Photo by Logan Cole |
Belakangan ini aku
sedang diingatkan tentang urusan jodoh lebih dari hari-hari sebelumnya.
Tentang bagaimana aku dan pria di masa depan itu bertemu, jatuh cinta,
dan lalu saling mengiringi langkah masing-masing sambil menggenapi
kekurangan satu sama lain. Indah sekali rasanya. Namun hidup tidak
melulu tentang ‘gayung bersambut’ dan ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’.
Lantas, bagaimana kalau Tuhan memanggilku duluan? Bagaimana kalau aku
tidak sempat dipertemukan dan dicintai olehmu? Bagaimana kalau aku tiada
bahkan jauh sebelum aku berhasil menunaikan misi mengembalikan tulang
rusukmu yang pernah kucuri? Bagaimana? Tak apa. Tentu semuanya akan
baik-baik saja. Karena aku yakin Tuhan paham betul bahwa kau adalah pria
yang baik. Dan seseorang yang sanggup melengkapimu lebih dari aku pasti
telah dipersiapkan :)
Jikalau hal itu terjadi (karena siapa yang tahu kapan Tuhan akan
memanggilmu, bukan?) , dan aku sebagai seseorang yang belum sempat
dicintaimu hanya diberi kesempatan semalam untuk menuliskanmu secarik
pesan, maka mungkin ini yang besok akan kau baca.
**
Hai,
Kamu mungkin tak pernah membayangkan akan dirindukan seorang gadis
yang tak kamu kenal, bahkan jauh sebelum Tuhan mengijinkan ia melihat
kamu tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Ya. Gadis seperti itu ada.
Aku orangnya. Hanya saja Tuhan belum berkenan untuk mempertemukan kita.
Sayang sekali memang. Tapi tak apa. Setidaknya kamu tahu bahwa kamu
pernah dinanti dengan sabar. Sampai pada akhirnya waktu terpaksa
mengambil alih dan porsi hidupku harus berhenti di persimpangan masa.
Bahkan jauh sebelum kamu tahu namaku siapa.
Aku ingin kamu tahu, gadis itu, aku, pernah bermimpi jauh sekali tentangmu.
Tentang bagaimana pertemuan kita terjalin menjadi simpul-simpul
cantik yang sederhana, yang menerbitkan cinta lugu yang sederhana pula.
Tentang hari-hari yang mungkin akan aku lalui denganmu beberapa tahun
mendatang, di sebuah rumah kecil, dengan hujan di halaman rumah dan
seteko teh gula batu beserta gorengan hangat kesukaanmu.
Tentang bagaimana kamu sanggup menarik kedua sisi bibirku saat aku
bersedih dengan cara-cara kecilmu yang manis. Ya, kamu bukan pelawak
memang, tapi kamu adalah penerbit senyum paling keren yang pernah aku
punya.
Tentang pemandangan pagi yang hangat dimana aku menemukanmu terbangun
di sampingku dengan rambut acak-acakan dan mata setengah mengantuk. Aku
tersenyum. Kamu tersenyum. Dan kita akan memulai hari itu dengan saling
jatuh cinta melebihi hari-hari sebelumnya.
Mimpi-mimpi ini, dulunya, sangat aku nantikan untuk terwujud.
Walaupun pada kenyataannya, Tuhan sepertinya belum sempat meniupkan kata
‘Amin’ untuk doa-doa malamku di atas. Tak apa. Aku tahu semua akan
baik-baik saja nantinya.
Ada banyak hal yang telah aku perjuangkan sebelum waktu pada akhirnya
bersimpuh pada takdir dan mempertemukan kita entah di persimpangan
jalan mana. Seperti misal, aku berusaha sekuat tenaga untuk terus
bertahan hidup sampai kita dipertemukan. Sepele ya? Iya. Tapi ini
penting. Dan walaupun aku sudah berusaha untuk terus berlari main
kejar-kejaran dengan sakit dan sehat, yang namanya maut rupa-rupanya
terlalu serius untuk diajak dolan. Ia tetap menjemputku. Pulang. Tepat pada waktunya.
