Monday, November 26, 2012

Masa Bodoh



Saya pikir yang membedakan buku Dee dengan buku-buku lain yang pernah saya baca adalah bagaimana dampaknya terhadap jalan berpikir saya ketika sedang atau setelah membaca bukunya. Membaca tulisannya, membuat saya berpikir tentang hidup lebih banyak, lebih sering, dan lebih intens. Tulisannya menantang saya lebih dalam untuk berpikir tentang Ketuhanan, eksistansi manusia, dan eksistansi saya sendiri. Saya yakin setiap orang punya reaksi yang berbeda-beda terhadap setiap buku dan pengarangnya. Namun entahlah, reaksi seperti itu yang justru muncul tiap kali mata saya tertumbuk kata-kata di buku Dee. Ada keintiman yang samar di antara sel-sel kelabu saya dan ide-idenya. Mungkin itu juga yang membuat mata saya menolak terpejam sampai pukul setengah empat dini hari hanya karena memikirkan tentang satu hal; hidup.

Sepanjang saya ada, yang bisa dihargai cukup singkat, sekitar dua puluh tahun lebih beberapa bulan, saya belum pernah merasa se-nerima ini terhadap kuasa-Nya. Pasrah sekali. Seolah-olah apa pun yang Ia lakukan mungkin hanya mampu saya tanggapi dengan hembusan nafas berat dan tameng kesabaran yang lebih tebal. Dan perasaan “nerima” yang sekonyong-konyong hadir ini, kemudian dikukuhkan ketika semangat membaca saya tumbuh tanpa tedeng aling-aling. Dan menuntun tangan saya untuk menarik buku ketiga yang ada di tumpukan rak. Buku ke-tiga. Bukan pertama. Padahal buku yang ada di tumpukan atas pun belum saya baca. Karangan Ayu Utami. Baru. Lebih gress dari buku Dee manapun. Tapi entahlah. Tangan saya justru mengarah ke buku ke-tiga. Partikel. Lanjutan “Petir” yang sudah saya ceritakan sebelumnya sebagai buku ‘refreshing’ seusai membaca “Cantik Itu Luka”. Dan saya yakin, ini juga bukan kebetulan. Kenapa saya menarik buku ini, kenapa saya malah menyeduh kopi dan bukan menarik selimut, semuanya, mereka bukan sekedar kebetulan semata. Dan dipikir-pikir, kalau saya malah menolak untuk tetap membuka mata dan memaksa tidur, yang ada mungkin saya bakal tindihan. Kenapa? Karena saya tahu otak saya lagi muter sekenceng-kencengnya. Dia nggak bakal diam walaupun tubuh saya notabene memerintah untuk istirahat. Tidak bisa. Dia memang hiperaktif kalau malam, dan hibernasi begitu Subuh datang. Kadang saya benci sistem kerjanya, tapi malam ini alasannya lain. Dia diusik. Rujinya diberi pelumas top. Mesin-mesin dalam sel-sel kelabu saya dibangunkan. Keduanya. Bukan hanya yang kanan, yang sudah sering kerja karena hobi saya yang lebih banyak mengandalkan kemampuannya, tapi juga yang kiri. Yang sering saya suruh tidur dan tidak usah ikut campur semenjak Matematika dan Ilmu Alam dicoret dua kali lalu diberi Tipe-X dalam sejarah dunia sastra. Dadah babay untuk logika.

Ini bukan sekali-dua kali saya dibiarkan telentang di kasur, menatap langit-langit, dan diam, kalut, mikir, semua gara-gara buku Dee. Perlu diulang kembali, ini bukan sekali-dua kali. Saya pikir, kebutuhan membaca yang sekedar membaca sekarang sudah bukan jamannya lagi. Saya, harus menarik sesuatu dari apa yang saya baca. Apa pun. Sekalipun itu cuma pertanyaan, bukan jawaban apalagi konklusi. Yang jelas, saya harus dapat sesuatu. Apa pun yang membuat saya tidak rugi karena sudah meluangkan waktu berjam-jam untuk membaca buku tersebut. Mungkin kinerja otak saya agak lambat ya, seharusnya saya sudah bisa mikir dari dulu kalau baca buku itu ya harus diresapi isinya. Tapi nyatanya saya memang agak terlambat untuk paham. Kemarin, dan kemarin kemarinnya lagi, bagi saya, membaca itu hiburan. Kalau ada pelajarannya ya ambil, kalau kosong ya lupakan. Tapi untuk kali ini, saya menerapkan aturan lain.

