Sunday, June 30, 2013

Dua hari

Photo by Januarain

Sakit hati itu mutlak, kawan. 
Ibarat terbitnya matahari, siapa yang bisa mencegahnya terjadi? 

**

Dua hari belakangan ini, saya ingin sekali menulis banyak post di blog. Tentang kehebatan mendengar. Tentang mengajari hati untuk pandai memaafkan. Tentang memaknai cinta dari sudut pandang yang berbeda. Tentang pengertian bahwa untuk memahami suatu cerita dengan baik, maka kita harus mendengarkan pula kisah dari kedua sisi dengan telinga yang terbuka sama lebarnya. Tentang menemukan teman baru. Tentang menjaga apa-apa yang baik namun belum dibutuhkan saat ini. Dan tentang kekaguman yang diam-diam mulai merangkak kembali dan duduk di sisi.

*

Cinta itu mendekati satu bentuk rasionalitas yang sempurna. Sebenarnya. Ia memang tak akan mampu kita hitung besar atau jumlahnya secara nalar. Efek yang ia timbulkan juga tak bisa kita lihat. Namun menjalani sesuatu se-membahayakan cinta tanpa menggunakan akal sama sekali ya pada akhirnya cuma bikin sakit hati.

Cinta itu suka bossy. Kalau kamu nggak bisa ngalahin bossy-nya dia dan malah terlena. Mau disuruh-suruh. Mau diperbudak. Ya silakan siap-siap obat merah di akhir perjalanan. Dan istilah "aku pasti bahagia melihatmu bahagia bersama yang lain" itu sesungguhnya sangat bullshit, pembaca. Benar-benar bullshit. Dan ke-bullshit-an ini cuma bisa ditolong dengan substansi yang penting namun sayang tak semua jenis cinta bisa miliki. Substansi ikhlas. 

Dua hari ini saya belajar bahwa, memang, hati perempuan itu luas. Sangat luas. Kasihnya tak terhitung. Apa saja bisa ia tampung. Kucing yang terlindas mobil di jalan. Anak macan kurus yang kehilangan induknya. Apa saja. Dan sungguh, keluasan hati perempuan itu justru kadang bisa jadi semacam lubang hitam yang menjerumuskan mereka ke kubangan got. Ini kemudian mematahkan pendapat saya. Pendapat bahwa, "Pakar perselingkuhan itu, mereka, kaum pria". 

Saya kemudian sadar bahwa yang bisa mencintai dua hati dengan baik secara bersamaan, walau pun mungkin kadarnya berbeda, ya perempuan. Laki-laki justru kadang membatasi perasaan cinta mereka sendiri untuk "main-main" ke yang lain dengan pola pikir untung-rugi menang-kalah yang mereka punya, dengan catatan "main mata" dan "main tangan" itu beda dengan "main hati". Tapi perempuan? Kami lemah akan afeksi-afeksi sepele yang manis. Kami lemah akan tawaran pundak yang kosong ketika hati sedang lelah-lelahnya. Kami lemah akan pria yang mampu jadi pendengar dengan baik. Kami lemah dengan mereka yang pandai membuat kami tertawa. Kami lemah dengan kata "aman", "dihargai" dan "dilindungi". Kami lemah akan banyak hal. Dan kami, kami punya banyak tempat untuk menampung hal-hal yang membuat kami nyaman.

Dua hari ini saya juga belajar bahwa pria itu tidak melulu jadi makhluk yang pandai menggunakan akal sehatnya dengan baik, tidak ember, dan lebih senang sesuatu yang simpel. Tidak. Beberapa di antara mereka ternyata juga bisa terseret perasaan mellow begitu hebat dan bertingkah macam ababil. Ya. Laki-laki macam itu ada. Yang marah dan pundung kayak cewek PMS kalau permintaannya nggak diturutin juga ada. 

Banyak. 

**

Dua hari ini... Saya suka dua hari ini. 

