Friday, April 12, 2013

Rol Film Tuhan


Photo by Rona Keller


Saya sering berandai-andai akan bagaimana "sistem perjodohan" ini berjalan. Kurang sopan sebenarnya bagi manusia yang penuh keterbatasan seperti saya mempertanyakan perihal seperti ini. Tuhan tentu saja sudah mengaturnya dengan baik. Saya, hanya tinggal menunggu separuh jiwa saya tiba dan menerima ia dengan segala lebih dan kurangnya. Bukankah memang begitu tugas manusia? Tuhan yang atur segalanya, kita tinggal terima. Tentu saja dengan berusaha sebelumnya.

Apakah benar, akan ada berbagai macam kebetulan yang tercipta, ketika kita bertemu dengan ia yang namanya telah Tuhan pilih berada di dalam satu tanda kurung yang sama dengan nama kita? Seperti di film-film itu. Entah bagaimana caranya, keduanya selalu dipertemukan dengan berbagai macam alasan. Baik disengaja mau pun tidak. Apakah hal yang semacam itu juga terjadi di kehidupan nyata?

Saya kadang penasaran, seandainya hidup kita direkam oleh Tuhan dalam rol-rol film, saya ingin menonton bagaimana kebetulan-kebetulan itu terjadi dari dua rol film yang berbeda. Milik saya, dan milik pria saya. Apakah kami pernah berpapasan ketika belum saling mengenal? Apakah kami pernah melakukan dua hal yang sama secara bersamaan? Apakah ada hal-hal yang ia sembunyikan secara sengaja? Apakah saya pernah terlintas di pikirannya sebelum kami pernah bertatap muka? Siapa yang jatuh hati duluan? Dan bagaimana bisa? Saya ingin tahu hal-hal kecil semacam itu. Menontonnya pasti menarik sekali.

Saya tengah menonton sebuah drama ketika tiba-tiba terbersit untuk menulis postingan ini. Di drama itu, saya melihat bagaimana si tokoh pria begitu senang memerhatikan wanitanya diam-diam. Dan setiap kali ia menatap si tokoh perempuan, pandangannya berubah. Melihat matanya mengingatkan saya akan secangkir coklat panas di Subuh yang berhujan. Hangat dan menentramkan. Tatapnya adalah bentuk kagum dalam pengagungan yang sopan. Diam, manis dan sangat rahasia. Alih-alih digunakan untuk menikmati lekuk tubuh si perempuan, mata itu, mereka justru diakomodasikan sempurna untuk merekam bagaimana ia tersenyum, tertawa, berjalan, dan berbicara. Tentu saja si tokoh perempuan tak pernah sadar kalau ia tengah diperhatikan. Tipikal drama.

Saya cuma penasaran, pernahkah saya ditatap seperti itu oleh this so-called 'jodoh saya'? Hidup ini tak semanis kembang gula, saya sadar. Makanya saya tak pernah pusing-pusing memikirkan kemungkinan yang demikian. Mengingat saya juga orangnya nyadaran, jadi kemungkinan kecil ada yang bisa mencuri pandang tanpa saya tahu (kayak ada yang mau ngeliatin aja, nyet ¬_¬).

Kemudian, satu lagi. Bagaimana mungkin saya bisa jatuh hati pada seorang pria asing? Tentu, membolak-balikkan hati adalah hal yang sangat mudah bagi Tuhan. Saya tak akan menyangsikan bagaimana ajaibnya Ia bisa membuat saya jatuh cinta pada satu pria suatu saat nanti. Cuma, saya ini perempuan jelek yang banyak maunya. Terlebih lagi, saya gampang kecewa pada hal-hal remeh. Iya, nyebelin ya? Udah jelek, rewel pula. Lantas bagaimana? Mungkin itu lah mengapa orang-orang bilang perkara cinta ini tidak bersahabat dengan rasionalitas. Tak ada benang merah di antara keduanya. Mau saya mikir sampai kayang pun mungkin jawabannya nggak bakal ketemu. Tidak ada alasan yang masuk akal untuk urusan cinta. Begitu katanya.