Entah berasal dari bagian buku yang mana, atau dari part apa, namun 1/3 “Partikel” ini mengajarkan saya akan satu hal. Pasrah. (Ini saya baru baca sepertiga dan pemikiran-pemikiran penuh cabang sudah muncul tak terkendali. Saya bisa jamin setelah baca 2/3 atau seluruhnya, saya pasti bakal nulis lagi tentang sesuatu. Entah apa.)

Seseorang memang benar adanya telah mengajari saya prinsip dasar pasrah yang bisa dilakukan seorang manusia (biasanya) ambisius seperti saya. Itu pun karena saya yang minta diajari. Bukan karena dia yang merasa sok-paham sudah jadi orang paling pasrah sedunia dan kemudian belagak menggurui. Tapi bahkan cara pembelajaran kami di sini pun sifatnya tertutup-satu-pihak. Yang intinya, pihak lain tidak tahu kalau pihak satunya sedang melakukan “pembelajaran”. Saya meniru. Saya menelaah sikap manusia yang satu ini dan kemudian menganalisisnya. Sampai kemudian pada tahap saya cukup berani untuk mengaplikasikan apa yang sudah saya analisis dan mulai praktek sungguhan di dunia nyata. Saya coba untuk bersikap nerima senerima-nerimanya terhadap hidup. Dan dari ini, saya mendapat pembelajaran lain. Mengontrol diri.

Manusia itu kadang lucu. Sistem defense mereka juga. Secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya manusia tidak ada yang bisa bergantung kepada siapa pun. Kita semua sendiri. Benar-benar sendirian saja. Sayangnya hidup ini kelewat luas. Luas sekali. Dan secara naluri kita butuh teman, pasangan, atau apa pun itu untuk mengarunginya. Namun jauh di luar itu semua, sebenarnya kita ini terprogram cuma untuk satu hal. Saling menyakiti. Itu saja.

Mungkin karena sudah capek mikir yang rumit-rumit, saya sekarang cenderung memilih masa bodoh dan tertutup. People change. Itu fakta. Dan dari itu juga perubahan saya berbasis. Saya ingin hidup di luar lingkaran saja. Menonton mereka yang saling menyakiti sambil makan popcorn dengan tenang. Memilih satu-dua teman untuk (cukup) dipercaya, dan ikut kumpul-kumpul tertawa dengan sisanya. Selepas itu? Pulang. Kembali lagi ke diri saya sendiri dan dunianya yang tidak perlu banyak orang tahu.

Kadang sebagian orang tidak cukup mengerti bahwa pengaruh kata-kata itu besar adanya. Ia sanggup menyakiti manusia lebih parah dari parang manapun, dan membahagiakan manusia lain lebih lebih dari diberi lotere berhadiah apa saja. Semua, hanya dengan kata-kata. Dan bahayanya, setiap manusia yang hidup dan bernafas, memegang senjata ampuh ini sendiri-sendiri di mulutnya. Atau di tangannya. Dan tak ada yang peduli akan betapa tajam senjata mereka kalau tidak dipilih secara hati-hati. Namun, beberapa orang memang masih belum cukup pandai untuk menyadari kalau setiap menit pun mereka bawa granat. Dan parahnya, masih saja ada yang suka lempar-lempar granat semaunya, baik sengaja ataupun tidak. Seolah-olah perasaan semua manusia itu terbuat dari batu atau lempeng baja yang sama. Tidak apa-apa kalau dinyiyiri, dicaci, atau dipermainkan sesuka hati.

Oh, manusia. Adakah makhluk yang lebih kejam dari kita?

