Wednesday, October 29, 2014

Melepasmu

Photo by Januarain

Aku rasa alasan mengapa aku pandai sekali tersenyum belakangan ini adalah karena wajahmu sedang rajin-rajinnya berenang di kepalaku. Sedang mencoba mencuri kunci yang selama ini sengaja aku sembunyikan. Dan berusaha membuka kembali ‘pintu’ yang, kau dan aku tahu, tak seharusnya terbuka lagi untuk kedua kalinya.

Aku sudah pernah minta Tuhan untuk bunuh kamu di kepalaku. Tapi Tuhan menolak. Tuhan terlalu baik untuk mengabulkan permohonan sekeji itu. Tuhan tak suka. 

Dan, aku, tentu saja tidak bisa melawan-Nya. Karena itu kamu sekarang ada di sini. Lagi. 

Seharusnya kamu sudah aku suruh pulang ke Planet Mars sejak entah kapan. Aku benci lihat kamu bisa bermain-main sepuasnya di kepalaku. Karena ketika kamu ada di sana, aku jadi tidak bisa menulis dan menggambar dengan baik. 

Kamu pandai mencuri konsentrasiku. Aku tidak suka.

Seorang teman pernah bilang, “Patahkan saja kuncinya. Beres kan?

Tentu saja tidak.

Aku bisa mematahkannya. Kapan saja. Tapi bagaimana kalau ketika kunci itu patah, dan kamu justru sedang bersembunyi di dalam hatiku? Aku tak mau. Aku tak mau mengurungmu di sana. Itu sama saja bunuh diri.

Jujurlah. Sebenarnya kamu hanya takut kan kalau suatu hari nanti dia benar-benar pergi dan kamu tak bisa mengingat dia kembali?

Tidak.

Kamu yang mengurungnya disana. Bukan dia yang tidak mau pergi. Kalau tidak, kenapa kunci itu kamu sembunyikan? Berikan saja padanya. Biar ia yang menentukan apakah ia mau pergi atau tinggal.

Aku bisu.

Rasanya terlalu picisan kalau aku bilang kamu masih jadi laki-laki pemilik sejuta kupu-kupu di dalam perutku. Karena nyatanya kamu bukan. Setidaknya sekarang.

Maaf, tapi cintaku tak seabadi Layla-Majnun. Senyummu bahkan bisa tergantikan dengan mudah oleh pria manis manapun yang baru saja aku lihat di jalan. Maka dari itu, aku tak mau repot-repot berbohong bahwa kamu sejatinya tak mungkin tergantikan.

Ya. Kamu tetap jadi desir yang tak terdustakan. Itu benar. Tapi kamu bukan objek rasa kagumku lagi.

Kamu memang selalu ada di sana. Di sini. Di kepalaku. Di mana-mana. Dan kamu seperti sakit flu menjengkelkan yang sulit sembuh. Tak mau diusir.

Tapi sekarang aku sudah semakin jarang menganggapmu istimewa. Aku pikir aku hanya tak pandai melepasmu saja.