Photo by Rosie Hardy |
Ketika suara Dewi Lestari terlantun menembangkan salah satu
lagunya di album Rectoverso, Grew A Day Older, saya tetiba menangis. Air mata
ini menetes satu, satu. Membuat saya untuk sedetik merasa kaget dan bingung. Lalu
kemudian sedih. Saya peluk diri saya sendiri, dan mulai menangis dengan
khusyuk. Tanpa alasan. Tanpa pretensi mengapa dan kenapa.
Entahlah. Rasanya sesak saja. Saya ingin ditemani malam ini.
Dipeluk dengan hangat. Dibelai rambutnya sampai saya tertidur.
Saya ingin seseorang menelpon saya, bertanya ‘Apa yang kamu
takutkan?’, dan satu jam kemudian ia hanya diam saja mendengarkan saya terisak.
Tahu kalau saya hanya butuh didengarkan walaupun tak punya cerita apa-apa. Tahu
kalau saya hanya butuh... ditemani. Dipegang jemarinya. Dikuatkan.
Baris ini saya tulis di tengah rinai gerimis yang menderas
di pipi. Menetes satu per satu dengan bersahaja.
Ia sedang tak ingin
dipertanyakan. Ia... hanya ingin jatuh.
Tolong, siapapun kamu disana, pegang erat tangan saya dan
temani saya menangis.
Mari kita seduh dua cangkir kopi dan dengarkan air mata saya bercerita.
Katakan, gerimis ini pasti berakhir di penghujung Subuh
nanti. Dan esok pagi langit biru akan tetap datang. Bersama mataharinya. Bersama
senjanya yang sendu dan hangat.
Sekarang saya rindu. Rindu sekali. Entah dengan siapa. Saya tidak
tahu. Atau mungkin saya rindu dengan semua orang. Saya sulit untuk menyebutkan
nama mereka satu-satu. Saya orang yang tak pernah pandai bilang rindu.
Oh, gerimis ini kini jadi badai.
Peluk saya.
Peluk saya yang erat, Tuhan...
No comments:
Post a Comment