Saya berterima kasih untuk semua cerita, keluh-kesah, ungkapan sakit hati, dan cacian-cacian pada nama-nama yang tidak akan mungkin mendengar. Mereka semua sudah saya simpan dengan rapi di dalam folder berjudul "Dua hari".

Untuk teman yang sebenarnya lama namun menjelma jadi "baru", terima kasih untuk semua kisah dan diskusi yang kamu bagi di pagi yang mendung dan sendu itu.

Satu cerita terlewat, satu makhluk tak nampak, maka dua hari ini tidak akan pernah jadi "dua hari".
Hei, sudah pukul setengah dua. Mari seduh kopi dan ceritakan. 

Kamu, bagaimana dua hari-mu? :)

*

Saturday, June 22, 2013

Mencintai dengan cara yang bodoh

Photo by Nishe

Apa pun yang terjadi, yang pertama harus kamu cintai dengan baik adalah dirimu. Bagaimana kamu bisa membagi cintamu dan mencintai manusia lainnya, kalau dirimu sendiri saja sebenarnya kekurangan? Pada jiwa yang setia menetap di tubuhmu saja kamu pelit, apalagi pada jiwa lain yang kamu belum tentu tahu dengan baik? 

Manusia yang abai pada kebahagiaannya sendiri, yakinkah menitipkan sebagian hatimu di tangan manusia-manusia semacam ini?

*
  
Belakangan ini ada banyak sekali kisah-kisah di sekitar saya yang berhasil membuat saya mengerutkan kening heran sambil berpikir, "Apakah berpacaran benar-benar bisa bikin orang sebodoh itu?" 

Terjebak di kesalahan yang sama berulang-ulang, dibuat kisruh oleh hal-hal tidak penting, menjadi buta dengan yang mana yang seharusnya diperjuangkan dan yang mana yang tidak, menjadi kurang mencintai diri sendiri, dan lain sebagainya.

Bukankah mencintai itu sesuatu yang membahagiakan? Bukan kah orang yang saling mencintai itu harusnya bisa saling menghargai pendapat masing-masing? Bukan sepihak? Bukan seperti bos yang otoriter dan pegawainya? Kalau setiap minggu hanya diisi dengan tangis dan berantem, apa itu juga masih disebut cinta? Kalau yang satu tidak bisa menghargai yang lainnya, dan tidak pernah mau belajar untuk ingin bisa, apa itu juga masih masuk dalam daftar 'mencintai'? Kalau yang dipunya cuma sakit, kenapa masih mati-matian dipertahankan? Seberapa banyak kantong kenangan manis sih yang bisa menukar tangis dan sakit hati setiap bulan? Sebesar apa sih cinta yang memperbolehkan seorang perempuan untuk mengemis minta kembali dan minta maaf untuk hal-hal yang tidak ia lakukan? 

"Itu lah esensi mencintai, Ris. All out. Tanpa pamrih. Tanpa syarat. Tak mengenal untung-rugi."

Sampai mengorbankan hak dan kebahagiaan diri sendiri seperti itu? Anda sedang membicarakan kasih ibu? Kalau cuma cinta-cintaan orang pacaran sih, mangga ngomong saja sama tangan saya.

Heran deh. Kenapa sih beberapa perempuan begitu sulit untuk melepaskan hal-hal yang jelas-jelas akan membuatnya sakit hati sendiri? Apakah membedakan duri ikan dengan dagingnya itu sulit? Ya tentu, cinta memang tidak semudah membedakan duri dan daging ikan, tapi... kamu tahu kan maksudnya? 

Tindakan melarang-larang pasangan dalam konteks orang pacaran itu juga menurut saya lucu. Banget. Lawakan yang nggak tahu kapan bakal jadi "lawas". Kalau memang kamu perempuan, dan misal pasanganmu mewanti-wanti untuk jangan pulang terlalu malam, oke itu lumrah. Asalkan itu juga diaplikasikan untuk dirinya sendiri. Dan tentu toleran untuk alasan-alasan krusial. Tidak lantas ngambek dan nggak mau dengar alasan apa pun kalau kamu memang harus pulang malam. Kalau kayak gitu sih jangan sebut dia 'pria'. Mungkin dia anak SD yang baru sunat dan lagi belajar pacaran.

