Thursday, February 7, 2013

Hati yang sakit

Photo by Tanja Moss

Tuan,
Sakit macam apa ini?
Hanya datang ketika saya memejamkan mata,
dan selalu muncul di pagi buta sebelum saya terlelap.
Rasanya nyeri sekali di ulu hati.
Tapi saya tak tahu apa sebabnya.
Yang saya ingat,
wajah Tuan selalu terbayang setiap pukul dua.
Menggenang begitu saja di pelupuk.
Lalu seperti awan yang keberatan beban,
wajah Tuan mulai mengirimkan gerimis.
Untuk apa?
Saya tidak sedang kemarau.
Saya bahkan sedang kebanjiran.
Ya, saya sedang kebanjiran rindu, Tuan.
Lalu untuk apa Tuan mengirimi saya seamplop air mata?
Tiada guna.



Tuan,
Hati saya sedang sakit bukan kepalang.
Tiap malam ia kambuh.
Semakin hari kian membengkak.
Di dalamnya ada cairan, Tuan.
Atau mungkin darah.
Entahlah.
Namun rasanya sakit sekali.
Saya harus bagaimana?
Saya sulit tidur.
Jantung saya detaknya lari kemana-mana.
Pikiran saya kocar-kacir.
Harus saya salurkan kemana lagi lukanya, Tuan?
Saya ingin tidur normal.
Jantung saya ingin pensiun lari-lari malam.
Jangan bebankan begitu banyak rindu yang kau sendiri tak mampu tebus, Tuanku.
Kekuatan luar biasa macam apa yang sanggup kau bayangkan
mampir di diri wanita seperti saya?
Perempuan ini, serumit apa pun ia, hatinya tak lebih rapuh dari segepok kayu Mahoni tua.
Tuan tentu paham itu.
Jika sampai detik ini ia masih bertahan untuk menertawakan dirinya sendiri,
itu tak lebih karena ia percaya bahwa Tuhan akan selalu memeluk dirinya kuat-kuat sebagai pengganti kekosonganmu.


Tuanku, jika engkau khawatir ia akan jatuh dan melemah,
lalu pergi begitu saja karena bosan,
ketahuilah bahwa perempuanmu ini lebih khawatir akan hal-hal yang demikian.
Ia berdoa lebih lama dan lebih rajin,
namun tak pernah sekali pun ia meminta agar Tuan tak pernah berpaling.
Ia, entah mendapat pemahaman darimana, selalu percaya,
bahwa Tuan adalah pemuda yang patut mendapat lebih.
Ia merasa tak cukup baik.
Terlalu kotor untuk berdiri di sana. Di samping Tuanku yang sederhana.
Maka jika Tuhan berkehendak untuk membelokkan pandangmu pada perempuan lain,
yang tentunya lebih pandai dalam melengkapi kurangmu,
dan bijak dalam menjumlahkan syukurnya,
pergilah.
Ia tidak berjanji untuk tidak menangis.
Namun ia pasti ikhlas.
Pasti.



Tuan,
Kalau hati ini sakit lagi nanti malam,
membengkak lagi dan memerah,
dan lalu wajah Tuan kembali hadir,
terpeta nyata bak rembulan,
apa yang harus saya lakukan?
Belakangan ini tak ada lagi telinga yang mudah dibuka.
Saya bingung harus menyalurkan lukanya kemana.
Darahnya mulai sering menetes-netes.
Satu. Satu.
Dua. Dua.
Perih sekali, Tuanku.
Jangan benci saya kalau belakangan ini menangis menjadi ibadah yang begitu mudah dijalankan.
Saya kehilangan banyak pasang telinga yang mampu jadi perban untuk menutup luka.
Atau mungkin, telinga-telinga itu masih di sana? Masih setia?
Saya saja yang menutup paksa mereka.
Saya saja yang membuat luka ini tak mampu menyalurkan perihnya.



Tuan,
perempuanmu ini memang kadang bisa jadi bodoh sekali.
Maafkan ia yang sering merasa sok kuat.
Terlalu kikir menyimpan lukanya sendiri.
Baginya, menitipimu harap dalam bentuk apa pun adalah bukan tindakan cermat.
Ia sering mengharamkan mulutnya sendiri untuk mengucap namamu.
Berkisah tentang Tuan adalah pelanggaran.
Tak heran kalau hatinya sering lebam.
Penuh luka sayatan kecil-kecil setelah sebelumnya direndam dalam air garam.
Apakah perih yang sama pernah Tuan rasakan?
Bagaimana menyembuhkannya?



Tuan,
kadang saya ingin luka yang membengkak ini kemudian dipecahkan saja.
Saya ingin hati ini dimatikan untuk jangka waktu yang sangat lama.



Tuan,
apakah mata yang jarang bertatap bisa saling jatuh hati?
Apakah rindu yang sengaja diikat, ketika kemudian dilepas, akan berniat melarikan diri?
Menyisakan sayatan seratus kali?
Luka lagi?



Tuan,
apakah kalau kita tidak pernah bertemu semuanya akan lebih baik?



Tuan,
pulanglah...



No comments:

Post a Comment