Friday, March 23, 2012

Waktu

Photo by Mandy Faith

Di sela suara-suara tak ‘kasat’ telinga yang bisa kudengar.

Di antara gerak mikro jarum jam yang menjembatani satu detik ke detik berikutnya

Aku melihatmu.

Lagi. 

Sosok yang selama ini dengan pandainya disembunyikan waktu.

Aku seperti dibawa ke masa dimana kita berdua duduk dalam kekosongan suara sore itu. Ketika kau pada akhirnya memelukku lembut.

Dan pergi.

Menyerahkan dirimu pada waktu.

Menggadaikan cintamu pada masa.

Tak cukup banyak yang bisa kuingat dari sosokmu saat itu. Yang kutahu kita sama-sama muda. Kita sama-sama belum mengerti apa-apa tentang dunia.

Kita masih jadi penggembira bumi. Kita belum boleh ‘bermain’ di panggungnya.

Itu adalah satu dari dua kata-katamu yang paling kuingat.

Yang satu lagi adalah ketika kau pada akhirnya mengaku bahwa kita berbeda. Kau bilang, kau adalah pria-ku yang datang dari masa depan.

*

Sketsa 1: Randu.


Pada suatu waktu aku pernah bepikir bahwa mungkin kita ditakdirkan untuk tidak pernah saling berteman.

Dari semua mata pelajaran yang ada, Randu paling senang Matematika, aku Bahasa Indonesia.

Randu senang sepak bola. Aku bahkan mengantuk menonton pertandingannya.

Aku suka warna merah jambu. Randu suka biru.

Aku lebih senang pergi ke pantai. Randu bilang gunung lebih menarik.

Randu jenius musik. Aku buta notasi.

Aku pandai menggambar. Randu bahkan tak sanggup membedakan yang mana fuschia dan yang mana magenta.

Kami begitu berbeda. Nyaris di semua hal.

Aku cenderung menganggapnya urakan dan patut dijauhi karena ia begitu abstrak. Aku penyuka ketenangan, dan ia selalu bergerak seperti angin. Aku benci segala tingkah pongahnya yang menganggap kalau dia cowok paling keren satu sekolah.

Kami tidak saling mengenal memang. Tapi untuk mengabaikan eksistansinya terkadang mustahil mengingat namanya yang rajin tertabur di setiap pojokan sekolah.

Aku terbiasa menganggap Randu ‘orang asing’.

Sebelum pada akhirnya tiba saat-saat di mana aku bisa melihat sosok berbeda darinya.

Ia, lelaki yang mencintai gerimis.

*

Aku lebih menyukai hujan sebenarnya.

Yang deras. Yang diiringi gemuruh-gemuruh kecil. Namun tak berangin.

Lebih lengkap lagi kalau sambil duduk di beranda, berteman secangkir teh atau kopi hangat dan sepiring gorengan panas. Oiya, dan tak lupa juga: buku.

Namun Randu berbeda.

Ia mencintai gerimis dan segala hal remeh-temehnya.

Baginya, gerimis tak perlu menderas untuk membuatnya jatuh cinta. Tiap butiran kecilnya adalah cinta itu sendiri.

Aku kerap sekali melihatnya melamun di perpustakaan. Spot favoritnya adalah bangku-bangku di balik rak buku yang dinding sampingnya adalah sebuah jendela besar.

Sialnya, itu juga tempat favoritku.

Bedanya, Randu lebih senang melamun dan tidur disana. Sedangkan aku membaca.

Walaupun kami duduk berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan selapis tipis sekat dari kayu, kami tidak pernah bertegur sapa selama ini.

Ia selalu sibuk dengan lamunannya dan musiknya (ia selalu mendengarkan musik ketika melamun di tempat itu) dan aku dengan bukuku.

Maka saat itu, di suatu hari yang mendung pada penghujung bulan November, aku tidak pernah memimpikan ada suatu masa bahwa kami, Randu dan aku, pada akhirnya akan terjebak bersama gerimis, Dee dan sebuah percakapan paling absurd yang pernah kulakukan.