Namun kemudian saya memilih kembali. Belajar pasrah (atau lebih tepatnya ‘masa bodoh’) dan mengontrol diri. Mendaur ulang emosi yang ingin dituliskan di situs jejaring sosial mana pun dan kemudian menelannya bulat-bulat. Sendiri. Biar apa yang saya rasa cuma saya dan Tuhan saja yang tahu. Kehadiran sosok ketiga, keempat, dan kelima malah kadang memperunyam masalah. Nggak tahu apa-apa lalu asal tuding. Itulah manusia. Selain kejam, mereka pun acap kali sok tahu dan tukang komentar tidak perlu. Saya sekarang memilih untuk jadi manusia baru saja di dunia maya. Nggak usah terlalu jujur. Toh siapa yang peduli kalau kamu sedang patah hati atau ingin bunuh diri? Jatuh hati atau diselingkuhi? Empati cuma bertahan satu sampai seminggu, setelahnya mungkin kamu akan dinilai tukang nyampah dan drama queen. Ya itu manusia. Satu sisi  bisa kasihan, sisi lainnya gampang bosenan.

Sekarang kalau manusia-manusia itu berniat untuk saling bacok-bacokan dengan senjata di mulut dan tangan masing-masing, ya monggo. Saya cuma bisa senyum dan kasih jalan. Hidup ini sudah memikul beban pencarian yang terlalu berat. Nggak usahlah ditambah dengan masalah lain yang saya sendiri pun tak paham ujung pangkalnya untuk dikomentari. Satu-satunya hal yang paling bikin saya jengkel adalah diabaikan. Dan bahkan sekarang saya pun sudah pandai acuh ketika diabaikan. Ya, abaikan saja. Saya bakal senyum lagi dan kasih jalan lalu pulang.

Saya tahu, sikap ini sebenarnya bukan pasrah, hmm, mungkin pasrah di beberapa persen untuk minoritas, namun lebih tepat dibilang masa bodoh untuk mayoritasnya. Ya sudahlah. Sebut apa saja yang kalian mau, yang terlintas pertama di pikiran, apa pun. Saya juga nggak ambil pusing.

Hidup ini, ia, mengalir ke satu arah. Dan saya belum tahu ke arah mana pencarian saya nanti bermuara. Selagi saya mencari yang saya sendiri tidak tahu apa, maka saya akan ikut mengalir saja bersamanya. Nggak usah terlalu ngoyo, tapi tetap ada target. Manusia-manusia lain itu juga sedang dalam pencariannya masing-masing. Sama-sama bingungnya seperti saya. Tapi pengalaman mengajarkan saya untuk tidak terlalu larut dengan segala label euforia ala homo sapiens, pun mempercayai mereka terlalu dalam. Ya, makhluk jenis ini senang sekali menaruh label pada apa pun dan kemudian bertingkah sebagai pemilik. Hah, betapa lucunya. Mereka juga mudah perhatian dan lalu abai. Cinta kemudian benci. Senang sekali salah paham dan sok benar. Kacang yang lupa kulit. Tapi ya sudahlah. Manusia memang joker terhebat sepanjang jaman. Kalau mereka ngelawak, tertawakan saja. Itu cukup mengapresiasi. Dan mereka senang dianggap lucu. Begitulah.

**

Ini ocehan random banget di Subuh hari. Boleh pilih abaikan kok. Saya mau lanjut baca buku lagi kalau begitu. Selamat hari Senin.

Sunday, November 25, 2012

'Cantik Itu Luka' dan 'Petir'




(Untuk yang belum pernah baca ‘Petir’ ataupun ‘Cantik Itu Luka’ dan nggak suka banget sama yang namanya SPOILER, dianjurkan untuk berhenti di paragraf ini aja. Karena di bawah sana, jauuuuuh di sana, mungkin saya akan akan mencantumkan satu, dua, tiga atau banyak hal tentang isi kedua buku tersebut yang kalau dibaca sama yang belum baca novelnya pasti kesannya saya ember banget ƪ(‾_‾)ʃ‎ Berhubung saya nggak mau dicap gitu sama kalian, hai penikmat tulisanku yang budiman tapi belum pernah baca novelnya, mending kalian mundur teratur aja dan diam-diam klik kiri tanda silang yang ada di tab. Atau kalau kalian emang pengen baca dan nggak peduli sama spoiler—atau malah nggak tau spoiler itu apa—ya mangga. Sangat dipersilahken kalau mau baca :)