Urusan pulang malam ini sih masih wajar. Saya rasa tanpa harus jadi pacar pun, laki-laki pada umumnya pasti khawatir kalau melihat perempuan pulang malam sendirian. Tapi kalau sampai larangannya menjurus ke hal-hal absurd seperti 'kamu nggak boleh boncengan sama cowok lain', 'jangan pakai baju ini itu', 'omongannya nggak boleh gini-gini', 'kamu nggak boleh seneng-seneng kalau aku lagi susah', 'kamu nggak boleh deket sama perempuan lain kecuali aku', 'aku harus jadi prioritas, temenmu nomer dua', 'kamu jangan gaul terlalu deket sama ini itu', 'kamu harus selalu ada buat aku', 'selalu update kamu ada di mana', 'twitmu nggak boleh gini gini gini', 'statusmu jangan kebaca galau', and blah blah blah blah blah. 

Major face-palm.

Lho, dia ini siapa? ORANG INI SIAPA? Istri? Suami? Bukan to? Lha kalau bapak-ibumu yang notabene SAH memilikimu saja ndak protes, dia ini punya hak apa? Wong ngelamar aja belum berani kok udah sok-sokan ngelarang anak orang. Lha kalau cuma dengan modal nembak saja hak-hak mu dengan semena-menanya bisa dijajah seperti itu, opo yo ra melas to nduk sama dirimu sendiri?
Tapi kadang ada yang seneng juga sih dilarang-larang gitu. "Itu kan tandanya dia perhatian. Dia nggak mau aku begini-begitu. Dia mencoba jadi imam yang baik dan melindungi aku." Daaaaaan segudang alasan lainnya.

Mmm. Kayaknya imam yang beneran baik malah sejak awal nggak bakal ngajak kamu pacaran deh. Perlindungan selebih besar apa sih yang bisa ditawarkan seorang laki-laki terhadap perempuan yang ia cintai selain melindunginya dari api Jahanam? 

Jadi pernyataan "Melarang adalah sebagian dari melindungi" itu sebenarnya juga double-standard. Dalam konteks orang pacaran lho ya. Kalau sudah menikah sih, wassalam. Saya nggak ikut campur.

So, ladies and gentleman. Selagi Anda-Anda ini masih free, muda dan belum dijanjikan atau menjanjikan mas kawin ke anak orang, mari memilih dan memilah hal-hal yang sekiranya mampu membuat hati senang dan nyaman dengan cara yang pandai. Jangan takut nggak laku kalau harus ninggalin yang dulu. Ketahuilah, ada lebih dari 6 milyar manusia di bumi kita tercinta ini. Masa sih satu di antara sekian banyak manusia itu tidak ada yang pandai dalam memuliakan dan menghargai hak mu?

Jadi perempuan nggak terus diwajibkan untuk selalu menggunakan perasaannya dalam menyikapi masalah kok. Memakai otak dalam pengambilan keputusan itu bukan cuma legasinya laki-laki. Begitu juga sebaliknya untuk para pria (yang memang 'pria' dan bukan anak SD baru sunat). Menyertakan sedikit perasaanmu sebelum memutuskan bertindak ini-itu juga nggak lantas bikin kamu jadi 'Nggak lakik!'. Justru ketika kamu bisa menyeimbangkan antara ego laki-lakimu dengan pemahaman yang baik akan perasaan perempuanmu, itu baru namanya "Lakik banget!". 

Jangan bangga jadi laki-laki egois. Nyari yang kayak begituan mah banyak.

