Monday, September 24, 2012

Yang tak sempat dicintaimu dengan baik


Photo by Logan Cole


Belakangan ini aku sedang diingatkan tentang urusan jodoh lebih dari hari-hari sebelumnya. Tentang bagaimana aku dan pria di masa depan itu bertemu, jatuh cinta, dan lalu saling mengiringi langkah masing-masing sambil menggenapi kekurangan satu sama lain. Indah sekali rasanya. Namun hidup tidak melulu tentang ‘gayung bersambut’ dan ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’. Lantas, bagaimana kalau Tuhan memanggilku duluan? Bagaimana kalau aku tidak sempat dipertemukan dan dicintai olehmu? Bagaimana kalau aku tiada bahkan jauh sebelum aku berhasil menunaikan misi mengembalikan tulang rusukmu yang pernah kucuri? Bagaimana? Tak apa. Tentu semuanya akan baik-baik saja. Karena aku yakin Tuhan paham betul bahwa kau adalah pria yang baik. Dan seseorang yang sanggup melengkapimu lebih dari aku pasti telah dipersiapkan :)

Jikalau hal itu terjadi (karena siapa yang tahu kapan Tuhan akan memanggilmu, bukan?) , dan aku sebagai seseorang yang belum sempat dicintaimu hanya diberi kesempatan semalam untuk menuliskanmu secarik pesan, maka mungkin ini yang besok akan kau baca.

**

Hai,

Kamu mungkin tak pernah membayangkan akan dirindukan seorang gadis yang tak kamu kenal, bahkan jauh sebelum Tuhan mengijinkan ia melihat kamu tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Ya. Gadis seperti itu ada. Aku orangnya. Hanya saja Tuhan belum berkenan untuk mempertemukan kita. Sayang sekali memang. Tapi tak apa. Setidaknya kamu tahu bahwa kamu pernah dinanti dengan sabar. Sampai pada akhirnya waktu terpaksa mengambil alih dan porsi hidupku harus berhenti di persimpangan masa. Bahkan jauh sebelum kamu tahu namaku siapa.

Aku ingin kamu tahu, gadis itu, aku, pernah bermimpi jauh sekali tentangmu.

Tentang bagaimana pertemuan kita terjalin menjadi simpul-simpul cantik yang sederhana, yang menerbitkan cinta lugu yang sederhana pula.

Tentang hari-hari yang mungkin akan aku lalui denganmu beberapa tahun mendatang, di sebuah rumah kecil, dengan hujan di halaman rumah dan seteko teh gula batu beserta gorengan hangat kesukaanmu.

Tentang bagaimana kamu sanggup menarik kedua sisi bibirku saat aku bersedih dengan cara-cara kecilmu yang manis. Ya, kamu bukan pelawak memang, tapi kamu adalah penerbit senyum paling keren yang pernah aku punya.

Tentang pemandangan pagi yang hangat dimana aku menemukanmu terbangun di sampingku dengan rambut acak-acakan dan mata setengah mengantuk. Aku tersenyum. Kamu tersenyum. Dan kita akan memulai hari itu dengan saling jatuh cinta melebihi hari-hari sebelumnya.

Mimpi-mimpi ini, dulunya, sangat aku nantikan untuk terwujud. Walaupun pada kenyataannya, Tuhan sepertinya belum sempat meniupkan kata ‘Amin’ untuk doa-doa malamku di atas. Tak apa. Aku tahu semua akan baik-baik saja nantinya.

Ada banyak hal yang telah aku perjuangkan sebelum waktu pada akhirnya bersimpuh pada takdir dan mempertemukan kita entah di persimpangan jalan mana. Seperti misal, aku berusaha sekuat tenaga untuk terus bertahan hidup sampai kita dipertemukan. Sepele ya? Iya. Tapi ini penting. Dan walaupun aku sudah berusaha untuk terus berlari main kejar-kejaran dengan sakit dan sehat, yang namanya maut rupa-rupanya terlalu serius untuk diajak dolan. Ia tetap menjemputku. Pulang. Tepat pada waktunya.

Dan selama ini, sebagai perempuan, aku juga berjuang dalam hal lain. Untukmu. Aku selalu berusaha untuk menjaga diriku agar tetap utuh. Supaya nantinya, kalaupun kamu tak sempat memilikiku, aku akan tetap utuh dan tak pernah dimiliki siapapun. Karena nyata aku hanya mempersiapkan diriku untukmu. Dan sekalipun Tuhan terpaksa menjemputku duluan, aku akan merasa cukup tenang karena tidak pernah jadi kepunyaan pria lain yang tidak aku inginkan. Aku tetap utuh sebagai aku yang tak sempat kau sentuh dan punyai. Aku menjaga diri dan imanku semampu yang kubisa. Sekuat yang kucoba, dan ini untukmu.

