Monday, November 24, 2014

Mereka yang memilih pergi

Photo by Nishe

Bagi saya, perpisahan yang paling menyedihkan adalah perpisahan yang tak pernah melibatkan kata "Selamat tinggal", "Selamat jalan", "Sampai jumpa", dan semacamnya. Ada yang bilang "good" di kata "goodbye" itu sedikit meaningless, mengingat tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perpisahan. Saya, di lain sisi, lebih menghargai perpisahan yang benar-benar diakhiri tanda titik. Tak menyisakan koma untuk bertanya-tanya. Seberapapun menyedihkannya melihat orang yang disayang mengatakan "Selamat tinggal", akan lebih menyakitkan mengetahui orang yang pernah dekat denganmu lantas sedikit demi sedikit menjauh kemudian menghilang. Terlebih, tanpa kau tahu sebabnya mengapa mereka memutuskan demikian.

Saya sudah lama tidak memercayai ungkapan "friends for life". Teman ya teman. Tidak perlu ditambah keterangan-keterangan lain pun, bagi saya mereka sudah sangat istimewa. Tanpa mereka, saya tidak akan mungkin mampu bertahan hidup sendiri di kota asing ratusan kilometer jauhnya dari kedua orang tua saya. Mereka adalah lilin-lilin kecil yang selalu membuat saya hangat. Dari mereka saya belajar banyak sekali pelajaran hidup. Untukmu teman, saya ucapkan terimakasih yang tiada tara besarnya. Cinta saya untuk kalian mengular sampai ke bulan. Atau mungkin lebih dari itu.

Hanya saja belakangan ini saya pun mulai belajar, bahwa layaknya cinta yang tak sampai, teman pun mampu menghancurleburkan hatimu. Mereka bisa memutuskan untuk menghilang diam-diam. Memotong tali persahabatan yang ternyata masih dengan setia kamu pegang. Untuk satu dan lain hal, saya mulai lelah memertanyakan mengapa. Bisa jadi ini karma. Bisa jadi karena saya memang bukan teman yang baik untuk mereka.

Beberapa minggu yang lalu, di akhir bulan Oktober yang sendu, saya sempat mengobrol dengan seorang teman di ruang tamu kos saya. Obrolan kami tentang 'hubungan pertemanan' mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan yang agaknya sedikit hambar untuk bisa saya cerna. Dulu saya pernah dengan polosnya menganggap bahwa, seperti kasih ibu dan jasa para guru, pertemanan itu harus dilandasi dasar tanpa pamrih. Semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa alasan mengapa kami masih memutuskan untuk tetap bersama adalah karena kami masih membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan, itu kata kuncinya. Kelak ketika saya sudah tidak berkontribusi apapun untuk mereka, dan atau sebaliknya, mungkin kami akan saling melupakan pelan-pelan. Menganggap yang ditinggal sekedar teman basa-basi kalau ketemu di jalan. Seorang kenalan.

Saya adalah satu dari sekian orang yang pernah berprinsip bahwa saya akan berusaha untuk tidak menyakiti hati orang lain supaya orang tadi juga tidak menyakiti perasaan saya. Saya kurang pandai berkata-kata, tapi kalimat ini mungkin cukup mampu menjelaskan apa yang saya maksud.


Nyatanya prinsip ini kadang tidak dimengerti oleh beberapa manusia lain dan saya sama sekali tidak menyalahkan mereka. Seperti yang Kak Falafu pernah bilang, "Berharaplah dengan bijak, agar hanya kecewa atas hal-hal yang memang pantas." Dan saya menyadari bahwa selama ini saya lah yang salah. Berharap yang demikian adalah sesuatu yang bodoh. Sangat bodoh. Dan tidak ada yang lebih mengecewakan dari mengetahui bahwa kita telah berharap pada hal-hal yang keliru. Seharusnya saya paham betul akan hal itu.

Beberapa manusia yang beruntung berhasil menemukan teman yang mau dan mampu dijaga sampai akhir hidup. Saya sendiri tidak berharap banyak. Kalau pun ada, saya akan sangat berterimakasih.

*
Manusia selalu datang dan pergi, silih berganti dalam hidupmu. Untuk mereka yang memutuskan pergi, saya hanya bisa menghadiahi ucapan terima kasih dan lambaian tangan pada punggung mereka yang mulai menjauh.

Karena kalapun saya bisa menyebutkan satu hal saja yang hidup pernah coba ajarkan pada saya selama ini, saya akan memilih; melepaskan.

"...and that's  a good lesson to learn in life.

 Let go. "

**

Kutipan terakhir diambil dari film Liv & Ingmar (2012).

No comments:

Post a Comment