*

Bukan kah akan sangat menyedihkan melihat masa mudamu dihabiskan dengan orang yang salah? Orang yang bahkan kurang peduli dengan kebahagiaanmu sendiri? Biar bagaimana pun, yang akan selalu bersamamu kemana pun dan sampai kapan pun itu ya dirimu. Kebahagiaanmu itu ya tanggung jawabmu untukmu.

Berbuat salah itu lumrah. Mengulangi kesalahan yang sama itu bodoh. Kita belajar untuk tahu yang baik juga dari kesalahan. Tapi berulang-ulang belajar dari kesalahan yang sama juga nggak akan menambah pengetahuan yang baik. Biar bagaimana pun, manusia butuh belajar banyak hal untuk bisa hidup. Dan saya yakin, nggak ada manusia yang cuma ingin belajar alfabet seumur hidupnya. 

"Truth is, everybody is going to hurt you; you just gotta find the ones worth suffering for."
-Bob Marley-

*

p.s.
Udah pengen nulis ini dari lama. Tapi baru kesampaian sekarang. Ya sekalian lah ngisi waktu luang gara-gara kebangun tengah malem. Tulisan ini nggak bermaksud menghakimi siapa pun. Please, take everything with a grain of salt. Mari sama-sama belajar untuk jatuh cinta dengan pintar :)

Wednesday, June 12, 2013

Saya suka hari ini

Photo by Nirrimi


Hari ini Jogja cerah. Dan saya suka. Walaupun saya sedang tidak punya cucian untuk dijemur, namun saya tetap suka. Dan malamnya, meski tetap tak berbintang, Jogja pun tidak hujan. Dan saya suka. Suka sekali.

Sore ini, saya dan beberapa teman janjian dadakan untuk ketemu di McD. Saya sampai sana ketika hari sudah mendekati Maghrib. Dan kami berlima duduk-duduk agak lama sampai, mungkin Isya lebih sedikit, sebelum akhirnya memutuskan pulang. Saya, Aghas, dan Yash lalu berencana untuk makan di warung penyetan dekat kos saya. Kebetulan saya dan Yash memang sedang kepingin sekali makan cakar dan kepala bakar di sana. Kalau kata saya sih, warung penyet dekat kosan saya ini rasanya paling jos se-Jogja.

Kami tiba di warung penyetan tersebut pukul setengah delapan dan pulang pukul setengah sepuluh. Warung ini kecil. Bukan rumah makan besar yang pengunjungnya banyak. Jadi selama dua jam tadi ya yang ribut ngobrol dan ngakak sana-sini ya cuma kami. Tapi ibu penjualnya pasti maklum kok. Mungkin. Hehe. Soalnya saya nyaris tiap malam makan di sini. Dan banyak teman saya yang juga jadi tahu warung ini dan malah ngajak teman-temannya yang lain untuk makan di sana sekalian. Ya, hitung lah saya ini sebagai tukang iklan. Ibunya kan jadi banyak pelanggan juga :p

Di postingan lalu saya pernah cerita kan tentang dua orang teman yang ngobrol seru tentang masa depan di kedai susu? Nah, mereka ini ya Aghas dan Yash. Entah lah, semenjak Tutri sakit (Tutri ini teman saya yang kalau kemana-mana pasti saya sama dia), saya jadi kerap luntang-lantung bareng dua makhluk ini. Kalau sama Aghas saya memang sudah dekat dari dulu, tapi Yash beda. Dia ini makhluk sibuk. Sementara saya manusia kamar. Jadi ya jarang ketemu kecuali kalau ada janji sama DPA bareng (DPA itu Dosen Pembimbing Akademik dan kebetulan dia sama saya satu DPA). Namun semenjak ngerjain skripsi, Yash jadi nggak sesibuk dulu dan jadi lebih sering nongkrong bareng anak-anak. Nah, nggak tahu lah gimana mulainya, kalau saya, Aghas dan Yash sudah duduk bersama, obrolannya bisa jadi kemana-mana. Tak terkecuali malam ini. Mulai dari cerita masa SMA, zodiak, sampai ke calon mertua, semua jadi satu. Entah kok bisa nyambung.