Dan selama ini, sebagai perempuan, aku juga berjuang dalam hal lain.
Untukmu. Aku selalu berusaha untuk menjaga diriku agar tetap utuh.
Supaya nantinya, kalaupun kamu tak sempat memilikiku, aku akan tetap
utuh dan tak pernah dimiliki siapapun. Karena nyata aku hanya
mempersiapkan diriku untukmu. Dan sekalipun Tuhan terpaksa menjemputku
duluan, aku akan merasa cukup tenang karena tidak pernah jadi kepunyaan
pria lain yang tidak aku inginkan. Aku tetap utuh sebagai aku yang tak
sempat kau sentuh dan punyai. Aku menjaga diri dan imanku semampu yang kubisa. Sekuat yang kucoba, dan ini untukmu.
Perempuan ini pernah merasa tidak istimewa karena kamu memakan waktu
lama untuk mencari jalan pulang menujunya. Ia pernah merasa tidak
diinginkan. Ia pernah merasa buruk rupa dan minder. Tapi ia selalu
percaya, bersamamu, hey pria baik, ia akan dimuliakan dan dihargai.
Karena kamu yang penyabar, adalah pemilik pundak yang perempuan ini
selalu nanti sampai ujung usia menggerogoti. Walaupun pada akhirnya usia
benar-benar menggerogotinya, bahkan sebelum ia berhasil kamu temukan,
perempuan ini tetap percaya kamu adalah pria yang baik, sederhana, dan
penyabar. Kamu tetap jadi pria yang hebat untuknya.
Ada masanya, ketika aku muda, aku pernah membayangkan dirimu adalah
seorang pria berkacamata dengan lesung pipi yang manis, pandai bermain
drum atau gitar, dan seorang lulusan Fakultas Teknik. Haha. Konyol ya?
Ya. Tapi itulah mimpiku. Dulu. Alasannya, mungkin karena aku selalu suka
melihat pria berkacamata dan berlesung pipi. Dan satu-satunya pemusik
yang aku kagumi cuma drummer. Walaupun belakangan ini laki-laki
yang pandai memetik senar gitar juga terlihat cukup keren di mataku.
Dan, kenapa harus lulusan Teknik? Entahlah. Mungkin karena dulu aku
pernah bermimpi masuk kesana. Namun karena Tuhan belum mengijinkan, tak
apa, kalau begitu aku ingin priaku saja yang lulusan teknik. Aku toh
cukup berbahagia dijodohkan dengan budaya dan sastra.
Tapi, sekalipun kamu bukan pria berkacamata dengan lesung pipi yang
lucu, bukan seorang pemain musik, dan bukan pula lulusan fakultas teknik
dari universitas manapun, hal tersebut tidak akan pernah membuatku
berhenti untuk jatuh cinta padamu. Percayalah, seperti apapun keadaanmu
nanti, mereka akan selalu melengkapiku dengan nyata. Dan aku tidak akan
pernah meminta lebih. Karena aku akan selalu berusaha untuk berbahagia
dengan takaran hidup yang Tuhan beri. Dan kamu, adalah bentuk sempurna
dari segala doaku yang sanggup semesta amini.
Aku pernah membayangkan, kita akan punya sebuah rumah yang sederhana
dengan pekarangan yang cukup untuk ditanami berbagai macam bunga. Di
dalamnya aku akan punya ruang untuk melukis dan menulis dan kamu juga
punya ruang kerjamu sendiri. Oiya, dan kamu juga akan menghadiahiku
sebuah dapur yang menyenangkan. Kita akan masak bersama pada Minggu pagi
di sana.
Aku pernah membayangkan, kita punya tiga anak. Dua laki-laki dan satu
perempuan. Atau sebaliknya. Yang jelas, anak pertamanya harus
laki-laki. Karena aku ingin dia jadi pelindung untuk ibu dan
adik-adiknya, kelak ketika kamu jauh dari rumah.
