Wednesday, November 19, 2014

Apa yang sehari-harinya dilakukan oleh seorang tuna karya?

Photo by Kitty Gallannaugh

Saya adalah seorang tuna karya.

Pernyataan ini ditulis bukan sebagai wujud rasa bangga. Namun mengatakannya sebagai fakta yang memalukan juga bukan.

Saya jauh dari keadaan yang 'baik-baik saja' dalam standar norma kebanyakan manusia. Namun saya juga tidak sepenuhnya menyedihkan. Terlebih berduka. Tidak.

Saya baik-baik saja. Dalam standar saya.

Dan itu cukup untuk saya saat ini.

Satu pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh teman-teman lama ketika bertemu saya adalah, "Sekarang sibuk apa?" Dan saya pernah berada di satu titik di mana saya muak, begitu malu, dan rasanya ingin melenyapkan diri terbang ke bulan tiap kali pertanyaan tadi terdengar. Tidak ada basa-basi yang lebih menyakitkan dari bertanya "Sedang sibuk apa?" pada seorang tuna karya. Itu pesan saya kepada Anda-Anda yang mungkin sekarang sudah mapan ketika bertemu teman kuliah yang masih 'gitu-gitu' aja. Jika memungkinkan, bertanyalah hal lain. Tapi kalau memang benar-benar ingin kepo, ya monggo. Kami-kami ini, kadang sudah merasa kebal, berkulit badak, mati rasa ketika ditanya yang demikian. Jadi kemungkinan besar pertanyaan Anda hanya kami tanggapi dengan cengiran atau jawaban asal. Walaupun mungkin malamnya, ada beberapa dari kami yang bakal merenung lama memikirkan hidup yang tak kunjung membaik. Saya salah satunya.

Sudah tak terhitung banyaknya saya melamun sambil menatap laman sosial media. Melihat foto-foto teman-teman sekolah dan kuliah yang sibuk menggapai mimpi mereka dari satu tempat ke tempat lain. Tertawa bersama teman kantor baru. Menikah. Mungkin ada beberapa yang bahkan sudah menimang anak. Jalan-jalan ke luar negeri. Mengejar studi yang lebih tinggi. Melihat mereka, apalah saya ini yang kastanya mungkin bisa disamakan dengan kecoak-kecoak bau di sudut-sudut WC umum. Saya ini sampah masyarakat. Satu sebutan yang dulu sering saya lempar sembarang sebagai gojekan kepada sesama teman. Menjadi salah satu dari bagian gojek tersebut ternyata begitu menyakitkan dan memalukan. Menerimanya dengan legowo bukan lah proses yang mudah. Tapi kami, saya lebih tepatnya, bisa apa lagi selain nrimo.

Ratusan malam saya habiskan untuk mencari sebab-musabab mengapa saya bisa jadi seperti ini. Karena, setahu saya, saya punya cukup amunisi untuk terhindar dari situasi menjadi bagian dari sampah masyarakat tadi. Jawabannya ternyata cuma satu. Jawabannya ya saya ini. Saya adalah sebab-musabab mengapa bisa terjerumus ke lembah nista bernama keluntang-lantungan. Saya begini karena saya kurang berusaha. Saya begitu karena saya kurang ikhtiar. Kalau saya sudah usaha, mungkin usaha saya kurang keras. Kalau sudah keras, mungkin kurang keras lagi. Begitu seterusnya.