Hari ini saya lagi-lagi sadar. Teman, selain jadi tempat melepas gundah, berbagi tawa, atau pelipur di kala kere, juga sumber nasehat yang nggak kalah ampuhnya sama orang tua. Saya, jujur, belajar BANYAK sekali hal dari teman-teman saya ini. Dan yang mengagetkan, saya merasa belajar SANGAT banyak justru dari Yash. Padahal intensitas saya dan dia bertemu juga tidak sering. Baru akhir-akhir ini kami jadi sering makan bersama. Dulu dulu? Yah, mungkin kalau ketemu di kantin kampus. Kalau tidak? Ya tidak ketemu. Saya bahkan baru-baru ini terpikir untuk menulis cerpen yang terinspirasi olehnya. Entah lah. Saya merasa ia begitu unik. Kebalikan totalnya saya. Kalau saya lebih senang untuk TIDAK jadi sorotan siapa pun, dia justru menyenangi perhatian orang. She wants to be the center of attention. Dan itu nggak saya banget. Tapi saya kagum ada perempuan muda sebebas, se-enggak peduli, se-masa bodoh, tapi juga sebijak dan sedewasa dia. Dalam keadaan apa pun, saya yakin dia tidak akan pernah bisa melihat saya sebagai sosok yang pantas untuk dikagumi, tapi untuk saya, dia bisa. Kapan-kapan saya akan menuliskan tentangnya di postingan yang lebih spesifik. Kalian harus kenal perempuan hebat ini :)

Intinya, hari ini saya suka. Walau pun dari siang sampai sore saya cuma ngelamun bego di kamar, Maghrib sampai malamnya saya bisa ketemu teman-teman saya lagi. Saya dapet charger semangat. Saya dapat banyak saran, cerita dan nasehat. Dari mulai ngecengin cowok-cowok SMA di McD, ngeributin gimana caranya bagi waktu antara internetan, nonton Running Man sama nulis skripsi, sampai diliatin ganas sama ibu-ibu penyetan gara-gara ngomongin calon-calon ibu mertua yang nggak banget. Masa-masa menyenangkan seperti ini, rasa-rasanya pengen saya kristalisasi. Supaya esok, lusa, entah kapan, saya bisa melihatnya lagi, dan ikut tertawa akan bagaimana kami pernah begitu muda, sok tahu dan sok memilah-milah ibu mertua seperti apa yang anak laki-lakinya boleh menikahi kami. I felt so young at that time :)

Dan kemudian saya kembali. Duduk di depan laptop dan kipas buluk saya, lalu merenung. Ya, bodoh sekali kalau hidup ini saya habiskan hanya untuk bersedih akan hal-hal kecil. Kita muda. Masih ada banyak hal menarik di luar sana yang jauh lebih menyenangkan untuk dilakukan dari pada mengurung diri dan memutuskan untuk terus berduka.  Apalagi untuk hal-hal yang belum tentu juga ikut berduka untuk kita.

Dan hidup ini. Hidup ini milik siapa lagi kalau bukan saya? Kalau saya memilih bersedih, lantas orang lain bisa apa? Jangan gantungkan kebahagiaanmu di tangan orang lain. Karena itu lah saya memilih bahagia. Memilih bahagia untuk saya. Selagi saya masih sendiri, masih belum terbebani dengan urusan keluarga, anak, suami, dan lain sebagainya, dan sudah cukup dewasa untuk menghidupi dirinya sendiri, kenapa tidak memilih untuk benar-benar merasakan jadi muda?

We are only young once. No matter how depressed we are, how sad this moment could be, life won't stop for anybody. It won't wait for you. For me. For us. So, try to live in the moment. Make every second counts. Because we're never going to be as young as we are tonight. Why not choose to be happy?


Jogja, terima kasih untuk malam yang begitu menyenangkan.
Hari ini saya suka. Saya suka sekali hari ini.