Photo by Tina Sosna |
Kau tahu?
Kalau mau sedikit dicerna, hubungan ini sebenarnya begitu membingungkan.
Aku tahu apa maumu dan tentu lebih dari sangat tahu apa mauku.
Hubungan ini kurang lebih memiliki irisan persamaan
di antara keduanya. Sebuah ruang kecil diantara sepetak-nyaris-penuh
perbedaan. Dan itu berarti kita punya mutual-agreement yang
sama. Sama-sama menguntungkan, sama-sama memuaskan prinsip
masing-masing. Dan hubungan ini tidak menyakiti. Sama sekali tidak. Atau
mungkin, belum.
Namun entah mengapa, kecemasan-kecemasan selalu
hadir bersama sesuatu yang belum pasti. Seperti cinta, pada misalnya.
Karena dalam cinta, semua yang kamu yakini hanyalah himpunan dari banyak
kemungkinan. Atau mungkin, ketidakmungkinan.
Memahami dan menghormati prinsipmu adalah hal yang
mudah. Aku yang sulit menyesuaikannya dengan diriku sendiri. Karena
hubungan ini menuntut kita untuk saling jatuh cinta dan patah hati di
waktu yang bersamaan. Di permulaan. Dan ini tak mudah.
Pada akhirnya, kecemasan akan kemungkinan pun
kembali. Pulang ke dalam dekapan pikir yang tak pernah tenang. Membuat
perempuan yang selalu merasa insecure ini bertanya-tanya, “Cukup berarti kah aku untuk kamu pertahankan?” Sebuah pertanyaan yang dulu aku lemparkan padamu dan kamu jawab dengan sangat bijaksana. “Aku tidak tahu. Mungkin aku harus membenahi diri lebih baik dahulu.”
Cerita ini belum berakhir. Kata ‘tamat’ belum diketik dan tirai belum ditutup. Ending
seperti apa yang akan mengubur dalam semua kemungkinan-kemungkinan itu
jelas masih jadi misteri yang tak seorang pun tahu. Baik kau maupun aku.
Aku yang lelah merutuk hanya bisa berdoa dalam
kepenatan yang jenuh bahwa sekiranya Tuhan mau jaga hatimu sampai entah
kapan. Mungkin sampai kamu lelah dijaga atau mungkin sampai aku capek
menunggu.
Maka sebelum semuanya tercetak jelas, aku ingin
belajar menyingkirkan dulu gagu dan ragu. Ketakutan akan masa yang dalam
ketidakpastiannya mungkin hadir. Hari ketika kamu mengajakku bertemu
(lagi) di tempat pertama kali kita menikmati segelas jus alpukat dan teh
manis bersama, dan lalu berkata dengan segala kebersahajaanmu bahwa
kamu memutuskan untuk memilih perempuan lain yang lebih luar biasa.
Dan aku harus tersenyum untuk kalimat itu.
*
Batas itu ada, sayang. Kita yang tak bisa
melihatnya. Dan kalaupun Ia berkehendak untuk membuat kita terus maju,
lari, dan lalu berhenti di batas itu, berdua, atau tidak berdua, maka terjadilah yang seharusnya terjadi.
No comments:
Post a Comment