Perempuan ini pernah merasa tidak istimewa karena kamu memakan waktu lama untuk mencari jalan pulang menujunya. Ia pernah merasa tidak diinginkan. Ia pernah merasa buruk rupa dan minder. Tapi ia selalu percaya, bersamamu, hey pria baik, ia akan dimuliakan dan dihargai. Karena kamu yang penyabar, adalah pemilik pundak yang perempuan ini selalu nanti sampai ujung usia menggerogoti. Walaupun pada akhirnya usia benar-benar menggerogotinya, bahkan sebelum ia berhasil kamu temukan, perempuan ini tetap percaya kamu adalah pria yang baik, sederhana, dan penyabar. Kamu tetap jadi pria yang hebat untuknya.

Ada masanya, ketika aku muda, aku pernah membayangkan dirimu adalah seorang pria berkacamata dengan lesung pipi yang manis, pandai bermain drum atau gitar, dan seorang lulusan Fakultas Teknik. Haha. Konyol ya? Ya. Tapi itulah mimpiku. Dulu. Alasannya, mungkin karena aku selalu suka melihat pria berkacamata dan berlesung pipi. Dan satu-satunya pemusik yang aku kagumi cuma drummer. Walaupun belakangan ini laki-laki yang pandai memetik senar gitar juga terlihat cukup keren di mataku. Dan, kenapa harus lulusan Teknik? Entahlah. Mungkin karena dulu aku pernah bermimpi masuk kesana. Namun karena Tuhan belum mengijinkan, tak apa, kalau begitu aku ingin priaku saja yang lulusan teknik. Aku toh cukup berbahagia dijodohkan dengan budaya dan sastra.

Tapi, sekalipun kamu bukan pria berkacamata dengan lesung pipi yang lucu, bukan seorang pemain musik, dan bukan pula lulusan fakultas teknik dari universitas manapun, hal tersebut tidak akan pernah membuatku berhenti untuk jatuh cinta padamu. Percayalah, seperti apapun keadaanmu nanti, mereka akan selalu melengkapiku dengan nyata. Dan aku tidak akan pernah meminta lebih. Karena aku akan selalu berusaha untuk berbahagia dengan takaran hidup yang Tuhan beri. Dan kamu, adalah bentuk sempurna dari segala doaku yang sanggup semesta amini.

Aku pernah membayangkan, kita akan punya sebuah rumah yang sederhana dengan pekarangan yang cukup untuk ditanami berbagai macam bunga. Di dalamnya aku akan punya ruang untuk melukis dan menulis dan kamu juga punya ruang kerjamu sendiri. Oiya, dan kamu juga akan menghadiahiku sebuah dapur yang menyenangkan. Kita akan masak bersama pada Minggu pagi di sana.

Aku pernah membayangkan, kita punya tiga anak. Dua laki-laki dan satu perempuan. Atau sebaliknya. Yang jelas, anak pertamanya harus laki-laki. Karena aku ingin dia jadi pelindung untuk ibu dan adik-adiknya, kelak ketika kamu jauh dari rumah.

Aku pernah membayangkan kamu akan jengkel melihatku sibuk berkutat dengan tulisan dan gambar setengah jadiku sampai larut malam. Lalu kamu akan ‘menculikku’ dari ruang kerja dan membopongku secara paksa untuk tidur cepat. Ya, kamu tidak pernah suka aku tidur terlalu malam dan minum kopi terlalu sering. Maka setiap malam, kamu akan selalu rajin menculikku. Dan aku tak akan pernah protes karena itu :)

Aku pernah membayangkan di suatu sore yang berhujan, kita akan saling membagi musik di halaman depan rumah. Ditemani sepiring pisang goreng dan dua cangkir teh gula batu, kau dan aku saling diam dalam cinta yang menghangatkan. Kita pandangi rintik-rintiknya bersama lantunan lagu favoritmu di penghujung bulan November. Bulan yang tak lebih dan tak kurang kucintai layaknya Januari. Lalu kamu akan menggenggam tanganku erat dan aku akan bersandar di pundakmu lekat.

Aku pernah membayangkan semua itu akan nyata terjadi, walaupun sayangnya tidak. Tidak pernah. Atau belum. Tidak sekarang.

Tapi tak apa. Aku tahu semua akan baik-baik saja nantinya.