Ah, saya terlalu banyak penasaran pada hal-hal yang tak perlu. Tuhan tentu tak suka saya sedikit-sedikit kepo tentang rahasia-Nya. Baiklah, anggap saja perkara tentang "sistem perjodohan" ini adalah salah satu rahasia besar yang jaringan konspirasinya tak boleh saya tahu. Sebagai 'klien', tugas saya cuma tinggal terima jadi.

Oh ya, Tuhan, kalau boleh, kapan-kapan pinjam rol film-nya ya? :)

*

Thursday, April 11, 2013

A Letter To My Heart


Photo by Nishe


“Percaya lah Hati, lebih dari ini pernah kita lalui. Tak kan lagi kita mesti jauh melangkah. Nikmatilah lara untuk sementara. Sementara Saja.”
(Float)

*

Malam ini, mari kita mandikan dirimu sampai bersih. Sampai semua noda dan bekas lukamu tak cukup terlihat oleh mata-mata asing. Mari, sini, akan ku dandani kau dengan baju baru yang lebih indah dan wangi. Tak lupa pakai bedak dan gincu merah. Biar cantik. Lalu kita pagari dirimu dengan pagar yang lebih kuat dan kokoh. Agar kau tak mudah jatuh dan pecah lagi. Agar lututmu tak lekas luka dan berdarah lagi.

Malam ini kita akhiri saja semuanya. Mari turun di stasiun kereta berikutnya dan kita lanjutkan perjalanan ini dengan berjalan kaki berdua saja. Kau dan aku. Buang rindumu di tempat sampah terdekat. Membawanya akan semakin memberatkan tas gendongmu. Masih ada banyak kilometer yang harus kita tempuh. Menenteng-nenteng sesuatu yang kadaluarsa dalam perjalanan ini tentu tiada guna. Barang-barang kadaluarsa seperti itu lebih layak menetap di pembuangan sampah. Seperti cinta misalnya.

Jangan menangis. Aku tahu kau tak selemah itu. Bukankah kau pernah terluka lebih parah? Bukankah jahitan lukamu pernah lebih banyak dari ini? Percayalah, kau lebih berharga dari apa pun yang pernah membuatmu coreng moreng dan penuh luka.

Akan ada satu senja untukmu di masa mendatang, di mana tak lagi ada langkah yang harus kau ambil atau jarak yang harus kau tempuh. Perjalanan ini akan menemukan ujungnya di suatu ketika. Dan saat hari itu tiba, percaya padaku, kau tak akan punya cukup waktu untuk menangisi luka-luka lamamu.

Percayalah Hati, lebih dari ini pernah kita lalui. 

Jika memang lukamu kali ini terlalu pedih, berhenti dan menangislah. Tak ada agama mana pun yang melarang sepotong Hati untuk menangis. Terlebih jika ia telah berjalan sangat jauh dan dipatahkan berulang kali. Tuhan tidak sekejam itu.

Nikmati laramu. Pelan-pelan pun tak apa. Namun untuk sementara. Sementara saja. 

Akan kutunggu sampai air matamu kering. Kalau kau mau, ambil pula pelukku cuma-cuma. Setelah itu berdirilah. Patahmu kali ini bukan apa-apa. Kau pernah bertemu yang lebih buruk dan kau mampu melewatinya dengan baik. Patahmu kali ini tentu bukan apa-apa. 

Berdirilah.

Perjalanan ini masih jauh. 

Belum waktunya kau untuk berhenti dan terjatuh. 

*

Menulis ini sambil mendengarkan 'Float - Sementara'. Lagunya memilukan dengan cara yang sangat sederhana. Saya yang sedang gembira dengan ke-single-an saya pun tetiba merasa seperti baru saja dipatahkan hatinya </3

Lagunya bisa didengarkan di sini. Mari ber-patah-hati-ria bersama :)

*

Menanti Bingkisan

Photo by Mandy Faith

Selepas makan malam tadi, salah seorang teman saya yang sedang kesulitan move on dan tengah menderita sakit tenggorokan ini, tetiba bertanya sebuah pertanyaan yang begitu klise.