Ada satu drama Korea yang sedang saya tonton saat ini dan menurut saya menarik. Isinya bukan tentang cinta-cintaan, karena kebetulan juga saya sedang malas nonton yang begituan. Pemeran utama di drama ini adalah seorang tuna karya yang baru saja diterima internship di sebuah firma besar. Dibandingkan intern yang lain, Jang Geu-rae, begitu namanya, bukanlah apa-apa. Dia bahkan nggak kuliah. Lulus SMA pun tidak. Dia cuma punya ijazah yang setara dengan sekolah menengah atas. Umur Geu-rae waktu jadi intern tadi sudah 26. Cukup tua bukan? Seharusnya di umur segitu dia sudah dapat posisi yang mapan di sebuah kantor dan dapat gaji bulanan rutin. Di hari pertamanya jadi intern, Geu-rae diajak seniornya ke atap gedung untuk di-interview secara personal. Fakta bahwa Geu-rae bisa diterima sebagai intern di perusahaannya (yang saya rasa cukup bergengsi) membuat si senior bingung. Terlebih dengan ijazah yang seadanya tadi. Ketika ditanya apa Geu-rae ini drop out-an salah satu kampus Ivy League? Bisa bahasa asing apa saja? Pernah bekerja di mana? Punya kemampuan apa? Geu-rae tidak bisa menjawab. Si senior pun kontan tidak habis pikir. Lantas apa yang sudah dilakukannya selama ini? Apa yang sudah ia dapat dan hasilkan selama 26 tahun ia hidup?

Walaupun laki-laki, Geu-rae adalah tokoh yang menurut saya lelet. Lemah. Klemar-klemer. Saya suka gemas melihat dia bekerja begitu pelan, bingungan, dan mau saja di-bully oleh interns yang lain. Kikuk sekali sebagai manusia. Namun ada satu hal yang menarik dari Geu-rae. Pria ini, seberapapun kerasnya ia bekerja, ia kerap mendiskredit semua usahanya. Sebelum menjadi intern, Geu-rae bukannya tidak pernah bekerja. Ia bekerja serabutan di mana-mana. Ya giat. Ya kerja keras. Biar bagaimanapun ia adalah anak satu-satunya dari keluarga yang sudah tak berbapak. Sedangkan ibunya cuma buruh cuci yang sudah renta. Waktu jadi supir taksi, dan tidak dibayar dengan uang pas, Geu-rae tidak protes. Ia justru menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bekerja keras. Ia bisa jadi supir taksi yang dibayar dengan uang tidak pas karena ia kurang giat. Kurang usaha. Pun ketika ia di-bully oleh teman-teman internship-nya karena dianggap lulus karena nyogok, Geu-rae lagi-lagi cuma bisa menyalahkan diri sendiri. Ia bisa di-bully, direndahkan karena ia selama ini kurang kerja keras. Kurang giat. Padahal melihat usahanya, siapa yang berani bilang kalau pria kurus ini kurang bekerja? Cuma dia sendiri yang tidak bisa melihat bagaimana kerasnya ia berusaha. 

Geu-rae membuat saya berkaca. Menatap sosok saya dari sudut 180 derajat. 

Kenapa saya harus memaksakan diri masuk ke dalam boks-boks normalitas hanya untuk dianggap sama? Tidak dianggap gagal?

Apakah saya harus sukses di umur yang sama seperti teman-teman seangkatan? Meniti karir di lajur start yang sejajar?

Kalau kata Madison Dube, salah satu fotografer favorit saya; "I want to protect my youth from the false guilt that is projected onto them when deciding what path is their own. You don't have to answer your neighbor when they condescendingly ask about your plans after high school. Breathe, collect your thoughts, try things, see what falls in your lap and recognize what feels true... Why are we told we must decide by a certain age?"

Kadang saya lupa selain kerja keras ada faktor lain yang menentukan bagaimana sukses itu terbentuk. Kesempatan. Saya kebetulan belum seberuntung yang lain untuk bisa ketemu dengan si Kesempatan.

Ke-nrimo-an yang tadinya terasa pahit karena dipaksakan, lambat laun mulai bisa saya terima dengan baik. Rasanya seperti mencoba minum air putih setelah menelan puyer. Masih pahit. Tapi setidaknya lebih lumayan.

Teman-teman saya sering bilang, "Wong ki ono wektune dewe-dewe (orang itu ada waktunya sendiri-sendiri)," dan saya kerap tidak paham dengan kalimat ini. Kenapa? Kenapa waktu saya berbeda? Saya pun tak tahu. Namun kali ini pertanyaan tadi sudah tidak terlalu saya ambil pusing. Entahlah. Mungkin karena percuma. Tidak ada yang bisa membantu saya untuk mencari jawabnya kecuali waktu itu sendiri.