**

Setelah sekian lama, mungkin setelah berabad-abad lamanya, hari ini, akhirnya saya berhasil mengumpulkan niat dan tenaga untuk membuka sampul plastik buku ke-tiga Supernova karya Dee yang berjudul ‘Petir’. Setelah tertimbun berbulan-bulan di rak buku, masih dengan bau Gramed yang menempel dan sampul plastik yang sama ketatnya dengan skinny jeans anak-anak jaman sekarang, buku itu akhirnya –setelah penantian panjang—mampu bernapas bebas! Isinya sanggup saya seruput tuntas dan di akhir sesi, sama seperti buku-buku Dee yang lain, selalu menawarkan segelas madu yang sama. Senyum. Ya, baca buku Dee itu bisa diibaratkan minum jamu. Pahit, nggak ketahuan rasanya, aneh. Tapi setelah rampung dibaca, saya selalu diberi kekuatan cukup untuk berdiri merenung di jendela, memotongi kuku dalam diam, makan sambil bahagia, lalu bercermin dan senyum-senyum sendiri. Eits, saya nggak gila ya. Itu memang efek samping buku Dee yang tidak pernah hilang dari semenjak Perahu Kertas –buku karya Dee pertama yang saya baca—dan nggak berniat untuk pudar juga setelah saya mau merambah dunia Supernova-nya.

Seperti postingan saya tentang Supernova beberapa dekade lalu –ya, anggap saja saya sudah segitu lamanya nggak nulis yang agak seriusan—saya dengan lantang bilang, saya kagum dengan Mbak Dewi Lestari yang satu ini. Dan memang begitulah adanya sampai sekarang. Kepiawaiannya dalam berkata-kata, ide-idenya yang kompleks tapi juga sederhana, juga ilmu-ilmu pengetahuan yang sengaja dia sisipkan dan membuat bukunya nggak cuma sekedar ‘tong kosong’ selalu mampu bikin saya ternganga di akhir. Ini buku berat yang ringan, ensiklopedi dalam novel, teenlit dalam sci-fi. Sebagai penulis amatiran dan sangat tidak berpengalaman, membaca tulisannya seperti meniupkan ruh baru ke dalam jiwa-jiwa penulis malas dalam diri saya. Semangat yang dulu kendor seperti nemu mesin jahit gress dan dapat pasokan karet kolor gaib dari negeri antah-berantah. Saya selalu pontang-panting mengetik selepas khatam membaca bukunya. Entahlah. Agaknya kumpulan ibu-ibu di dalam kepala saya ini memang doyan sekali kalo dikasih sesajen bukunya Dee. Mereka tetap cerewet kalau saya habis baca satu buku, tapi bisingnya tetep nggak pernah ngalahin euforia buku-buku Dewi Lestari. Ibu-ibu ini. Udah ibu-ibu, masih sok milih pula.

Oiya, ngomong-ngomong soal ‘Petir’, saya jatuh cinta BANGET dengan tokoh Elektra bahkan semenjak dia masih jadi sarjana ekonomi nganggur yang mau-maunya ketipu brosur Sekolah Tinggi Gaib. HAHAHA. Saya merasa Elektra ini nggak kayak pemeran utama novel yang biasanya digambarin cantik atau kaya. Dia standar. Seeetaaandaaarrrr. Jadi rasanya lebih dekat ke pembaca (khususnya saya. Karena saya cewek standar. Oyeah..). Saya nggak tau persis bagaimana harus menggambarkan sosok gadis muda yang satu ini. Apakah kelewat goblok, lugu, atau terlanjur depresi karena sebatang kara? Tapi kisah hidupnya yang kadang jatuh-bangun-dan jatuh nggak bangun-bangun lagi itu, di tangan Dee, mampu saya nikmati selucu nonton Warkop DKI, atau mungkin versi up-to-date nya, seperti nonton Opera Van Java. Anak muda, ceplas-ceplos, masa bodo, lucuk! Seenggaknya sampai 2/3 bukunya lah. Karena dari 2/3 sampai ke akhir, kita udah mulai diajak mikir berat karena ada Bong (yang itu berarti bakal nyangkut-pautin juga sampai ke Bodhi dan seluruh konspirasi Supernova ini).

Elektra, di mata saya, adalah contoh nyata kebanyakan anak muda zaman sekarang. Stuck. Nggak tahu bakatnya di mana, nggak tahu besok mau jadi apa. Yang jelas, hari ini, aku ada. Esok dan seterusnya, mari berdoa bersama agar selalu lancar jaya dan berada dalam lindungan-Nya. Yang merasa kesinggung karena sudah yakin bakatnya apa dan besok mau jadi apa, saya memohon maaf dari lubuk hati yang terdalam. Dan bagi yang merasa masa depannya masih sesuram dan segelap kamar kos pas mati lampu, mari kita lanjutkan saja berdoanya. Yang khusyuk.

