Photo by Nishe |
Malam ini selepas pulang dari kampus
Setelah tadi sibuk tertawa dan pipiku berhasil pegal
dibuatnya
Aku kembali pulang
Berjalan pelan sebelum tiba di depan kosan
Menghitungi bekas rintik hujan di genangan jalan
Aku dan aku dan aku
Tetiba menyadari sesuatu yang genap namun janggal
Hei. Perasaan itu tak
lagi ada.
Masih ingat akan sajak yang pernah kutulis beberapa minggu
yang lalu?
Tentang bagaimana aku ingin gumpalan perasaan ini pecah,
Atau dimatikan saja dalam jangka waktu yang lama?
Tuhan mengabulkan keduanya.
Perasaan ini pecah.
Dan mati.
Lalu hilang.
Bahkan bangkainya pun tak ia sisakan.
Laksana abu yang tertiup angin basah bulan Januari.
Mereka raib.
Tak menemukan lagi wujud nyatanya.
Tak ingin menemukan
lagi wujud nyatanya.
Tuanku, rasa ini mati.
Kehampaannya bahkan terlalu kosong untuk menyakiti.
Mungkin benar apa yang mereka bilang.
Apa pun mampu
tercipta karena kebiasaan.
Aku terbiasa menjadikanmu rumah ketika rindu.
Kau biasakan membakar rinduku menjadi abu.
Aku membiasakan diri untuk menghilangkan
sosokmu di mana pun aku berada.
Kapan pun aku bisa.
Kehilangan ini pun kemudian ada.
Hidup dan nyata.
*
Ada rindu yang ingin pulang namun tak kunjung kau jemput.
Tuan, aku membunuhnya baru saja.
*
No comments:
Post a Comment