Lantas, sebagai tuna karya, apa sebenarnya yang saya lakukan sehari-hari?

Saya pun sering menanyakan hal ini. Apa sebenarnya yang saya lakukan seharian? Karena rasanya hari berlalu begitu saja dan tahu-tahu sudah malam. Begitu seterusnya. Sampai saya kadang tidak sadar bulan sudah berganti. Bahkan sebentar lagi tahun baru.

Belakangan ini saya mulai mengingat-ingat kegiatan apa saja yang saya lakukan seharian dan, surprisingly, saya seperti melihat pola. Setiap hari, entah secara sadar atau tidak, saya selalu mencanangkan pada diri sendiri untuk setidaknya menghasilkan atau menyelesaikan sesuatu. Paling tidak saya harus menghasilkan satu karya, satu tulisan, satu gambar, satu editan, atau menyelesaikan satu atau beberapa bab buku, menyelesaikan nonton film yang sudah saya copy, dan lain sebagainya. Nonton film? Baca buku? Kesannya seperti bersantai ya? Daripada nyantai, saya lebih senang menyebut mereka brainstorming. Karena dari film-film yang saya tonton itulah kadang saya dapat ide-ide melimpah untuk menulis. Atau bahkan terinspirasi ngedit melihat sinematografi dan tonal pengeditan videonya yang cantik. Cara mengambil gambar di film-film yang saya tonton adalah salah satu inspirasi terbesar saya dalam memotret. Bagaimana kemudian mereka bisa terlihat sederhana namun tetap berkesan manis adalah rumus magis yang harus saya kuasai dengan terus berlatih. Jangankan nonton, untuk beberapa penulis, diam melamun bahkan bisa disebut sebagai bagian dari pekerjaan. 

Selain itu saya punya rutinitas lain (ini agak panjang, jadi kalau sudah bosan bisa langsung skip ke akhir saja). Setiap hari, sebisa mungkin, saya harus mengunggah satu foto atau gambar ke situs-situs seni yang saya punya. Untuk Flickr dan dA, saya juga harus memasukkan mereka ke grup-grup tertentu supaya karya saya dapat eksposur. Dilihat tidak cuma oleh saya saja, namun juga oleh orang lain. Selanjutnya ngecek message, membalas komen (kalau ada), melihat karya-karya milik fotografer atau artis lain, lalu nge-klik favorite dan/atau menulis komen di foto atau gambar-gambar yang menurut saya bagus. Yah, itung-itung sebagai bentuk sosialisasi dan promosi diri. Saya pernah salah komen orang, dan malah di-watch (semacam add friend untuk komunitas dA) sama orang tersebut. Sampai sekarang dia adalah watcher saya yang paling sering mem-feature foto-foto saya di puisi yang ia tulis. Memang kadang terlihat basa-basi, tapi saya sebisa mungkin komen di karya yang memang menurut saya oke. Tidak lantas asal komen di semua foto. Nah, itu untuk Flickr dan dA. Untuk instagram, saya sering upload multiple pictures secara berkala atau sekaligus. Untuk mendapatkan eksposur, tentu saya harus menulis hashtag. Beberapa orang yang tidak paham, menganggap bahwa penulisan hashtag adalah sesuatu yang alay. Saya tidak peduli. Saya butuh eksposur untuk karya-karya saya, maka saya akan tulis hashtag-hashtag yang relevan dengan gambar tersebut. Peduli amat kata orang alay. Belakangan ini saya juga kerap explore akun-akun inspiratif di IG. Biasanya sih untuk inspirasi menggambar. Kalau feed-nya bagus-bagus, biasanya saya follow. Itu tadi Instagram. Tambahan lain, saya masih punya tumblr, sesekali membalas komen di blog Bahasa Inggris yang sudah lama saya tinggalkan (dan akan saya update lagi), kalau lagi rajin ya bereksperimen dengan Lightroom dan Photoshop, bikin-bikin preset baru. Saya juga suka upload di Facebook walaupun tidak banyak (cenderung tidak ada) yang merespon. Entah karena karya saya yang memang sama sekali tidak menarik, bukan selera pasaran, atau "teman-teman" Facebook saya yang ada 1400 itu tidak peduli. Saya juga tidak paham. Yang penting saya upload. Lainnya mungkin ngecek blog-blog favorit saya, baik itu dari fotografer atau penulis. Kalau blog fotografi, biasanya saya senang menyimpan foto-foto mereka sebagai referensi atau baca-baca apakah ada tips-tips yang baru mereka unggah. Saya punya satu folder berisi foto-foto dari banyak fotografer panutan. Saya kadang senang menatap foto-foto mereka satu-satu dan membayangkan bisa punya karir yang sama. Berkencan dengan kamera setiap hari untuk menyambung hidup. Alangkah menyenangkannya.

