Photo by Januarain |
Sakit hati itu mutlak, kawan.
Ibarat terbitnya matahari, siapa yang bisa mencegahnya terjadi?
**
Dua hari belakangan ini, saya ingin sekali menulis banyak post di blog. Tentang kehebatan mendengar. Tentang mengajari hati untuk pandai memaafkan. Tentang memaknai cinta dari sudut pandang yang berbeda. Tentang pengertian bahwa untuk memahami suatu cerita dengan baik, maka kita harus mendengarkan pula kisah dari kedua sisi dengan telinga yang terbuka sama lebarnya. Tentang menemukan teman baru. Tentang menjaga apa-apa yang baik namun belum dibutuhkan saat ini. Dan tentang kekaguman yang diam-diam mulai merangkak kembali dan duduk di sisi.
*
Cinta itu mendekati satu bentuk rasionalitas yang sempurna. Sebenarnya. Ia memang tak akan mampu kita hitung besar atau jumlahnya secara nalar. Efek yang ia timbulkan juga tak bisa kita lihat. Namun menjalani sesuatu se-membahayakan cinta tanpa menggunakan akal sama sekali ya pada akhirnya cuma bikin sakit hati.
Cinta itu suka bossy. Kalau kamu nggak bisa ngalahin bossy-nya dia dan malah terlena. Mau disuruh-suruh. Mau diperbudak. Ya silakan siap-siap obat merah di akhir perjalanan. Dan istilah "aku pasti bahagia melihatmu bahagia bersama yang lain" itu sesungguhnya sangat bullshit, pembaca. Benar-benar bullshit. Dan ke-bullshit-an ini cuma bisa ditolong dengan substansi yang penting namun sayang tak semua jenis cinta bisa miliki. Substansi ikhlas.
Cinta itu suka bossy. Kalau kamu nggak bisa ngalahin bossy-nya dia dan malah terlena. Mau disuruh-suruh. Mau diperbudak. Ya silakan siap-siap obat merah di akhir perjalanan. Dan istilah "aku pasti bahagia melihatmu bahagia bersama yang lain" itu sesungguhnya sangat bullshit, pembaca. Benar-benar bullshit. Dan ke-bullshit-an ini cuma bisa ditolong dengan substansi yang penting namun sayang tak semua jenis cinta bisa miliki. Substansi ikhlas.
Dua hari ini saya belajar bahwa, memang, hati perempuan itu luas. Sangat luas. Kasihnya tak terhitung. Apa saja bisa ia tampung. Kucing yang terlindas mobil di jalan. Anak macan kurus yang kehilangan induknya. Apa saja. Dan sungguh, keluasan hati perempuan itu justru kadang bisa jadi semacam lubang hitam yang menjerumuskan mereka ke kubangan got. Ini kemudian mematahkan pendapat saya. Pendapat bahwa, "Pakar perselingkuhan itu, mereka, kaum pria".
Saya kemudian sadar bahwa yang bisa mencintai dua hati dengan baik secara bersamaan, walau pun mungkin kadarnya berbeda, ya perempuan. Laki-laki justru kadang membatasi perasaan cinta mereka sendiri untuk "main-main" ke yang lain dengan pola pikir untung-rugi menang-kalah yang mereka punya, dengan catatan "main mata" dan "main tangan" itu beda dengan "main hati". Tapi perempuan? Kami lemah akan afeksi-afeksi sepele yang manis. Kami lemah akan tawaran pundak yang kosong ketika hati sedang lelah-lelahnya. Kami lemah akan pria yang mampu jadi pendengar dengan baik. Kami lemah dengan mereka yang pandai membuat kami tertawa. Kami lemah dengan kata "aman", "dihargai" dan "dilindungi". Kami lemah akan banyak hal. Dan kami, kami punya banyak tempat untuk menampung hal-hal yang membuat kami nyaman.
Dua hari ini saya juga belajar bahwa pria itu tidak melulu jadi makhluk yang pandai menggunakan akal sehatnya dengan baik, tidak ember, dan lebih senang sesuatu yang simpel. Tidak. Beberapa di antara mereka ternyata juga bisa terseret perasaan mellow begitu hebat dan bertingkah macam ababil. Ya. Laki-laki macam itu ada. Yang marah dan pundung kayak cewek PMS kalau permintaannya nggak diturutin juga ada.
Banyak.
**
Dua hari ini... Saya suka dua hari ini.
Saya berterima kasih untuk semua cerita, keluh-kesah, ungkapan sakit hati, dan cacian-cacian pada nama-nama yang tidak akan mungkin mendengar. Mereka semua sudah saya simpan dengan rapi di dalam folder berjudul "Dua hari".
Untuk teman yang sebenarnya lama namun menjelma jadi "baru", terima kasih untuk semua kisah dan diskusi yang kamu bagi di pagi yang mendung dan sendu itu.
Satu cerita terlewat, satu makhluk tak nampak, maka dua hari ini tidak akan pernah jadi "dua hari".
Untuk teman yang sebenarnya lama namun menjelma jadi "baru", terima kasih untuk semua kisah dan diskusi yang kamu bagi di pagi yang mendung dan sendu itu.
Satu cerita terlewat, satu makhluk tak nampak, maka dua hari ini tidak akan pernah jadi "dua hari".
Hei, sudah pukul setengah dua. Mari seduh kopi dan ceritakan.
Kamu, bagaimana dua hari-mu? :)
*
No comments:
Post a Comment