Hari itu langit mendung sejak pagi. Suasana temaram di perpustakaan jelas tidak bisa terelakkan mengingat lampu juga sedang padam. Aku beranjak menuju deretan rak ketiga dari pintu dan mengambil sebuah buku bersampul warna hijau yang belum sempat selesai kubaca kemarin. Dee: Perahu Kertas.

Randu sudah duduk di bangkunya seperti biasa. Ber-headset dan memandang jauh keluar jendela.

Kami berpandangan sejenak ketika ia menyadari aku datang. Setelahnya ia kembali cuek dan melihat keluar jendela.

Aku jarang melihat Randu terjaga di perpustakaan. Biasanya ia tertidur pulas atau sedang menangkupkan kepalanya ke meja dan melamun ketika aku membaca. Namun hari ini ia terjaga. Dan ini membuatku sedikit canggung mengingat ia adalah orang yang paling ingin aku jauhi dan kami sekarang tengah berhadapan-hadapan tanpa suara.

“Nggak takut matanya sakit?”

“Eh?” Aku mendongak dan mendapatinya tengah memandangku.

Kalian boleh membayangkan aku blushing atau apa, karena sepertinya memang iya.

Dan aku malu karena itu.

“Gelap lho di sini. Nggak baik buat baca.”

Aku melongo lagi. Sumpah, aku ingin sekali menampar diriku sendiri karena bertindak aneh sekarang. Aku bukan cewek-cewek yang biasa mengidolakan dia, dan aku akan sangat benci kalo dia berpikir aku salah satu dari ‘mereka’.

“Tapi kalo mau baca juga nggak papa sih. Terserah aja,” dia berujar lagi.

“Eh, iya. Makasih.” Aku mengangguk sopan.

Dia mengangguk balik. Tersenyum.

Untuk satu dan lain hal sekarang aku paham mengapa ia begitu ‘sombong’ akan tampangnya. Dia memang pantas sih untuk itu...

Randu kembali sibuk memandang keluar jendela dan aku sekarang jadi bingung apakah harus membaca lagi atau tidak.

Tiba-tiba gerimis turun perlahan dan aku nyaris melompat dari kursi begitu mendengar Randu tiba-tiba berseru.

“Yaaaaay, gerimis!!!!”

Mukanya gembira sekali.

“Lo tau nggak? Gue suka banget sama gerimis. Gue cinta sama dia,” ujar Randu. Matanya menerawang jauh sekali menembus butir-butir mungil air gerimis yang mulai menderas.

“Kenapa?” Aku memberanikan diri bertanya.

“Lo pernah nyadar nggak sih kalo lo jarang ngerasain gerimis? Mayoritas yang ada, gerimis cuma bertahan 10 detik terus berubah jadi hujan. Mungkin karena itu hujan jadi lebih dicintai daripada gerimis. Karena ia bertahan lebih lama...”

“Aku suka hujan.”

“Tuh kan..”

“Tapi aku suka bukan karena frekuensi dia turun lebih lama.”

“Trus?”

“Ya, karena dia hujan.”

Randu terkekeh.

“Kenapa? Kamu benci hujan?” tanyaku.

Randu menggeleng. “Nggak. Gue juga suka hujan. Tapi cinta pertama gue tetep gerimis.”

“Seneng banget ya sama gerimis?”

“Gue cinta.”

Giliran aku yang terkekeh.

“Aneh ya?” katanya

“Yah... dikit.”

Kami sama-sama tertawa.

“Lagi baca apa?” Randu melongok kebalik sekat kayu yang menghalangi jarak pandangnya akan buku yang aku bawa.

“Perahu Kertas. Dee.”

“Ah, gue baru aja selese baca kemaren. Keren.”

“Jangan cerita ya! Aku baru baca sampe tengah-tengah nih,” ancamku.

“Sante. Gue aja nggak inget ending-nya gimana. Hahaha.”

“Lah? Kok bisa tau kalo novelnya keren?”

“Soalnya gue ngerasa kalo gue mirip Keenan. Cuma bedanya gue gantengan dikit dari dia. Hehe.”

Aku mencibir. “Emang kamu jago ngelukis kayak Keenan? Aku juga suka ngegambar lho.”

