Photo by Januarain |
Pernah ada masanya aku mengenal seorang gadis cantik dengan
secarik kain sebagai penutup kepala.
Senyumnya manis.
Begitu sungkan aku untuk menyapa.
Penutup kepalanya membuatku yakin. Ah, gadis ini begitu
pandai membahagiakan Tuhannya.
Ia memegang teguh amanat yang ia pilih.
Secuil hatiku kembali dicuri.
Lepas dari senyumnya yang menawan, akhlaknya pun ternyata
menyejukkan pandang.
Siapa yang tak ingin menyunting bidadari seperti dia? Tentu
tak ada.
Namun, tahun yang menumpuk di atas pundaknya ternyata tak
jua mendewasakan pikir.
Ketangguhan imannya diuji.
Di hadapan cinta, siapalah dia? Siapalah kita?
Bercak nila menambah warna di kerudung putihnya tepat saat
bibirnya terlumat, pipinya terkecup, dan tangannya tergenggam.
Kepada ia yang tak kau tahu akan mengiringimu sampai kapan,
sepasang janji dan amanat yang telah kau beri untuk Tuhan terpaksa digadaikan.
Kepada ia yang tak kau tahu sampai kapan janjinya berlaku, kesucian
sahihmu telah kau berikan tanpa gagu dan ragu.
Gadis manis, malam ini bersama kain penutup kepalamu aku menangis.
Kain itu masih ada di sana, masih di atas kepala.
Tapi kini aku tak lagi melihat apa fungsinya.
Ia tak sanggup membentengimu. Pun kamu tak pula menghormati
tugasnya untuk melindungi suci yang seharusnya kau punyai.
Gadis manis, aku rindu kain penutup kepalamu yang dulu.
Yang janjinya tak kau palsukan dan tugasnya tak berusaha
untuk kau gagalkan.
Hei, (yang seharusnya) calon bidadari surga, kau begitu dirindukan semesta.
No comments:
Post a Comment