Photo by Kitty Gallannaugh |
"Cinta itu tidak buta. Cinta hanya tak peduli pada hal
yang tak penting. Buat saya, kamu itu penting. Buat saya, kamu itu
cinta."
(Connie)
Aku mungkin tak akan pernah mengerti bagaimana memercayai keseluruhan dirimu saja sanggup membuatku patah berserakan.
Cinta ini begitu rumit untuk dipahami. Apalagi dijalani dengan selamat.
Kelak di ujung jalan sana kau harus hadiahi aku sebaki penuh peluk hangat dan senyuman yang maha manis.
Atau berjanji lah untuk selalu kembali padaku dalam keadaan baik-baik saja.
Berjanji lah untuk selalu menebus kekhawatiranku dengan kepulanganmu.
Ah, membayangkanmu tertawa sambil mengacak rambutku gemas saja rasanya sudah mampu menukar setengah beban yang sedang kutanggung.
Di mana pun Tuhan berada, aku bersumpah kau adalah ciptaan-Nya yang tak pernah bosan membuatku membisikkan rasa syukur.
Suatu saat nanti, jika aku berubah menjadi perempuan berhati buruk yang menolak untuk kau tuntun pulang, peluk saja aku kuat-kuat.
Aku akan meronta untuk beberapa detik, namun menit setelahnya cuma tangisku yang akan kau dengar.
Diamkan saja aku untuk beberapa lama. Diamkan.
Aku ingat sekali dulu kau pernah bilang begini: "Hei, Nona. Perlu kau tahu bahwa aku memilihmu bukan karena kau adalah mawar paling harum setaman. Hati ini, ia tak menginginkan padanan yang hanya istimewa di luar namun sejatinya lemah. Aku menjatuhimu cinta karena sebagaimana kodrat seorang lelaki, aku harus mencari tempat pulang yang nyaman dan kuat. Aku percaya kamu adalah tempat pulang yang aku cari. Rumah ternyaman yang hatiku inginkan. Jangan pernah pergi. Berjanjilah untuk jangan pernah melepas pelukku lagi dan kemudian melarikan diri."
Katakan sekali lagi kalimat ini usai tangisku reda. Mendengarnya selalu membuat hatiku ringan.
Di waktu-waktu tertentu aku hanya butuh kau untuk lebih rajin bersabar.
Mengerti lah bahwa dilihat dari sudut mana pun cinta ini hadir terlalu dini.
Kita masih punya banyak sekali tabungan tahun yang harus dilalui.
Maaf kalau aku jadi sering berubah menjadi baik, lalu buruk, baik lagi, lalu buruk lagi.
Aku memang sulit dimengerti.
Namun pada akhirnya, di penghujung perang antara perasaan dan aku, di sana, akan selalu terhampar pemandangan yang sama.
Kamu yang tengah tersenyum lembut, tangan di dalam saku celana, badan menyender di depan pintu rumah, dan gelengan kepala singkat.
Gelengan kepala itu seolah-olah wakil dari sambutan "selamat datang"-mu.
"Bocah ini. Bandel. Masih saja senang bermain-main dengan asumsi dan prasangka. Senang sekali menyakiti perasaannya sendiri."
Lalu tanpa ucapan apa pun kau akan membuka kedua lenganmu. Menanti aku berlari dan menubruk tubuhmu sambil menangis.
Akan selalu ada sesal setelah "perang". Namun kau tak pernah gagal membuatku memaafkan diriku sendiri.
"Aku terlalu rumit. Maaf. Maaf karena aku terlalu sering membuatmu bersabar. Maaf kalau aku membuatmu begitu sulit untuk mengerti. Aku kekanak-kanakkan. Aku perempuan yang bodoh."
Pelukanmu lepas. Kau membungkuk sedikit dan menyamakan pandangmu dengan mataku.
"Iya. Kau memang perempuan bodoh yang paling sulit ku mengerti. Namun ingat, Nona. Memahamimu lebih jauh sama dengan mengerti tentang diriku lebih baik. Aku sudah pernah bilang padamu tentang hal ini ribuan kali bukan? Bagus. Sekarang, berhenti lah menangis. Semesta tahu aku mencintaimu."
Senyummu mengembang. Pelukanmu kembali,
Matahari pun seperti dicerabut dari langit dan kemudian ditanam di bibirmu.
Badai berlalu.
Dan aku menemukan rumahku lagi.
*
No comments:
Post a Comment