“Oh, nggak. Kalo yang soal jago ngelukis itu beda. Gue idiot kalo udah urusan warna sama ngelukis. Satu-satunya gambar gue yang paling bagus cuma pas SD. Pas jaman-jaman gambar paling keren tuh yang gunungnya segitiga terus ada matahari lagi senyum di tengahnya...”

“...trus kalo gambar burung-burung kamu cuma bentuk huruf M aja di langit. Ditambahin tanda strip di bawahnya?”

“Iya iya, bener banget! Trus ntar padi-padi di sawahnya bentuknya V semua...”

“...jalannya lurus banget. Ujungnya kalo nggak dari tengah gunung, dari pinggirnya.”

“Lo kayak gitu juga dulu?”

“Iya. Kayaknya seluruh anak-anak Indonesia diajarinnya gitu deh kalo urusan gambar gunung.”

“Haha, iya kali ya? Paling tinggi dapet berapa dulu?”

“8.5”

“Gue menang!! Gue dapet 9!”

“Kok bisa?”

“Soalnya gue ngegambar gunungnya pake penggaris! Hahaha.”

“Cuma gitu doang? Aneh.”

“Yee, bilang aja sirik.”

Aku mendelik marah dan tawa Randu kembali pecah. Memburai bersama derasnya hujan...

Aku batal membaca kelanjutan Perahu Kertas sore itu dan menghabiskan waktu kunjung di perpustakaan dengan mengobrol macam-macam bersama Randu. Dari mulai bagaimana Kugy dan Keenan, dua tokoh utama di novel Perahu Kertas, yang bisa bersama walaupun begitu berbeda, berkurangnya stok kartun yang oke di hari minggu pagi, dan kenyataan bahwa Nyam-Nyam sekarang jarang dikenal anak kecil. Aku dan Randu sama-sama suka Nyam-Nyam.

Kami tetap asik ‘terasing’ di pojokan, sampai pada akhirnya ibu-ibu perpustakaan datang menegur kami karena perpustakaan sebentar lagi akan tutup. Dan lagipula, kami lebih banyak mengobrol dan tertawa daripada membaca yang notabene adalah alasan mengapa kami seharusnya ada di sini. Jadi, pantaslah kalau beliau jengkel.

Kami berhenti di depan pintu perpustakaan dan baru sadar kalau hujan mulai mereda.

“Asiiik, bisa pulang nih.” Randu menyelempangkan tasnya dengan girang.

“Sendiri aja?”

“Iya. Kenapa? Mau gue boncengin?” godanya.

Aku merona. “Ih, nggaklah. Cuma tanya.”

“Ooh..”

“Mmm.. yaudah deh. Duluan ya?”

“Oke,” Randu melambai. “Eh, bentar bentar!”

Aku berbalik.

“Nama lo siapa? Gue Randu.”

Bodoh. Siapa di sekolah ini yang tidak tau kamu?

“Ndaru. Aku Ndaru.”

Dan saat itu aku baru sadar kalau nama kami bahkan tersusun dari lima huruf yang sama.



 [...to be continued.]


The Next Chapter: Sketsa 2: Snowflake in the Summer




Saturday, March 17, 2012

A Poem For Her December

Photo by Mandy Faith

They said, every boy in this world can be more than handsome compared to you.
They said to me yesterday, you’re no better than them.
They said, they will always be the January
and you are pushed away into December.
They said, they’re the sweetest. They treat every girl as princess.
They said, they are the diamond. The richest. The smartest.
And what you are? They asked.
As this comparison goes on
You’ll always forever drowning on their list.

But, who knows me better than you do?

I said, you’re my favorite perfume.
For nothing better than the smell after the rain. Your fragrance.
I said, no one can make a rainbow smiling like a fool.
For I am the drizzle and you are the only sunshine.
I said, it’s okay if you’re the last.
For you are my favorite December and I’m January.
We were far apart yet we still on the same calendar.
I said, you are the sun. The brightest. The warmest.
And what they are? I asked.
As this comparison goes on
They’ll always forever loser on my list.

Friday, March 16, 2012

A Letter From Your Man #2

Photo Kitty Gallannaugh

 
Hai. Apa kabar?

Lama tak menulis surat untukmu, pantas saja rasanya ada yang kurang.

