Photo by Rona Keller |
Hai,
Apa kabar?
Pukul berapa di tempatmu sekarang? Apakah ketika surat ini
tiba di pangkuanmu hari sedang hujan? Atau sebaliknya? Siang atau malam di
sana?
Ah, maaf. Aku belum berhasil menemukanmu sampai sekarang.
Entahlah, semuanya jadi begitu rumit. Tak ada satu pun jejak yang bisa
kujadikan petunjuk. Kau pergi begitu saja. Hilang. Seolah-olah kau tak lagi
ingin kita dipertemukan.
Atau memang maumu begitu?
Kumohon jangan. Kamu tahu kan, aku tanpamu sama saja dengan angka nol dibagi bilangan berapa pun?
Kosong.
Aku tanpamu kosong, sayang. Sebanyak apapun nol yang kubawa
dibalik angka satu yang kuperoleh, ketika ketidakberadaanmu membagi semua yang aku punya, aku kembali lagi jadi bilangan nol yang kosong. Hampa.
Aku membutuhkanmu. Aku harap kamu tahu aku berusaha
mati-matian untuk tiba di sana. Berdiri di sana. Menunaikan tugasku dengan
seharusnya.
Ah, atau mungkin semesta dan Tuhan memang belum mengijinkan?
Kamu tentu lebih dari mengerti bahwa, sebenarnya, tanpa kita saling mencari pun
aku pasti kembali. Kamu pasti di sini. Aku tak akan pernah hanya jadi bilangan
nol dan kamu akan selalu menggenapi segala yang kosong.
Tulang rusuk yang kamu bawa itu, sayang, adalah milikku. Aku
memercayaimu untuk menjaganya sampai nyaris seperempat abad aku hidup karena
aku percaya. Apa pun yang jadi kepemilikanku, akan kembali menjadi milikku.
Tulang rusukku, kamu, pasti kutemukan. Aku percaya itu.
Dan, pernahkah kamu berpikir bahwa beban yang kubawa ini
begitu sulit, sayang?
Kamu bertahan di sana dengan segala rasa bosan. Aku
mencarimu dengan sekantong penuh
kekhawatiran. Khawatir kalau-kalau kamu menyerah. Khawatir kalau-kalau
umurku tidak cukup panjang untuk menemukanmu, atau umurmu tak cukup panjang
untuk kutemukan. Khawatir kalau-kalau kita bertemu nanti kau kecewa karena aku
hanya pria biasa, atau sebaliknya. Khawatir kalau-kalau di tengah jalan aku
terlalu lelah dan lalu menghentikan semua usaha untuk mencarimu.
Perjalanan ini rumit, sayang. Sangat rumit. Karena itu aku
mohon... jangan pernah mencariku.
Jangan pernah melakukan perjalanan apa pun untuk mencariku.
Biar, biar aku yang harus berjalan jauh untuk tiba di sana. Biar aku yang
berusaha untuk membangun sebuah tempat yang kelak mampu kita namai bersama sebagai
‘rumah’. Biar aku saja.
Aku mengerti pekerjaan bernama menunggu pun tak mudah. Aku
hargai penuh kesabaranmu. Aku meletakkan semua rasa hormatku sebagai pria
karena kau begitu tabah dan bijaksana dalam penantian yang ujungnya pun tak ada
yang tahu.
Kangenku, mereka sudah tertimbun lama, sayang. Terlalu lama.
Maka ijinkan priamu ini untuk menyelesaikan perjalanannya dengan baik sebelum,
kelak, rindu yang terlanjur beku ini dihalalkan untuk meleleh dalam pelukanmu.
Kita bingkai nanti kisah tentang perjalananku dan
penantianmu dalam bentuk lagu, cerita, lukisan, apa pun. Kita bingkai mereka
dengan rapi. Kita simpan mereka rapat-rapat di dalam hati.
Kelak, kita tak perlu takut pada apa pun. Pada waktu? Siapa
dia? Kita berhasil menaklukannya bahkan sebelum dipertemukan. Bergelut
dengannya bukan hal baru. Biarkan ia memuai semaunya. Kau sudah pernah melewati
masa-masa menunggu yang lebih dari sekedar panjang. Waktu adalah butiran debu
di bawah kakimu, sayang. Dalam pertarungan apa pun melawan meraka, kau adalah
pemenangnya.
Takut pada rasa tak setia? Ujilah. Ujilah kita. Ujilah aku.
Biarkan perjalanan panjangku mengajarkan pada mereka apa itu setia. Bawa seribu
gadis muda dan cantik di hadapanku, maka sanggup kupastikan tak ada di antara
mereka yang angka satunya berhasil menggenapi bilangan nol yang aku bawa. Tak
ada yang kadar sabarnya melebihi takaran yang kamu punyai. Tak ada yang lebih
bijaksana dari perempuan hebat yang mati-matian sedang ingin aku temukan ini.
Tersenyumlah. Jangan pernah menangis karena merasa aku tak
peduli, tak acuh, dan semacamnya. Kau boleh pukul aku semaumu ketika aku tiba
nanti, namun jangan pernah ragukan rasa peduliku. Karena ia ada. Ada dan nyata.
Kamu tahu sayang? Cita-cita besarku selain memiliki
keturunan dari rahimmu adalah diperbolehkan untuk menua dalam pelukanmu dan
mati di tempat yang sama. Apa yang lebih indah dari kenyataan bahwa kita mampu
menutup usia dalam rengkuhan separuh jiwa? Ah, membayangkannya saja sudah
membuatku merasa terberkati dan lengkap.
Baiklah!
Sampai di sini dulu. Kapan-kapan aku akan mengirimu surat
lagi. Beberapa. Hanya beberapa saja. Aku tidak ingin mengirimu surat
banyak-banyak karena itu artinya perjalananku masih jauh menujumu.
Yang tak sabar untuk menemukanmu,
A very lucky man, Me
***
Aku selalu seneng nulis “A letter from your man” ini. Haha.
Rasanya kayak baca surat dari priaku di masa depan. (Padahal aku sendiri yang
nulis -____- pfft)
Ngenes ye, mblo?
Banget.
*dan kemudian nyemplung kolam*
*kolam hatimu*
~ ~ ~ (/`▽´)/
No comments:
Post a Comment