Berangkat dari pemahaman bahwa saya dan Elektra itu ternyata senasib—sama-sama malas dan terklasifikasi sebagai spesies luntang-lantung—saya pun mulai mencintai Etra (panggilan akrabnya) dan ikut tertawa-meringis membaca pemikiran-pemikiran spontannya yang walaupun dihadapkan dengan keadaan segenting apa pun, ujung-ujungnya tetep ngaco. Etra ini lempeng. Lempeeeeng banget. Dia cerewet mungkin, tapi gerutuannya cuma stop di kepala. Dan saya nggak habis pikir untuk ukuran sarjana kok dia gaptek banget (yang setelah saya telusuri ternyata setting waktu di ‘Petir’ itu sekitar 2001-an. Ya mana taulah ya ada Facebook. Pantes aja yang disebutin melulu kok Friendster. Bzzzt). Untuk urusan internet dia juga agak miripan sama saya. Anak yang dulunya kuper trus setelah kenal dunia maya langsung pengen pencet situs mana-mana. Kenal teman dari mana aja. Malu juga kalau inget dulu, pas kelas satu SMA (ya, saya kenal warnet pas UDAH SMA. Tertawalah Anda sepuasnya) dan nggak tau cara buka Google. Jangan tanya lah soal Mozzila. Saya dulu tahunya Internet Explorer. Dan warnet yang kerap saya kunjungi kecepatan downloadnya bisa sama lamanya kayak Mbah saya pas goreng kentang. Hmm... satu karung.

Pokoknya saya suka banget sama buku ke-tiga Supernova ini. Mungkin karena lebih dekat ke saya. Bahasanya juga anak muda banget, ngalir, dan nggak gitu banyak istilah-istilah alien yang saya nggak tau asal-muasalnya darimana. Mungkin juga karena buku ini berhubungan dengan listrik dan elektronik. Ya keinget aja gitu sama obsesi lama pengen masuk Elektro. HAHAHA. Yah, yang walaupun kemudian secara pelan dan menyakitkan ternyata... ditolak. *hening*

Selain Etra, saya juga suka banget sama Mpret. Haha. Filosofi namanya yang dikarang Etra yahud banget. Mirip kentut. Bukan yang malu-malu atau gimana, tapi yang jelas bunyi, lantang, dan ada. Emang dianya begitu sih. Dan lebih seneng lagi ternyata dia mantan anak ITB \(´▽`)/ Yeee~ Yaah, walaupun drop out-an sih. Nggak papa lah. Sisa-sisa sono mah tetep keren mau gimana-gimana juga.  Oiya, saya juga suka banget sama cinta plantonik-nya Mpret ke Etra. Yang walaupun nggak usah digembar-gemborin ke seluruh penjuru Bandung, tapi Mpret pasti selalu ada untuk diandalkan. Mau untuk ngelindungin. Perhatian walaupun kelihatan luarnya acuh. Jenis-jenis rasa sayang yang diam tapi hadir. Nyata, ada, tapi yaudahlah, cuma mereka berdua aja yang tahu. Suka banget nih yang begini ini. Kesannya lebih dewasa. Cinta yang diam biar bagaimanapun lebih merasuk ke rusuk daripada yang dipublikasikan kemana-mana. Menurut saya sih. Hmm.. iya, sekalian curcol juga..

Soal kakak Etra, si Watti (ini sumpah namanya maksa banget -___-), melihat kenyataan bahwa suaminya, si Kang Atam, kerja di Freeport (dokter sih bukan engineer), saya jadi ngebayangin sesuatu. Besok, kalau misal saya dapet suami yang kerjanya di begitu-begituan (maksudnye yang kayak di pertambangan atau perminyakan gitu), saya mungkin bakal mikir dua kali ya kalau mau ikut dibawa ke tempat kerjanya (ini ngomong-ngomong mimpinya jauh amat deh dapet suami sesukses itu (¬_¬) Yaaah, mimpi doang kan boleh, nyong. Mumpung gratis ini ƪ(‾_‾)ʃ) Liat aja, si Watti ini kayaknya kesepian banget di Tembagapura. Buktinya dia nelponin + (sengaja) gangguin Etra terus. Padahal kan (katanya) fasilitas yang disediakan Freeport buat ibu-ibu rumah tangga nganggur di sana banyak dan lengkap. Tapi nyatanya Watti bosen. Waaah, ini sangat bertentangan dengan mimpi saya yang pengen jadi fotografer lepas, bebas dan liar! Ini semua nggak bisa dibiarkan! Tapi saya nggak harus pusing juga sih sebenernya. Ge-er amat dapet yang kerja di sono (¬_¬)-σ skripsi dulu dikelarin, woy!