Aku harap kamu belum terlalu mengantuk untuk membaca ini. Yah, walau aku tau, sepertinya kamu lebih dari jago untuk urusan begadang.

Ingat, jangan suka tidur kemalaman dan minum kopi terlalu banyak. Nontonnya bisa dilanjut besok, bacanya juga bisa dilanjut besok. Kamu harus sehat. Nggak ada yang bisa bikin aku lebih bahagia dari mendengar kabar bahwa kau baik-baik saja. Jangan coba-coba bikin aku cemas ya? Jangan nakal :)

Terkadang aku merasa sangat bersalah karena telah membuatmu menunggu terlalu lama. Membuatmu berpikir, mungkin kamu tidak cukup istimewa untuk dipilih. Tapi, percayalah. Menemukanmu itu tak mudah.

Namun setidaknya aku ingin kamu tahu. Bahwa di antara jutaan pria di dunia, ada satu orang yang selalu memikirkanmu dan ingin kamu –cuma kamu— untuk  jadi perempuannya. Ia bahkan merindukanmu sebelum sempat dipertemukan denganmu.

Kamu pasti tahu betul siapa pria itu. Ya. Sekarang, ia sedang desperately in love dengan gadis manis yang sedang membaca surat ini :)

Aku ingat sekali, aku selalu membanggakan kamu kepada teman-teman cowok di kampusku. Kenapa? Karena aku yakin, Tuhan telah menghadiahiku untuk jatuh cinta pada perempuan yang baik.

Aku memang sudah pernah memilih sebelumnya. Beberapa kali. Dan kamu boleh sekali marah untuk itu. Tapi setelah tahu ternyata mereka bukan kamu, aku merasa gagal. Kecewa.

Mulai dari sekarang, aku akan hidup dengan baik. Menata masa depanku serapi-rapinya dan belajar untuk jadi orang yang akan selalu sanggup untuk kau andalkan. Hingga saatnya kelak aku siap mengatakan padamu,” Mari kita menikah saja, aku sudah cukup mampu menghidupimu.”

:)

Sincerely,

Yang tak sabar untuk memilihmu, Aku.

p.s. :
Terkadang aku cemburu pada guling dan bantal yang setiap malam menemani tidurmu dan bisa kau peluk semaunya. Lalu kapan giliranku? Aku juga ingin jadi gulingmu :p (membayangkanmu tergelak) 

Andai kamu tahu, betapa inginnya aku mendengarmu tertawa :)

Sunday, March 4, 2012

A Letter From Your Man #1

Photo by Rona Keller


Kau harus hadiahi aku banyak peluk dan cium ketika kita bertemu nanti.

‘Mengapa?’ tanyamu.

Bodoh. Menemukanmu itu sulit tahu. Di mana saja kamu selama ini? Apa kamu senang aku terlunta-lunta dari wanita satu ke wanita yang lain?

Menunggumu mungkin penantian terlama yang pernah aku lakukan seumur hidup. Dan kau tahu sendiri kalau aku paling benci menunggu.

Alih-alih menunggu bidadari atau semacamnya, aku malah menunggu pencuri.

Iya. Kamu. Kamu itu pencuri.

Kadang aku berpikir, betapa teganya kamu membiarkan aku hidup dengan rusuk yang tak lengkap. Bukannya lekas-lekas mengembalikannya, kau malah bersembunyi entah di belahan bumi mana.

Dan kau tak pernah memberiku semacam jejak atau sandi untuk menemukanmu. Kau hilang begitu saja. Lalu bagaimana aku harus mencari? Kau bilang, “Gunakan hatimu.” Maka terkutuklah setiap pria yang terlahir untuk lebih percaya pada logika.

Sebelumnya aku pernah membayangkan seperti apa wujudmu. Apa kamu cantik? Apa kamu baik hati? Apa kamu punya lesung pipi seperti apa yang aku punya?

Kata Ayah, entah seperti apa wujudmu, ketika kita bertemu nanti, di mataku kamulah yang paling cantik. Wanita manapun tidak ada apa-apanya denganmu. Kamu yang paling indah. Dan suaramu lebih merdu dari gitar manapun yang pernah aku petik.

