Photo by Kitty Gallanaugh |
Tulisan ini, apa pun namanya, diketik ketika aku sedang
jatuh ragu. Hatiku tersaruk. Dan tak sengaja terkena ribuan pecah kekecewaan. Kepingnya
menancap demikian kuat. Beberapa di antaranya berhasil merobek daging. Secuil
kepercayaanku tentangmu ikut terenggut bersama darah yang mengalir. Maaf, aku
tak mampu mencegahnya. Aku hanya bisa menambal lukanya dengan sehelai
perban. Berharap agar sisa kepercayaanku padamu, masih cukup banyak untuk membuatku
menyayangimu sampai esok pagi.
Pernah membayangkan kalau cinta ini cuma kau sendirian yang
simpan? Bagaimana jika selama ini aku hanya bersandiwara? Bagaimana jika sejak
pertama, kupu-kupu itu tak pernah mampir di perutku? Kau memang mengirimkan
mereka padaku namun aku membuangnya. Seluruhnya ke dalam bak sampah di depan
rumah. Apakah harga dirimu sebagai laki-laki akan jatuh? Coreng moreng penuh
debu setelah hati yang kau titipkan berhasil kurampas dan kuinjak sesukanya?
Belakangan ini kau begitu sering menyenangi hal-hal yang
kubenci dan kuanggap murah. Kau tahu aku adalah perempuan yang sulit untuk diyakinkan,
bukan? Aku bukan tipikal perempuan yang mudah memaafkan hal-hal kecil yang tak
kusuka namun terus-menerus kau lakukan. Aku sungguh berharap kau sadar itu.
Diam-diam aku berkaca dan tertawa. Ah, betapa mudah perasaan
ini dibolak-balik. Aku pun tak paham bagaimana rasa kering dan sepi yang
dibiasakan ini kemudian menjelma menjadi benci yang mengerikan. Demi Tuhan, aku
tak ingin ia ada.
Semesta pun mengerti kau terlalu budiman untuk dimusuhi. Kau
adalah sepersekian kecil laki-laki baik yang masih Tuhan simpan untuk
surga-Nya.
Aku memang biadab.
*
No comments:
Post a Comment