Di awal-awal disebutin soal Dimas dan Reuben. Pasangan homo yang sejak di buku ke-satu Supernova udah eksis. Kurang ngerti sama kelanjutannya (karena emang belum dilanjutin) tapi kurang lebih bikin penasaran. Konspirasi Supernova yang super njlimet ini masih punya jalan panjang ternyata. Kurang lebih begitu kesimpulan(bego)nya. Sebenernya masih nggak terima kok nama salah satunya Dimas :( Hmm, jadi begini, sepanjang saya hidup, saya punya hal-hal kecil tertentu yang saya sukai. Seperti misal, nama bulan, warna, dan termasuk juga nama manusia. Dari, entah kapan, saya paling suka cowok yang punya salah satu dari tiga nama ini; Dimas, Gilang, dan Riza (yang kemudian sialnya, salah dua dari teman-teman KKN saya ada yang punya nama persis seperti dua yang saya sebutin di awal. Dan itu, kurang lebih, merusak citra nama-nama tersebut di mata saya. Hah! ¬_¬). Tapi, beneran deh, mungkin sejak saya SMA, saya suka sekali sama ketiga nama itu. Nggak tahu alasan persisnya. Suka aja. Dan, saya juga selalu suka novel yang tokohnya ada salah satu unsur ketiga nama tadi. Kayak misal novelnya Icha Rahmanti yang Cintapuccino. Nggak gitu suka novelnya sih, tapi saya suka BANGET sama DIMAS Geronimo :D Jadi ya begitulah. Setelah baca dan tahu kalau ternyata Dimas yang satu ini homo, saya tertunduk lesu (.___.) No offense lho ya buat komunitas LGBT mana aja. Ini pendapat pribadi kok.

Jadi, yang 2,5 lembar Ms. Word di atas itu tadi adalah sekelumit cuap-cuap yang berhasil saya tumpahkan berdasarkan pemahaman serba ngawur seusai membaca ‘Petir’. HAHAHA. Maap ni ye kalau udah membuang-buang waktu Anda yang berharga. Dan bagi yang masih nganggur, nggak tau mau ngapain, atau butuh bacaan sebelum tidur, yuk mari dilanjut aja paragraf selanjutnya yang bakal bahas tentang novel fenomenal lain berjudul ‘Cantik Itu Luka’.

Jadi, pengarang novel ini adalah temen deket dosen tamu mata kuliah Creative Writing di jurusan saya. Beliau bilang, beliau adalah salah satu pembaca awal draft novel ‘Cantik Itu Luka’. Beliau juga sangat semangat mempromosikan novel temannya ini ke anak-anak kelas. Dan berhubung saya ini wanita yang gampang termakan godaan, apalagi soal buku, ngacirlah saya ke Toga Mas, dan beli. Hasilnya? Nggak mengecewakan. Isi novelnya sama mencengangkan seperti pembukaannya (yang di mana diceritakan bahwa Dewi Ayu, pelacur jaman perang yang tersohor sangat cantik itu bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya. Hmm, horor ye..). Saya butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan novel yang satu ini (bener-bener kebalikan dari buku ‘Petir’-nya  Dee tadi yang berhasil saya rampungkan kurang dari sehari). Kenapa? Ya, selain karena bukunya tebel, saya juga lagi sibuk ngurus skripsi waktu itu ƪ(‾_‾)ʃ‎ *suomboooooongnye*.  Lagian di beberapa part ada yang agak bikin ngantuk gara-gara bahasanya mirip buku modul Sejarah. Serius! Mungkin karena setting ceritanya pas jaman penjajahan atau gimana, jadi ada intermezzo pembantaian Partai Komunis, serdadu Jepang, meneer-meneer Belanda, Jenderal Sudirman, sampai pas diumumkannya kemerdekaan Indonesia. Ya, jadi begitulah adanya. Berhubung Sejarah adalah pelajaran ketiga yang saya musuhin setelah Fisika dan Olahraga, maka sukses molor lah saya di beberapa bagian saat bahasan-bahasan dalam buku cetak Sejarah itu dimulai.

