![]() |
Photo by Nishe |
Ketika yang mampu
mengubah dirimu menjadi buruk adalah dirimu sendiri, jangan pernah lupa bahwa
yang mampu mengembalikannya jadi baik adalah tak terkecuali dirimu sendiri
pula.
*
Saya sempat berpikir bahwa ada masanya ketika saya sudah
cukup dewasa, beberapa hal yang tadinya dipilihkan orang tua akan mampu saya
pilih sendiri, dengan keputusan saya sendiri. Termasuk tentang bagaimana cara
saya hidup.
Namun berdiri di atas kakimu pun bukan perkara yang mudah.
Kamu menghidupi setiap langkah yang kamu pilih dengan banyak prinsip. Dan
prinsip-prinsip itu, mereka, belum tentu dicintai dengan kadar yang sama oleh
orang lain. Tak terkecuali oleh manusia-manusia terdekat yang kamu tahu.
Saya tidak mengerti bagaimana awal mulanya saya jadi semacam
“apatis” terhadap hal-hal yang berhubungan dengan cinta. Namun yang saya
yakini, sekarang, saat saya sedang mengetik baris ini, jangan hitung saya
sebagai salah satu anak muda yang ingin berpacaran sebelum dihalalkan.
Oke, mungkin kedengaran SANGAT tidak meyakinkan ya? Haha. Mengingat
saya bukan muslimah yang cukup taat untuk mengenakan kerudung besar-besar dan
tidak menampilkan lekuk badan. Saya juga bukan termasuk ke dalam golongan perempuan-perempuan
solehah yang gemar memanggil sesamanya dengan sebutan ‘ukhti’. Ranking saya di
mata Tuhan mungkin rendah sekali dibanding mereka. Saya pun agaknya sedikit
minder ketika pertama kali tercetus untuk memutuskan hal semacam ini. Merasa
kurang pantas. Takut dikira sok suci. Namun hidup harus selalu melibatkan
perubahan, bukan?
Biar bagaimana pun
juga, saya percaya. Hidupmu, sepelan apa pun ia berputar, cobalah untuk selalu mengarahkannya
ke hal-hal yang baik.
*
Ngomong-ngomong tentang pacaran, sejauh ini tentu saja ada
waktu-waktu tertentu di mana saya ingin sekali punya pacar. Melihat beberapa
teman yang sepertinya manis sekali dijemput oleh sang kekasih dan punya “tukang
delivery makanan” dadakan kalau lagi
lapar, siapa yang tak ingin? Tapi itu dulu sih. Dulu banget pas jaman-jaman dinosaurus
masih belum punah. Alhamdulillah, sekarang udah nggak.
Tiba-tiba saya bersyukur sekali semenjak saya masih orok
sampai sekarang belum pernah dikirimin Tuhan cowok yang sudi ngajak saya
pacaran. Yah, mungkin karena sayanya yang nggak laku aja kali ya. *senyum
kalem*
Tapi lelaki yang baik dalam kamus saya memang harusnya
begitu. Pandai menyembunyikan hati sebelum tiba saatnya ia siap dan datang
untuk melamar. Tidak perlu ungkapan cinta, janji-janji, rayu-rayu, apalagi
peluk cium yang malah akan menjerumuskan kami berdua ke lembah paling nista di neraka
nanti. Ungkapan cinta dengan seribu lilin juga TETEP kurang romantis kalau ujung-ujungnya
si cowok nggak pernah punya cukup nyali untuk nembung di depan Bapak.
Seni menyembunyikan perasaan itu tidak mudah lho. Jangan
pernah mengaku cukup kuat kalau belum mencoba bagaimana sulitnya menyembunyikan
perasaan. Itulah mengapa saya kagum luar dalam pada laki-laki yang tidak mudah
mengumbar kata suka, pun tidak senang menebar rayu dan pujian hanya untuk
terlihat baik. Kamu tahu? Perempuan
adalah perekam puji dan sakit hati yang paling hebat. Hadiahkan mereka satu
dari keduanya. Maka mereka akan mengingat hal tersebut selama yang mereka
mampu.
Tetiba saya merasa begitu malu dan norak karena dulu, dulu
sekali saya pernah jatuh hati pada seorang pemuda dan galau segalau-galaunya
hanya karena hal-hal kecil yang tak perlu. Ah, sungguh memalukan. Seandainya beberapa
kenangan buruk mampu dihapus dengan mudah seperti history di Mozilla, pasti sudah saya hapus bersih mereka semua. Tapi
baiklah. Anggap saja mereka bagian dari pembelajaran hidup. Kenangan masa muda.