Maka jangan pernah lupa kalau kamu berhutang banyak peluk dan cium padaku. Menelantarkan aku sebegini lama dan membiarkanku mencarimu kemana-mana adalah tindakan kriminal. Kau patut dihukum untuk itu.

Tenang, hukumanku tak banyak. Cukup satu saja.

Jadilah orang pertama yg selalu ada disampingku, setiap pagi, di saat aku membuka mata.


Sincerely,


Yang tak pernah bosan mencarimu, Aku.


p.s. : Salam titik dua tanda bintang buat gadis manis yang sedang membaca surat ini.

Saturday, March 3, 2012

1st love

Photo by Nirrimi

Malam ini saya teringat.

Tentang sebuah memori tua jaman sekolah dasar.

Di mana bangku-bangkunya bercerita.

Tentang saya..

..dan seorang teman laki-laki yang dulu pernah mencuri sepenggal hati saya yang masih ranum.

Kisahnya lucu. Nyaris tak tersisa sebenarnya. Saya tak ingat semua detail. Saya hanya ingat saya pernah ‘dipuja’. Pernah membuat iri teman-teman perempuan saya.

Berbeda dengan saya yang sekarang, dulu, saya adalah gadis cilik yang ‘lumayan’ tertata. Rambut saya panjang dan lurus. Sewarna jelaga. Dengan sebuah bando manis berwarna hijau. Dan tak pernah lupa bedakan.

Setiap mengingat itu, saya merasa malu. Haha. Betapa menyimpangnya jalan saya tumbuh. Sekarang saya bahkan tak ubahnya begundal. Mencuci muka saja dengan sabun mandi.

Saya ingat sekali. Anak laki-laki itu sangat nakal. Kami tak pernah berada di sisi yang sama. Kami tak ubahnya kutub utara dan selatan. Kami selalu bermusuhan. Tak pernah punya kesamaan. Kecuali satu.

Kami sama-sama suka menggambar. Dia dan saya, selalu mendapat nilai terbaik dalam pelajaran melukis.

Dia adalah anak laki-laki yang paling tampan satu kelas. Semua teman-teman perempuan saya menyukainya. Meskipun mereka tak pernah bilang, tapi saya tahu.

Tapi anak laki-laki itu tak ubahnya lem super untuk saya. Dia selalu membuntuti saya pergi. Ke kantin, saat olahraga, istirahat, bahkan di kelas.

Alasannya sangat kampungan. Dia hanya ingin membuat saya marah.

Dan dia selalu berhasil. Saya selalu marah. Lalu dia tertawa. Terbahak-bahak. Puas. Ending-nya saya harus mengejar-ngejar anak laki-laki itu keliling sekolah untuk memberinya pelajaran. Sayang, dia tak pernah kapok.

Kami pernah berkelahi. Betulan. Saya melemparnya dengan penghapus papan tulis dari kayu dan dia nyaris meninju saya telak. Saya menangis. Saya pulang sekolah lebih dulu. Namun setelah itu, dia berubah. Dia masih sering menggoda saya. Tentu saja. Di mana pun. Tapi dia tidak pernah sekalipun membuat saya menangis lagi. Sama sekali.

Saya ingat sekali, hari itu, beberapa minggu sebelum tanggal 17 Agustus, ada pertandingan sepak bola antar kampung. Saya, jujur, sangat malas untuk datang menonton. Apalah guna melihat 22 orang memperebutkan satu bola? Lebih baik saya tidur.

Namun apa daya, kakak sepupu saya berhasil menggeret saya keluar dari “cangkang” saya yang nyaman. Mau tidak mau, sambil menggerundel, saya berangkat.

Dia di sana. Anak laki-laki itu. Saya melihatnya dari tempat duduk paling atas. Dia ada di bawah sana. Mustahil dia bisa menemukan saya diantara begitu banyak orang. Tapi saya bisa memandanginya sesuka hati dari sini. Benar-benar sesuka hati.

Sore itu, untuk pertama kalinya, pikiran kecil saya terbang mengembara. Tak mengindahkan pertandingan bola yang sekarang sudah memasuki entah babak keberapa. Saya melamun. Memikirkan anak laki-laki itu.

