raya. Bahwa kau dan masalahmu adalah poros yang semua makhluk harus dengar dan rasakan. 

Yang paham rasa sedihmu adalah dirimu sendiri. Menceritakannya ke terlalu banyak telinga tak akan pernah membuat bebannya berkurang. Karena sebagaimana menulis, bercerita adalah cara lain untuk mengingat sesuatu dengan lebih baik. Adakah pilihan yang lebih menyenangkan dari mengingat kesedihanmu dua kali lipat lebih kuat?

Jangan manjakan rasa sedihmu. Sesuatu yang dimanja biasanya akan menetap lebih lama.

"Setiap orang punya masalah. Ngga usah berasa paling spesial menderitanya."
-falafu-


*

Saya percaya bahwa kedewasaan bukan bertolak pada bilangan usia. Mereka yang sudah berumur belum tentu jadi yang paling bijak dalam bersikap. Pun yang muda bukan berarti kerjanya hanya bisa jadi anak labil saja.

Percayalah, bahwa mereka-mereka yang telah berhasil memantaskan sikap dengan cukup baik adalah pribadi-pribadi yang pernah belajar super keras untuk membiasakan diri dengan kata sabar. Apakah mudah berdamai dengan kesabaran? Tergantung. Beberapa orang meyakini bahwa mengaplikasikannya tak lebih mudah dari mengedipkan mata. Beberapa yang lain mengeluh kalau bersabar itu sama sulit dengan bernafas tanpa oksigen. Kamu yang pilih ingin ikut yang mana.
*

Apa pun yang kamu lakukan kepada manusia lain dalam konteks "terlalu" 
tak akan pernah berakhir dengan indah.
Terlalu sayang. Terlalu kangen. Terlalu benci. Terlalu khawatir.

Tahu apa yang harus dilakukan agar konteks "terlalu" ini tak pernah mampir?

Kadar perasaanmu, kontrol mereka.
Bukan sebaliknya
  *