Ya. Anggap saja begitu.
Anehnya, semakin kesini, saya semakin diperlihatkan bahwa
pacaran itu tidak perlu. Tak ada manfaatnya dan –dari kebanyakan cerita yang
saya dengar—malah membawa kita ke gerbang maksiat. Lucu ya? Bagaimana kemudian beberapa
perempuan mencintai penuh laki-laki yang justru menuntun mereka lebih dekat ke
pintu Jahanam. Ya, jangan heran. Segitu hebat dan membutakannya perasaan yang bernama cinta.
Yang lebih membuat saya sedih adalah bagaimana teman-teman
seiman saya –terutama yang telah mengenakan kerudung—kemudian menganggap remeh
bahwa seharusnya kerudung itu ada sebagai pelindung mereka dari hal-hal yang
buruk. Namun nyatanya saya masih melihat banyak dari mereka yang saling
berpegangan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrim dan atau bahkan melakukan
hal-hal “lebih”. Lucunya lagi, beberapa dari mereka justru menganggap hal-hal semacam
itu sebagai bukti cinta atau tanda bahwa mereka serius dalam berkomitmen.
Ayolah, kalian nggak serius kan? Saya yakin ayam pun tertawa mendengar hal-hal
yang demikian.
Ya, ya, ya. Saya bisa bilang gitu mungkin karena saya belum
pernah ngalamin sendiri ya? Hmm. Ya, berpikirlah demikian. Perempuan sok ini
bisa bilang hal-hal seperti di atas karena ia begitu awam akan cinta. Bodoh. Dan ia bersyukur ampun-ampunan karena tolol akan urusan yang satu itu. Kalau hasil dari dipandaikan mencinta adalah kemudian ia jadi buta dan
memilih setuju untuk berpacaran, lebih baik tidak usah repot-repot untuk mengajarinya yang demikian. Buang-buang waktu.
Sedikit kecewa sebenarnya mendengar beberapa teman dekat
kemudian menganggap bahwa keputusan saya untuk tidak akan membawa hubungan mana
pun ke arah “pacaran” disalahartikan sebagai sesuatu yang “bodoh” dan tidak
jelas”. Kenapa sampai segitunya? Apakah manusia-manusia tidak berpacar itu
pendosa? Apakah hanya karena saya single
maka saya jadi sampah masyarakat? Gila? Patut dijauhi? Dikasihani?
Tolong jangan pernah kasihani saya dalam urusan jodoh. Seandainya
saya punya satu, saya meyakini ia sedang disimpan dengan baik oleh Tuhan. Jadi
tenanglah dan berhenti mengasihani saya yang tidak kunjung laku ini.
Namun untuk urusan dianggap “bodoh” dan “tidak jelas” tadi
mungkin hanya karena perbedaan pendapat saja sih. Masing-masing orang punya
prinsip. Seperti yang sudah saya bilang, kita menghidupi setiap langkah yang
kita pilih dengan banyak prinsip. Mereka punya satu, saya punya satu. Tak perlu
berdebat yang mana yang salah, yang mana yang benar. Yakini saja yang kamu
pilih. Tak perlu merendahkan martabat dengan menunjukkan kebencian pada mereka
yang tak sejalan.
*
p.s.
Belakangan ini saya kerap bertanya-tanya tentang perilaku beberapa teman yang tampak begitu mudah melepas kerudungnya di foto-foto seperti ava Twitter dan profile picture Facebook. Terlebih beberapa yang malah langsung dengan sengaja mengenakan baju-baju terbuka sekalian. Jujur saja saya tak paham. Saya nggak tahu apakah membuka kerudung di foto saja tapi di luar itu tetap mengenakannya dengan rapi dianggap berdosa atau tidak. Saya bukan Tuhan yang boleh menilai baik dan buruknya. Tapi bukankah akan lebih baik kalau yang tadinya tertutup maka dibiarkan rapi tertutup saja? Inti dari kita menutup aurat kan untuk melindungi diri sendiri. Kenapa justru dilepas? Lantas untuk apa selama ini disembunyikan kalau ujung-ujungnya tetap dibuka juga di depan khalayak umum? Hal-hal yang demikian ini dalam pandangan saya sama saja seperti mengecat ulang pepohonan dengan warna hijau atau menambahkan garam ke lautan. Percuma.
No comments:
Post a Comment