Novel ini, tidak lain dan tidak bukan, pantes kalau saya sebut ajaib. Isinya kayak kita nemu tempat yang apa-apa bisa kejadian. Semua yang aneh-aneh bisa kejadian di sana. Saya bahkan bertanya-tanya, Halimunda itu beneran ada nggak sih? (Saya males googling, jadi kalau ada yang punya inpo, tolong kasih tau ye ƪ(‾_‾)ʃ‎) Alurnya maju-mundur, naik-turun tapi anehnya nggak bingungin. Ibarat sinetron atau telenovela, ada beberapa rahasia yang disembunyikan di awal, tapi pas dibuka di akhir, CETAAARRR, musik yang membahana bersama kamera dengan zoom-in terbaiknya langsung siap mengungkap intrik dan alasan-alasan dari semua kejadian aneh yang dicantumkan di bab-bab awal. Oke, lebay. Tapi, emang gitu! Sepanjang sejarah saya baca novel, minimal satu dua kali saya pasti bisa nebak ending untuk beberapa permasalahan, tapi yang ini... *sigh* tebakan saya nggak ada yang bener.. (_) sebagai mahasiswa sastra, saya merasa gagal.

Pertama-tama, di buku ini, saya nge-fans berat sama Dewi Ayu. Dia emang aneh, kadang. Oke, nggak, dia sering banget anehnya, tapi intinya saya tetep nge-fans. Dan walaupun dia pelacur, dia sebenarnya wanita yang cerdas dan mandiri. Nah, saya suka poin yang terakhir. Biar gimana-gimana, dia itu aneh tapi manusiawi. Kadang-kadang nggak ngerti blas sama jalan pikirannya, tapi kemudian kamu bakal maklum. Karena memang segala yang dia lakuin ternyata sudah dipikirkan matang-matang. Termasuk untuk tujuan apa. Makanya waktu dia bilang dia ingin mati, tanpa bunuh diri tanpa apa, cuma tidur saja nungguin malaikat maut, dan kemudian dia beneran mati (astaga!), dia juga sudah merencanakan akan bangkit dari kubur suatu saat kelak. Halimunda ini memang kadang lebih mirip negeri dongeng daripada salah satu kota di Indonesia. Apa-apa ada.

Tokoh kedua yang saya kagumi yaitu Maya Dewi, anak ketiga dan tercantik yang pernah dilahirkan Dewi Ayu. Ini anak adalah istri idaman lelaki pribumi manapun saya yakin. Solehah, sabar, patuh terhadap suami, pintar mengurus rumah, dan pandai mencari uang sendiri (dengan cara yang baik dan benar. Nggak kayak ibunya). Kualitas A++ kalau dibanding kakak-kakak perempuannya yang lain (yang bahkan naksir orang yang sama).

Tokoh lain yang saya kagumi, saya lupa. Mungkin ada. Tapi saya lupa. Soalnya tokohnya banyak. Dan namanya aneh-aneh. Beneran deh. Mungkin saya nggak bakal kaget kalau seandainya Bang Eka (penulisnya namanya Eka Kurniawan) nyantumin nama orang semisal Cemplon, Kremun, atau Gendon. Wong yang punya jabatan Kamerad aja namanya Kliwon.

Di Halimunda, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, segala macam hal ada. Dari seorang putri raja yang cantik jelita kemudian kawin sama anjing, hantu-hantu komunis yang bakal ngetuk-ngetuk jendela dan baru diem kalo dikasih makan, hantu komunis lain yang juga dateng ke rumah temen seperjuangannya yang masih idup dan akhirnya ngobrol akrab di beranda sambil minum kopi, ibu yang membuang mayat bayinya ke sekumpulan anjing (karena dipikirnya repot amat kalau mau ngubur. Astaghfirullah..), orang yang bisa ngerencanain kapan dia bangkit dari kubur (si Dewi Ayu), celana dalam bergembok, cewek yang cantiknya kemana-mana tapi juga idiotnya kemana-mana, dan masih banyak lagi.

