Sunday, February 17, 2013

Jalan menuju yang baik

Photo by Nishe


 
Ketika yang mampu mengubah dirimu menjadi buruk adalah dirimu sendiri, jangan pernah lupa bahwa yang mampu mengembalikannya jadi baik adalah tak terkecuali dirimu sendiri pula.

*

Saya sempat berpikir bahwa ada masanya ketika saya sudah cukup dewasa, beberapa hal yang tadinya dipilihkan orang tua akan mampu saya pilih sendiri, dengan keputusan saya sendiri. Termasuk tentang bagaimana cara saya hidup.

Namun berdiri di atas kakimu pun bukan perkara yang mudah. Kamu menghidupi setiap langkah yang kamu pilih dengan banyak prinsip. Dan prinsip-prinsip itu, mereka, belum tentu dicintai dengan kadar yang sama oleh orang lain. Tak terkecuali oleh manusia-manusia terdekat yang kamu tahu.

Saya tidak mengerti bagaimana awal mulanya saya jadi semacam “apatis” terhadap hal-hal yang berhubungan dengan cinta. Namun yang saya yakini, sekarang, saat saya sedang mengetik baris ini, jangan hitung saya sebagai salah satu anak muda yang ingin berpacaran sebelum dihalalkan.

Oke, mungkin kedengaran SANGAT tidak meyakinkan ya? Haha. Mengingat saya bukan muslimah yang cukup taat untuk mengenakan kerudung besar-besar dan tidak menampilkan lekuk badan. Saya juga bukan termasuk ke dalam golongan perempuan-perempuan solehah yang gemar memanggil sesamanya dengan sebutan ‘ukhti’. Ranking saya di mata Tuhan mungkin rendah sekali dibanding mereka. Saya pun agaknya sedikit minder ketika pertama kali tercetus untuk memutuskan hal semacam ini. Merasa kurang pantas. Takut dikira sok suci. Namun hidup harus selalu melibatkan perubahan, bukan?

Biar bagaimana pun juga, saya percaya. Hidupmu, sepelan apa pun ia berputar, cobalah untuk selalu mengarahkannya ke hal-hal yang baik.

*

Ngomong-ngomong tentang pacaran, sejauh ini tentu saja ada waktu-waktu tertentu di mana saya ingin sekali punya pacar. Melihat beberapa teman yang sepertinya manis sekali dijemput oleh sang kekasih dan punya “tukang delivery makanan” dadakan kalau lagi lapar, siapa yang tak ingin? Tapi itu dulu sih. Dulu banget pas jaman-jaman dinosaurus masih belum punah. Alhamdulillah, sekarang udah nggak.

Tiba-tiba saya bersyukur sekali semenjak saya masih orok sampai sekarang belum pernah dikirimin Tuhan cowok yang sudi ngajak saya pacaran. Yah, mungkin karena sayanya yang nggak laku aja kali ya. *senyum kalem*

Tapi lelaki yang baik dalam kamus saya memang harusnya begitu. Pandai menyembunyikan hati sebelum tiba saatnya ia siap dan datang untuk melamar. Tidak perlu ungkapan cinta, janji-janji, rayu-rayu, apalagi peluk cium yang malah akan menjerumuskan kami berdua ke lembah paling nista di neraka nanti. Ungkapan cinta dengan seribu lilin juga TETEP kurang romantis kalau ujung-ujungnya si cowok nggak pernah punya cukup nyali untuk nembung di depan Bapak.

Seni menyembunyikan perasaan itu tidak mudah lho. Jangan pernah mengaku cukup kuat kalau belum mencoba bagaimana sulitnya menyembunyikan perasaan. Itulah mengapa saya kagum luar dalam pada laki-laki yang tidak mudah mengumbar kata suka, pun tidak senang menebar rayu dan pujian hanya untuk terlihat baik. Kamu tahu? Perempuan adalah perekam puji dan sakit hati yang paling hebat. Hadiahkan mereka satu dari keduanya. Maka mereka akan mengingat hal tersebut selama yang mereka mampu.

Tetiba saya merasa begitu malu dan norak karena dulu, dulu sekali saya pernah jatuh hati pada seorang pemuda dan galau segalau-galaunya hanya karena hal-hal kecil yang tak perlu. Ah, sungguh memalukan. Seandainya beberapa kenangan buruk mampu dihapus dengan mudah seperti history di Mozilla, pasti sudah saya hapus bersih mereka semua. Tapi baiklah. Anggap saja mereka bagian dari pembelajaran hidup. Kenangan masa muda. Ya. Anggap saja begitu.

