Photo by Julia Trotti |
Aku adalah kepatah-hatian yang pernah memberangus hatimu jadi abu. Sakit yang kutinggalkan tak pernah kau lupa. Ia terbingkai rapi dalam museum pribadi yang kau namai "Trauma".
Pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa semua cerita patah hati dikisahkan ulang oleh mereka yang tersakiti? Dan bukan sebaliknya? Seolah-olah mereka, si penggores luka, adalah bukan manusia. Tidak pula merasakan lara. Adakah yang pernah bertanya, sakitkah jadi yang pertama memutuskan tali bernama cinta? Sepikah jadi yang pertama memulai untuk berjalan ke arah yang berbeda?
Kenangan tentangmu ibarat foto-foto lama yang tanpa sengaja kutemukan saat aku tengah sibuk mengepak barang-barang usang. Kau yang sempat terlupa, kemudian membuatku terdiam dan tenggelam. Ah gadis polos ini. Perempuan lugu yang dulu pernah menangis karena tak pernah kubalas lagi pesannya setelah berminggu-minggu kuacuhkan tanpa alasan. Dengan sembrono kulempar potongan hati yang pernah kau beri itu tepat di depan mukamu. Bantingan pintu kosku rasa-rasanya kode yang cukup jelas untuk mengusirmu pergi dan tak pernah kembali lagi.
Kata-kata terakhirmu untukku adalah 'brengsek'. Well, aku lebih senang menyebut diriku sendiri 'bajingan'.
Kau pernah jadi ombak yang menganggapku pantai tempatmu pulang. Kubiarkan kau memeluk pesisirku sekali, dan kau selalu kembali. Seharusnya kau paham aku bukan pria yang cukup baik untuk kau titipi hati. Tak terhitung berapa kali hatimu kulukai, namun kau tetap memaksa untuk selalu datang lagi. Dan lagi. Dan lagi. Kalau begitu apa yang harus aku lakukan? Kau ibarat mainan yang datang menyerahkan diri saat aku tengah mati bosan. Sialnya kau justru menganggapku sebagai tempat penitipan hatimu yang paling aman. Kau memimpikan, menginginkan aku untuk jadi pantai terakhir yang setia memeluk erat ombakmu. Walaupun nyatanya aku bukan.
Kau pernah jadi ombak yang menganggapku pantai tempatmu pulang. Dan aku pernah jadi pantai yang tak pernah lelah mendorongmu pergi seberapapun seringnya engkau kembali.
Dan untuk pertama kalinya setelah belasan tahun kau menghilang, di sinilah aku berdiri. Seperti pecundang, diam-diam berangan-angan seandainya kau cukup sabar untuk mau memeluk pesisirku sekali lagi..
*
Pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa semua kisah patah hati selalu diakhiri dengan penyesalan si penggores lara? Akan aku coba jawab. Mungkin karena ia baru sadar kalau kata maaf bukanlah satu-satunya penawar untuk beberapa luka. Mungkin karena ia baru paham bagaimana sakitnya menyia-nyiakan kesempatan yang terlepas begitu saja di depan mata. Mungkin karena ia tak mengira pisau yang dulu pernah ia lempar tepat ke jantung hati si belahan jiwa lantas berubah jadi bumerang yang berbalik ke arahnya. Berbalik ke arahnya dan mencabik-cabik sisa-sisa hatinya jadi sejuta.
Seperti halnya kepergian yang pernah kukado rapi dan kuhadiahkan kepadamu,
yang ternyata beranak-pinak menjadi rindu di pihakku.
**
No comments:
Post a Comment