Kenapa setiap dia membuat saya kesal, saya justru senang? Kenapa? Kenapa kalau dia tidak mengganggu saya di sekolah, rasanya ada yang hilang? Kenapa? Kenapa kalau saya sedang curi-curi pandang melihat dia sibuk menggambar, jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya? Kenapa? Kenapa kalau dia tidak masuk sekolah, rasanya saya bosan? Kenapa? Kenapa begitu? Apa alasannya? Apa yang salah?

Pikiran kecil saya terus menggelembung dan menggelembung. Terus menerus bertanya. Tapi tak pernah menemukan jawaban.

Lalu saya lihat, dia melambai. Ya, ke sini. Ke tribun paling atas. Entah melambai untuk siapa.

Saya tengak-tengok. Bingung. Dan dia masih melambai. Terus. Sambil tersenyum lebar sekali.

Saya mengangkat tangan. Pelan. Malu-malu. Ragu. Lalu melambai singkat. Hanya sedetik mungkin. Tapi saya tahu, dia melihatnya.

Karena setelah itu dia tertawa, melambai lagi dengan kedua tangannnya, penuh semangat, lalu berlari-lari entah ke mana.

Mata kecil saya membulat, dalam diam, bibir saya mengukir senyum...

Beberapa hari berikutnya, saya membeli buku tulis berwarna merah. Ceritanya ingin saya buat diari walaupun sepertinya gagal total karena isinya hanya tentang dia, drama Taiwan kesukaan saya, dan beberapa selipan soal PR. ‘Diari’ itu berakhir di perapian ketika ibu saya diam-diam membacanya dan bertanya, ‘Kenapa kamu menulis banyak sekali tentang dia?’

Saya tidak bisa menjawab. Keesokan harinya, buku itu sudah teronggok bisu menjadi serpihan abu-abu.

Berbekal dialog sinetron jaman lawas, pemeran lelakinya pernah bilang, dia akan melakukan apa saja untuk wanita yang paling dicintainya. Seberat apapun itu.

Saya, berbekal dialog lawas itu, beberapa hari kemudian, mengujinya tanpa sadar.

Hari Minggu itu, kelas kami ada kegiatan ‘mendaki gunung’ bersama. Sebenarnya yang kami daki bukan gunung betulan. Mungkin semacam bukit. Tapi lebih besar. Untuk ukuran anak SD, bukit sebesar itu sudah tergolong sulit. Sebenarnya saya malas ikut. Capek. Tapi karena saya tahu ia ikut juga, saya mendaftar.

Kami sudah kelas 6 SD waktu itu.

Di tengah perjalanan, tepat sekali di tengah-tengah ‘gunung’, guru kami menyarankan untuk lebih baik melepas sepatu supaya lebih nyaman berjalan. Kebetulan memang banyak sekali batu. Sekali kami tergelincir, matilah.

Siang menggelinding cepat. Matahari mulai terasa terik. Saya melihat dia berjalan tepat di depan saya. Sedang menenteng sepatu  sambil sama-sama kesusahan berjalan. Iseng, saya memanggilnya. Dia menoleh. Merasa terganggu. Seperti biasa, gayanya sok bukan main.

Saya memintanya untuk membawakan sepatu saya. Dua-duanya. Entah bagaimana caranya. Saya tak peduli.

Dia diam sebentar. Berpikir. Sebelum kemudian melengos dan berjalan lagi. Nyaris kutendang pantatnya karena kesal. Sok sekali.

Diam-diam, tanpa saya tahu, dia mengaitkan kedua sepatunya ke tali tas lalu berbalik, mengulurkan tangan, sambil bilang, “Mana sepatunya?”

Saya berhenti. Melongo. Dia yang tidak sabar menyambar sepatu saya tanpa ijin dan berjalan lagi. Dan setelah itu, dia selau membawakan sepatu saya tanpa pernah saya suruh.

Betapa remeh-temeh sekali tindakan yang ia lakukan saat itu. Tapi rasa manisnya bahkan masih terkecap di sini, sampai belasan tahun kemudian saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.

Pria kecil itu mungkin sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi bujang yang rupawan. Saya pernah bertemu sekali dengannya di bus kota setelah pulang sekolah, dan seketika mata saya membulat.