"Pernahkah kamu membayangkan bagaimana dirimu dua tahun mendatang? Atau apa yang akan kamu lakukan saat itu?"

Saya dengan simpel menjawab. "Kemungkinan besar saya masih menganggur. Entahlah. Saya punya firasat kuat tentang hal ini. Tentang menjadi sarjana pengangguran."

Teman saya tersentak. Bagaimana mungkin saya bisa mengatakan hal seburuk itu?

Lucunya adalah, bukan hanya malam ini saja ketika teman saya bertanya, malam-malam sebelumnya pun saya sudah memikirkan tentang hal ini masak-masak. Menggado semua mimpi untuk kemudian dituangkan ke dalam rencana masa depan yang hasilnya... nihil.

Beberapa teman sudah bertekad untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus kuliah nanti. Entah itu lewat beasiswa atau bukan. Entah itu di Indonesia lagi atau bukan. Sementara yang lain berencana untuk mencari pekerjaan saja. Merantau ke lain pulau atau ikut proyek teman. Yang penting kerja. Bisa cari uang sendiri. Intinya sama. Mereka semua memiliki rencana. 

Setahu saya, satu-satunya rencana yang saya punya seandainya besok ijazah sudah di kantong adalah segera pulang ke pangkuan orangtua. Menghabiskan beberapa minggu untuk menikmati momen-momen saya kembali jadi 'anak manusia'. Setelahnya, saya tak tahu. Mungkin cari kerja. Kerja apa? Saya nggak tahu juga.

Entahlah. Bermimpi rasanya jadi pekerjaan yang begitu sulit untuk dilakukan akhir-akhir ini.

Saya yang terbiasa dengan 'rencana' sekecil apa pun, sekarang malah tak memiliki rencana sama sekali. Seperti misal apa-apa yang perlu saya lakukan. Apa yang perlu saya capai. Tak ada gambaran.

Masa depan saya, mereka, seperti kertas putih yang sangat luas. Tidak ada sketsa. Tidak ada clue. Bahkan untuk membayangkan saya bekerja di suatu tempat dan mendapatkan gaji sendiri saja rasanya begitu imajiner. Tidak riil.

Saya tertawa. Akan jadi pertunjukan yang lucu sekali melihat seorang perempuan yang biasanya penuh rencana ini harus memulai lakonnya tanpa skenario apa pun. Hidupnya seketika berubah jadi ladang penuh timbunan ranjau dan hadiah.
*

Sunday, April 7, 2013

Menikmati Patah Hati

Photo by Rona Keller


Siapa yang ingin dipatahkan hatinya? Pikirku pagi ini.

Ah, tentu saja tak ada. Bodoh kalau memang ada yang mau. Aku meneguk kopiku dan tersenyum masam.
 
Lha, kalau hatimu sudah terlanjur patah? Bagaimana?

Ya, nikmati.

Nikmati ia sama banyaknya ketika kamu sedang menjatuhkan hati. Tersenyum lah sama banyak seperti ketika kepalamu tengah ditumbuhi berbagai macam bunga karena bahagia.

Kalau memang hatimu ternyata tidak ditangkap, dan lalu meluncur begitu saja ke lantai, PRANG! Pecah seperti piring makan yang kusam dan tak dibutuhkan, ya nikmati saja. Biarkan ia meretak perlahan dan berubah jadi serpih-serpih tua yang menyedihkan.

Dengarkan bagaimana ia perlahan-lahan meretak. Amati bagaimana ia menjelma dari satu menjadi jamak.

Aneh memang. Namun aku percaya bahwa rasa sakit yang diakibatkan oleh patah hati itu adiktif.

Awet. Enggan lenyap. Mudah kembali.

Tapi aku menikmatinya.

Sangat.

Nanti, ketika aku jatuh cinta lagi, aku akan merindukan bagaimana rasanya patah hati.

Masa di mana senyum terlihat lebih menyedihkan dari tangis.