Anehnya, semakin kesini, saya semakin diperlihatkan bahwa pacaran itu tidak perlu. Tak ada manfaatnya dan –dari kebanyakan cerita yang saya dengar—malah membawa kita ke gerbang maksiat. Lucu ya? Bagaimana kemudian beberapa perempuan mencintai penuh laki-laki yang justru menuntun mereka lebih dekat ke pintu Jahanam. Ya, jangan heran. Segitu hebat dan membutakannya perasaan yang bernama cinta.

Yang lebih membuat saya sedih adalah bagaimana teman-teman seiman saya –terutama yang telah mengenakan kerudung—kemudian menganggap remeh bahwa seharusnya kerudung itu ada sebagai pelindung mereka dari hal-hal yang buruk. Namun nyatanya saya masih melihat banyak dari mereka yang saling berpegangan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrim dan atau bahkan melakukan hal-hal “lebih”. Lucunya lagi, beberapa dari mereka justru menganggap hal-hal semacam itu sebagai bukti cinta atau tanda bahwa mereka serius dalam berkomitmen. Ayolah, kalian nggak serius kan? Saya yakin ayam pun tertawa mendengar hal-hal yang demikian.

Ya, ya, ya. Saya bisa bilang gitu mungkin karena saya belum pernah ngalamin sendiri ya? Hmm. Ya, berpikirlah demikian. Perempuan sok ini bisa bilang hal-hal seperti di atas karena ia begitu awam akan cinta. Bodoh. Dan ia bersyukur ampun-ampunan karena tolol akan urusan yang satu itu. Kalau hasil dari dipandaikan mencinta adalah kemudian ia jadi buta dan memilih setuju untuk berpacaran, lebih baik tidak usah repot-repot untuk mengajarinya yang demikian. Buang-buang waktu.

Sedikit kecewa sebenarnya mendengar beberapa teman dekat kemudian menganggap bahwa keputusan saya untuk tidak akan membawa hubungan mana pun ke arah “pacaran” disalahartikan sebagai sesuatu yang “bodoh” dan tidak jelas”. Kenapa sampai segitunya? Apakah manusia-manusia tidak berpacar itu pendosa? Apakah hanya karena saya single maka saya jadi sampah masyarakat? Gila? Patut dijauhi? Dikasihani?

Tolong jangan pernah kasihani saya dalam urusan jodoh. Seandainya saya punya satu, saya meyakini ia sedang disimpan dengan baik oleh Tuhan. Jadi tenanglah dan berhenti mengasihani saya yang tidak kunjung laku ini.

Namun untuk urusan dianggap “bodoh” dan “tidak jelas” tadi mungkin hanya karena perbedaan pendapat saja sih. Masing-masing orang punya prinsip. Seperti yang sudah saya bilang, kita menghidupi setiap langkah yang kita pilih dengan banyak prinsip. Mereka punya satu, saya punya satu. Tak perlu berdebat yang mana yang salah, yang mana yang benar. Yakini saja yang kamu pilih. Tak perlu merendahkan martabat dengan menunjukkan kebencian pada mereka yang tak sejalan.


p.s. 
Belakangan ini saya kerap bertanya-tanya tentang perilaku beberapa teman yang tampak begitu mudah melepas kerudungnya di foto-foto seperti ava Twitter dan profile picture Facebook. Terlebih beberapa yang malah langsung dengan sengaja mengenakan baju-baju terbuka sekalian. Jujur saja saya tak paham. Saya nggak tahu apakah membuka kerudung di foto saja tapi di luar itu tetap mengenakannya dengan rapi dianggap berdosa atau tidak. Saya bukan Tuhan yang boleh menilai baik dan buruknya. Tapi bukankah akan lebih baik kalau yang tadinya tertutup maka dibiarkan rapi tertutup saja? Inti dari kita menutup aurat kan untuk melindungi diri sendiri. Kenapa justru dilepas? Lantas untuk apa selama ini disembunyikan kalau ujung-ujungnya tetap dibuka juga di depan khalayak umum? Hal-hal yang demikian ini dalam pandangan saya sama saja seperti mengecat ulang pepohonan dengan warna hijau atau menambahkan garam ke lautan. Percuma.

No comments:

Post a Comment