Aku pernah membayangkan kamu akan jengkel melihatku sibuk berkutat
dengan tulisan dan gambar setengah jadiku sampai larut malam. Lalu kamu
akan ‘menculikku’ dari ruang kerja dan membopongku secara paksa untuk
tidur cepat. Ya, kamu tidak pernah suka aku tidur terlalu malam dan
minum kopi terlalu sering. Maka setiap malam, kamu akan selalu rajin
menculikku. Dan aku tak akan pernah protes karena itu :)
Aku pernah membayangkan di suatu sore yang berhujan, kita akan saling
membagi musik di halaman depan rumah. Ditemani sepiring pisang goreng
dan dua cangkir teh gula batu, kau dan aku saling diam dalam cinta yang
menghangatkan. Kita pandangi rintik-rintiknya bersama lantunan lagu
favoritmu di penghujung bulan November. Bulan yang tak lebih dan tak
kurang kucintai layaknya Januari. Lalu kamu akan menggenggam tanganku
erat dan aku akan bersandar di pundakmu lekat.
Aku pernah membayangkan semua itu akan nyata terjadi, walaupun sayangnya tidak. Tidak pernah. Atau belum. Tidak sekarang.
Tapi tak apa. Aku tahu semua akan baik-baik saja nantinya.
Pernikahan bagi sebagian orang mungkin hanya semacam selebrasi karena
telah berhasil melalui masa bertahun-tahun pacaran yang awet. Atau
seperti sebuah jalan mencari teman agar tidak mati sendirian ketika tua.
Tapi bagiku tidak. Karena menurutku, pernikahan adalah jalan untuk
bertukar kebahagiaan dalam kasih dan iman. Di mana saat kamu bersamanya,
kamu merasa didekatkan kepada Tuhan. Saling membenarkan dengan cara yang
benar. Sampai pada akhirnya kamu mampu menutup usia dengan perasaan
yang lengkap. Itu pernikahan yang aku impikan.
Namun terkadang, ada kalanya kita harus cukup bersyukur dengan porsi
yang Tuhan beri. Mengubur harapan yang mengabu dan tak ter-amini. Dan
kamu tahu sayang, sekalipun harapan-harapan itu tak menemukan kesempatan
yang sanggup ia genggam, setidaknya aku tahu, bahwa Tuhan pasti
mempersiapkan perempuan hebat yang kelak akan melengkapimu lebih dari
yang sanggup aku lakukan. Karena kamu pria yang baik. Selalu. Dan aku
bahagia karena itu :)
Terimakasih atas segala kesempatan untuk dapat memimpikan ‘aku’ dan ‘kamu’ melebur menjadi ‘kita’.
Terimakasih karena telah mengajariku bahwa cinta memang sudah
sepantasnya bukan tentang dimiliki dan memiliki, namun membahagiakan dan
dibahagiakan.
Terimakasih karena dengan mengenalmu aku diajarkan untuk tidak lalai menjumlah kebahagiaan sekecil apa pun.
Terimakasih karena telah ikhlas menerima cintaku yang kurang dari separuh,
dan tidak pernah menuntut untuk meminta utuh. Karena kamu tahu, aku
tidak akan pernah menyayangimu, lebih dari apa yang kulakukan untuk
Tuhanku.
Yang belum sempat dicintaimu dengan baik,
Aku
*
Menulis ini setelah membaca salah satu tulisan Kak Fa dan terpikir
“Bagaimana jika esok aku lebih dulu tiada dari pada priaku?”. Tidak ada
maksud apa-apa sih. Hanya ingin menulis saja. Tentu aku berharap
sungguh-sungguh dipertemukan olehnya dan tidak benar-benar dipanggil
duluan. Tapi kalaupun iya, ya sudah. Setidaknya teman, kerabat, dan kamu
yang sedang membaca ini dapat mengabarkan kepada pria baik itu, bahwa
aku pernah menunggunya dengan sabar dan setia. Walaupun pada akhirnya
Tuhan terpaksa menjemputku lebih cepat dan membuat pertemuan kami
menjadi sekedar harapan yang tak sempat.
Kepadamu, hey, hiduplah dengan baik. Dan aku akan hidup dengan baik pula.
Sampai berjumpa di masa depan!
Semoga :)
No comments:
Post a Comment