Halimunda ini negeri serba ada. Tapi serba ada juga bukan berarti segalanya indah. Yang saya tangkap malah, saking bisa-semuanya negeri ini, segala kesemena-menaan malah kayaknya sengaja dilimpahkan Tuhan ke atas permukaannya. Manusianya penuh nafsu dan ego. Semrawut. Jarang sekali yang tulus. Saya cuma berharap semoga Bumi, atau lebih spesifiknya Indonesia, tidak berubah menjadi Halimunda di kemudian hari. Mengerikan kalau iya.

Dibanding Dee, bahasa Bang Eka ini jelas lebih berani. Lebih vulgar dan terbuka. Penggunaan kata-kata yang kasar dan biasanya tabu di novel-novel lokal banyak bertebaran di dalamnya. Saya sendiri biasa aja waktu baca, tapi teman saya ada yang bilang risih. Yaah, pendapat orang memang beda-beda.

Tokoh yang kecil-kecil tapi jadi kunci itu emang cucu-cucunya si Dewi Ayu ini. Kecil-kecil nekat dan bawa malapetaka. Mereka bertiga adalah Rengganis Si Cantik (anaknya Maya Dewi), Krisan (anaknya Adinda), dan Nurul Aini atau Ai (anaknya Alamanda). Terutama si KRISAN. Astaga ini bujang, kecil-kecil tapi... pzzz -____- Yang bikin saya jantungan sepanjang cerita ya ini anak. Si Krisan ini. Bahkan sampai lembar terakhir ditutup pun saya masih ternganga-nganga gara-gara dia. Padahal kalau bisa dibayangkan mungkin dia ganteng banget, ngalahin bapaknya sendiri pas muda, si Kamerad Kliwon itu (secara, dia kan cucunya Dewi Ayu), tapi ternyata kelakuan.. :|

Ya pokoknya begitulah saudara-saudari yang terhormat. Novel ini penuh kejutan dan cerita yang kadang susah dicerna akal. Untung sekali saya bacanya ‘Cantik Itu Luka’ dulu baru ‘Petir’. Itung-itung refreshing. Bisa ketawa gara-gara Etra dan Mpret setelah dibuat geleng-geleng kepala sama Krisan.

**

Belakangan ini saya jadi lebih rajin membaca daripada Twitteran. Yaah, itung-itung mengurangi stok buku baru bersampul yang numpuk di rak. Buku kok dibeli tok, bacanya males. Padahal waktu saya SMA, sambil makan pun saya ladeni sambil baca. Sampai Bapak saya takut kalau saya bakal overdosis belajar karena kemana-mana bawaannya buku (wahai Bapak, saya pun malas kalau harus bawa-bawa LKS atau modul Matematika dan Ilmu Alam ke meja makan. Mengertilah...).  Membaca memang lebih bermanfaat daripada merindukan seseorang yang belum halal, menggunjingkan orang, ber-suudzon, dan curhat tidak perlu di soc-med. Membaca memang sejatinya mengasyikkan. Begitu juga dengan menulis, menggambar serta mengedit foto. Dipikir-pikir, kemampuan menulis saya (mungkin) jadi menurun gara-gara keseringan main Twitter. Tulisan di sana dibatasi cuma 140 karakter. Dan, kita tidak perlu jadi cucu Einstein dulu buat ngerti kalau karakter segitu mustahil sekali menampung banyak ide dalam sekali publish. Berbekal pendapat ngaco ala kadarnya ini, kemarin saya berniat untuk deactivate Twitter saja. Ya, tapi kemudian urung. Jangan ditutup deh, lumayan buat share postingan blog. Jadi, mungkin untuk sekarang dan selama-lamanya (amin!) saya bakal jarang muncul di ranah per-Twitter-an Indonesia.

Udahan ah. Kalau nulis beginian aja, semangat banget sampe lima halaman. Ini bukan pake format Times New Roman, 12, margin: 3,3,4,4, spasi 2 ya. JADI LHO LIMA HALAMAN! LIMAA! Semangat skripsimu, kau sembunyikan kemana, nyooong?! KEMANAAA?!

Siluman ular, Kera Sakti, Mutan, Shakespeare, siapa pun kalian, tolong kembalikan semangat skripsikuuuh!!! Toloooong!!

~ ~ ~(/‾¸‾)/|skripsi|