Pernikahan bagi sebagian orang mungkin hanya semacam selebrasi karena telah berhasil melalui masa bertahun-tahun pacaran yang awet. Atau seperti sebuah jalan mencari teman agar tidak mati sendirian ketika tua. Tapi bagiku tidak. Karena menurutku, pernikahan adalah jalan untuk bertukar kebahagiaan dalam kasih dan iman. Di mana saat kamu bersamanya, kamu merasa didekatkan kepada Tuhan. Saling membenarkan dengan cara yang benar. Sampai pada akhirnya kamu mampu menutup usia dengan perasaan yang lengkap. Itu pernikahan yang aku impikan.

Namun terkadang, ada kalanya kita harus cukup bersyukur dengan porsi yang Tuhan beri. Mengubur harapan yang mengabu dan tak ter-amini. Dan kamu tahu sayang, sekalipun harapan-harapan itu tak menemukan kesempatan yang sanggup ia genggam, setidaknya aku tahu, bahwa Tuhan pasti mempersiapkan perempuan hebat yang kelak akan melengkapimu lebih dari yang sanggup aku lakukan. Karena kamu pria yang baik. Selalu. Dan aku bahagia karena itu :)

Terimakasih atas segala kesempatan untuk dapat memimpikan ‘aku’ dan ‘kamu’ melebur menjadi ‘kita’.

Terimakasih karena telah mengajariku bahwa cinta memang sudah sepantasnya bukan tentang dimiliki dan memiliki, namun membahagiakan dan dibahagiakan.

Terimakasih karena dengan mengenalmu aku diajarkan untuk tidak lalai menjumlah kebahagiaan sekecil apa pun.

Terimakasih karena telah ikhlas menerima cintaku yang kurang dari separuh, dan tidak pernah menuntut untuk meminta utuh. Karena kamu tahu, aku tidak akan pernah menyayangimu, lebih dari apa yang kulakukan untuk Tuhanku.



Yang belum sempat dicintaimu dengan baik,



Aku


*

Menulis ini setelah membaca salah satu tulisan Kak Fa dan terpikir “Bagaimana jika esok aku lebih dulu tiada dari pada priaku?”. Tidak ada maksud apa-apa sih. Hanya ingin menulis saja. Tentu aku berharap sungguh-sungguh dipertemukan olehnya dan tidak benar-benar dipanggil duluan. Tapi kalaupun iya, ya sudah. Setidaknya teman, kerabat, dan kamu yang sedang membaca ini dapat mengabarkan kepada pria baik itu, bahwa aku pernah menunggunya dengan sabar dan setia. Walaupun pada akhirnya Tuhan terpaksa menjemputku lebih cepat dan membuat pertemuan kami menjadi sekedar harapan yang tak sempat.

Kepadamu, hey, hiduplah dengan baik. Dan aku akan hidup dengan baik pula.

Sampai berjumpa di masa depan!

Semoga :)

Sunday, September 23, 2012

11:11


Photo by Nishe


Belakangan ini saya kerap diperlihatkan Tuhan sepasang angka yang sama ketika tengah mengecek jam. 

Bukan sekali-dua, sepuluh kali mungkin ada.

Kebetulan sekali ya? Kebetulan yang selalu berulang.

Saya ingat seseorang pernah berkata bahwa ketika jarum jam mu berhenti di angka yang sama ketika kamu mengeceknya, itu artinya ada seseorang yang sedang merindukanmu.

Benarkah? Lalu siapa yang sedang kangen aku sekarang?

Sepasang angka yang sama itu selalu kulihat nyaris setiap hari. Bahkan dalam sehari aku bisa memergoki jamku berhenti di angka yang sama lebih dari sekali. Lalu, apakah ia merindukanku setiap hari juga? Lebih dari sekali dalam sehari?

Siapa?

Siapa yang sudah menitipkan rindu tak bernamanya pada sepasang jarum jamku?

Dengarlah, kalau memang begitu adanya, aku sama sekali tidak merasa tersanjung apalagi bahagia.

Rindu yang tulus tidak perlu disembunyikan. Apalagi dititipkan pada sepasang benda yang tidak bisa kau ajak bicara.

Rindu yang tulus hanya perlu diantarkan kepada yang berhak, diketukkan pintu, dan diberikan dengan ikhlas.

Rindu yang benar tidak butuh sepasang jarum jam untuk mengirimkan radarnya.

Rindu yang benar akan menemukan jalannya sendiri, dan dengan berani menyerahkan dirinya untuk pulang.

Rindu yang benar bukan rindu yang pengecut.

Dan aku berdoa semoga rindu yang bersembunyi di balik jarum jamku,

rindu itu, mereka bukan milikmu.