Ya kira-kira begitulah rutinitas harian saya. Cukup menjelaskan kan kenapa saya selalu butuh pulsa modem? :D

Sebagai tuna karya, saya masih bersyukur karena terhitung beruntung. Setidaknya saya cukup paham saya mampu di bidang apa, saya suka apa, dan saya mau ke mana. Kalau ketiganya digabung, itu bakal jadi dream job saya. Dan saya sedang mengusahakan untuk ke sana. Sedang membangun tangganya satu persatu untuk tiba di puncak. Namun yang namanya dream job tentu tidak bisa diraih dengan mudah. Banyak pengorbanannya. Untuk saya, pengorbanan saya adalah waktu, tagihan pulsa, jari yang pegal, leher tegang dan kepala yang pusing (apalagi kalau sedang terkena art block dan writer block). Itu pengorbanan yang cukup ringan menurut saya, dan saya merasa beruntung.

Tulisan ini dibuat bukan untuk dibangga-banggakan. Bukan untuk pamer. Apa yang membanggakan dari menjadi seorang sampah masyarakat? Tidak ada. Tulisan ini saya buat sebagai reminder untuk diri saya sendiri. Kalau suatu saat saya malas, saya harus ingat bahwa saya sudah membagi cerita rutinitas saya ke banyak orang. Biar saya tahu malu kalau suatu hari melenceng dari komitmen.

Mari, para kerabat senasib sepenanggungan, jadilah tuna karya yang produktif. Yang hari-harinya tidak dihabiskan hanya dengan bermalas-malasan sambil menunggu turun hujan duit. Hasilkan sesuatu. Selesaikan hal-hal yang perlu diselesaikan. Belajar hal-hal baru. Baca-baca banyak buku. Sekalipun tuna karya, jadilah tuna karya yang berwawasan. Kalaupun hal-hal yang sekarang kita lakukan belum membuahkan hasil dan untung, tak masalah. Seperti kata teman saya, wong ki ono wektune dewe-dewe. Tidak perlu ngoyo. Semesta tahu mana yang berusaha, mana yang tidak.

Ada beberapa kutipan yang saya comot dari postingan blog fotografer dan blogger favorit saya, juga cuplikan dialog film yang saya tonton yang kemudian saya jadikan semacam motto. Mungkin kutipan-kutipan ini juga bisa memotivasi kalian.

Selamat berjuang untuk pensiun dari jabatan tuna karya!

**

"If you don't go after what you want, you'll never have it. If you don't ask, the answer is always no. If you don't step forward, you're always in the same place. Seems simple enough, but it can be hard to just let go and do it. But that's just it: let it all go and run after what you want. You'll thank yourself for it."
-Julia Trotti-



"I've met a lot of talented people over the years. How many of them made it professionally without discipline, commitment, and a really good work ethic? I can tell you. I can count it on two fingers. Zero. It's not gonna happen for you, Mason. The world is too competitive. There are too many talented people who are willing to work hard, and a butt load of morons who are untalented who are more than willing to surpass you."
-Boyhood, 2014-



"If you work really hard and you're kind, amazing things will happen."
-Conan O'Brien-

No comments:

Post a Comment