Ia bahkan tumbuh lebih manis dari yang pernah saya ingat.

Saya tidak tahu di mana ia sekarang. Mungkin masih menuntut ilmu di sebuah universitas di negeri ini, atau mungkin sudah menikah, atau tengah bekerja di suatu tempat. Siapa yang tahu.

Apa yang pernah ia lakukan mungkin tidak seberapa, tapi mungkin saya harus beterimakasih padanya karena berhasil menunjukkan pada saya di umur yang semuda itu, bahwa cinta pun bisa diungkapkan dengan cara-cara kecil yang sangat sederhana.

Terimakasih :)

Lain kali ajari saya untuk berkenalan dengan pria yang sanggup menyalakan tungku di jantung saya, ya?

Saya rindu hati saya dihangatkan..

p.s.:
Halo, mantan pria kecil manis ‘saya’ (LOL). Jika saya pulang nanti, bolehlah takdir mempertemukan mata saya sebentar pada sosokmu ^^ Saya janji saya tidak rindu. Sungguh.
Dan, hei, saya sudah dengar ‘pernyataan cinta tertundamu’ untuk saya ^^Haha. Saya tertawa pertama kali mendengar kalau kamu takut mengatakannya sendiri karena saya galak. Ya, kamu mungkin satu-satunya pria yang paham betul betapa galaknya saya pada makhluk Adam. Saya maklumi ^^

Well, seandainya saja kamu cukup berani saat itu..

Jangan pernah buang waktumu untuk mengejarku.

Photo by Nishe

(Sangat cocok dibaca sambil mendengarkan lagu Sheila On 7, ‘Untuk Perempuan’.)

Siapa yang tidak suka pernah dicintai wanita sepertimu? Tentu tak ada. Begitu pula aku. Dan beberapa pria yang mungkin pernah kau puja sebelumnya.

Kamu gadis yang manis. Baik. Dan paling mengerti aku.

Kau tau apa yang aku suka. Kau tau apa yang aku benci. Kau paling hapal tim sepak bola favoritku. Dan kau tau benar aku paling suka warna biru.

Tiap kita berpapasan, kau akan selalu tersenyum. Manis sekali. Dan kau tidak pernah sekalipun tidak mengindahkanku.

Apa yang kurang dari sosokmu sebagai wanita? Tentu tak ada. Siapapun yang jadi pendampingmu esok tentu lelaki paling beruntung di seluruh bumi.

Kau perempuan yang baik. Menyakiti hatimu mungkin sanggup membuat langit menangis.

Karena itu, tolong jangan mengejarku...

Biarkan aku yang datang. Ijinkan aku yang mengejarmu. Menemukanmu. Dan pada akhirnya memelukmu erat.

Kau tak perlu pikirkan aku setiap waktu. Karena ketika waktunya tiba, aku yang akan datang karena gila memikirkanmu.

Kau tak perlu memaksa dirimu mekar untuk menawariku madu. Karena ketika waktunya tiba, aku yang akan datang karena wangimu serupa candu.

Aku hanya sebagian kecil dari banyak mimpi yang sempat kau renda. Dan membuang sebagian besar waktumu untuk mewujudkanku tentu bukan pilihan yang baik.

Percaya saja, kelak, aku bahkan tak mungkin bertahan tanpa menemukanmu.

Maka tenanglah, tenang. Karena suatu saat aku pasti pulang.

Kau boleh renda semua mimpimu menjadi nyata. Kau boleh melukis masa depanmu seindah yang kamu bisa.

Biarkan dirimu mekar dihatiku dengan caranya sendiri. Sedikit demi sedikit. Tanpa perlu kau paksa.

Dan suatu waktu di masa depan, ketika semua mimpimu telah terenda dan masa depanmu telah terlukis dengan sempurna, takdir yang akan menuntunku pulang. Kepadamu.

Aku, sebagian kecil dari mimpi-mimpimu, akan mewujudkan dirinya sendiri tanpa perlu kau kejar dan kau temukan.

Karena kelak aku yang akan datang, menemukanmu, meminangmu sebagai bunga yang aku pilih, dan menanam cintamu di dalam hatiku sampai matahari menua dan kemudian tiada.