Dan air mata dihargai seribu kali lebih murah dari permen karet Yosan manapun di seluruh dunia.

*

Friday, April 5, 2013

Berterimakasih



Credit to the owner

Mereka mungkin sering dilupakan jasanya oleh sebagian besar dari kita, namun malam ini saya ingin sekali berterimakasih pada semua pemusik dan penyanyi yang musik dan suaranya memenuhi daftar mp3 di handphone saya. Dan semua penulis yang tulisannya pernah saya baca entah itu dari blog, novel, twitter, tumblr dan lain sebagainya. 

Tanpa musik-musik itu, atau tulisan-tulisan hebat mereka, saya bukanlah saya yang sekarang. Saya percaya pengaruh mereka pada cara pandang saya terhadap hidup adalah sama besar dengan apa yang orang-orang sekitar coba bawa dan tanam di dalam kepala saya. Saya dengan tulus berterimakasih karena mereka ada. Karena karya-karya hebat mereka telah membantu saya melewati banyak hal. Membantu saya untuk berpikir lebih bijak sebelum memutuskan sesuatu yang besar. 

Sebagai seseorang yang mencintai kesendirian dan rasa sepi, musik-musik di mp3 saya ini adalah sahabat yang begitu setia. Mereka mampu dengan mudah menenggelamkan saya ketika saya sedang tidak menyenangi lingkungan yang sedang saya hadiri. Yang mungkin bising. Yang mungkin dipenuhi orang-orang asing. Musik-musik itu pun, sering kali membuat saya menyadari hal-hal yang mungkin terlalu menyedihkan untuk saya ingat. Yang ingin sekali saya kubur dalam-dalam walau pun sebenarnya perlu saya keluarkan sesekali. Mereka membantu saya menemukan semangat yang sempat hilang. Mereka yang lebih setia dari beberapa teman dalam menyembuhkan banyak luka. Mereka yang selalu ada ketika saya jatuh cinta. Mereka yang menemani sampai patah hati saya terobati.

Musik-musik itu, yang walau pun beberapa dari mereka bahkan tak pernah saya tahu siapa penyanyinya, secara tidak langsung justru berjasa sangat banyak pada kelangsungan hidup saya dibanding beberapa manusia yang sudah saya kenal lama. Itulah hidup. Lucu. Mereka yang jauh justru kadang mengajarkanmu lebih banyak hal dari pada mereka yang helaan nafasnya mampu kamu dengar dengan baik.

Dan tulisan-tulisan hebat itu... Ah, adakah guru yang lebih sempurna dari buku? Ucapan terimakasih adalah bingkisan yang begitu menyedihkan untuk semua renungan yang mereka bawa. Kadang saya berpikir, saya berhutang sebagian dari proses saya menuju dewasa pada tulisan-tulisan yang saya baca. Ya, begitu krusialnya mereka dalam hidup saya. Itulah mengapa saya selalu mengingatkan diri saya sendiri bahwa kemalasan saya dalam membaca akhir-akhir ini akan, cepat atau lambat, membuat saya jadi bodoh dan terbelakang. Secepatnya saya harus menemukan kembali semangat membaca saya yang hilang. Oh, dan juga semangat menulis. Belakangan ini mereka berdua menghilang begitu saja dari hidup saya. Dan tak ada sedikit pun keinginan dari saya untuk menemukan mereka kembali. Menyedihkan.

Berterimakasih pada hal-hal sederhana di sekitar kita adalah bukan hal yang bodoh. Mensyukuri keberadaan mereka adalah hal yang lebih baik lagi. Mumpung masih bisa.

Terimakasih, musik-musik di mp3 saya. Terimakasih tulisan-tulisan hebat yang pernah saya baca. Terimakasih karena telah membantu saya menjadi saya yang sekarang. Terimakasih karena telah mengerti semua suka dan luka yang pernah saya alami, kadang, lebih baik dari siapa pun. Terimakasih karena telah mengenalkan saya pada pemikiran-pemikiran baik dan menyelamatkan saya dari ide-ide buruk di saat-saat yang tepat. 

Terimakasih.

*