(Untuk yang belum pernah baca ‘Petir’ ataupun ‘Cantik Itu
Luka’ dan nggak suka banget sama yang namanya SPOILER, dianjurkan untuk berhenti di paragraf ini aja. Karena di
bawah sana, jauuuuuh di sana, mungkin saya akan akan mencantumkan satu, dua,
tiga atau banyak hal tentang isi kedua buku tersebut yang kalau dibaca sama yang
belum baca novelnya pasti kesannya saya ember banget ƪ(‾_‾)ʃ Berhubung saya nggak mau dicap gitu sama
kalian, hai penikmat tulisanku yang budiman tapi belum pernah baca novelnya, mending
kalian mundur teratur aja dan diam-diam klik kiri tanda silang yang ada di tab.
Atau kalau kalian emang pengen baca dan nggak peduli sama spoiler—atau malah nggak tau spoiler
itu apa—ya mangga. Sangat dipersilahken
kalau mau baca :)
**
Setelah sekian lama, mungkin setelah berabad-abad lamanya,
hari ini, akhirnya saya berhasil mengumpulkan niat dan tenaga untuk membuka
sampul plastik buku ke-tiga Supernova karya Dee yang berjudul ‘Petir’. Setelah
tertimbun berbulan-bulan di rak buku, masih dengan bau Gramed yang menempel dan
sampul plastik yang sama ketatnya dengan skinny
jeans anak-anak jaman sekarang, buku itu akhirnya –setelah penantian
panjang—mampu bernapas bebas! Isinya sanggup saya seruput tuntas dan di akhir
sesi, sama seperti buku-buku Dee yang lain, selalu menawarkan segelas madu yang
sama. Senyum. Ya, baca buku Dee itu bisa diibaratkan minum jamu. Pahit, nggak
ketahuan rasanya, aneh. Tapi setelah rampung dibaca, saya selalu diberi
kekuatan cukup untuk berdiri merenung di jendela, memotongi kuku dalam diam,
makan sambil bahagia, lalu bercermin dan senyum-senyum sendiri. Eits, saya
nggak gila ya. Itu memang efek samping buku Dee yang tidak pernah hilang dari
semenjak Perahu Kertas –buku karya Dee pertama yang saya baca—dan nggak
berniat untuk pudar juga setelah saya mau merambah dunia Supernova-nya.
Seperti postingan saya tentang Supernova beberapa dekade
lalu –ya, anggap saja saya sudah segitu lamanya nggak nulis yang agak seriusan—saya
dengan lantang bilang, saya kagum dengan Mbak Dewi Lestari yang satu ini. Dan memang
begitulah adanya sampai sekarang. Kepiawaiannya dalam berkata-kata, ide-idenya
yang kompleks tapi juga sederhana, juga ilmu-ilmu pengetahuan yang sengaja dia
sisipkan dan membuat bukunya nggak cuma sekedar ‘tong kosong’ selalu mampu
bikin saya ternganga di akhir. Ini buku berat yang ringan, ensiklopedi dalam
novel, teenlit dalam sci-fi. Sebagai penulis amatiran dan sangat tidak
berpengalaman, membaca tulisannya seperti meniupkan ruh baru ke dalam jiwa-jiwa
penulis malas dalam diri saya. Semangat yang dulu kendor seperti nemu mesin
jahit gress dan dapat pasokan karet kolor gaib dari negeri antah-berantah. Saya
selalu pontang-panting mengetik selepas khatam membaca bukunya. Entahlah. Agaknya
kumpulan ibu-ibu di dalam kepala saya ini memang doyan sekali kalo dikasih
sesajen bukunya Dee. Mereka tetap cerewet kalau saya habis baca satu
buku, tapi bisingnya tetep nggak pernah ngalahin euforia buku-buku Dewi
Lestari. Ibu-ibu ini. Udah ibu-ibu, masih sok milih pula.
Oiya, ngomong-ngomong soal ‘Petir’, saya jatuh cinta BANGET dengan
tokoh Elektra bahkan semenjak dia masih jadi sarjana ekonomi nganggur yang
mau-maunya ketipu brosur Sekolah Tinggi Gaib. HAHAHA. Saya merasa Elektra ini
nggak kayak pemeran utama novel yang biasanya digambarin cantik atau kaya. Dia
standar. Seeetaaandaaarrrr. Jadi rasanya lebih dekat ke pembaca (khususnya
saya. Karena saya cewek standar. Oyeah..). Saya nggak tau persis bagaimana
harus menggambarkan sosok gadis muda yang satu ini. Apakah kelewat goblok,
lugu, atau terlanjur depresi karena sebatang kara? Tapi kisah hidupnya yang
kadang jatuh-bangun-dan jatuh nggak bangun-bangun lagi itu, di tangan Dee,
mampu saya nikmati selucu nonton Warkop DKI, atau mungkin versi up-to-date nya, seperti nonton Opera Van
Java. Anak muda, ceplas-ceplos, masa bodo, lucuk! Seenggaknya sampai 2/3
bukunya lah. Karena dari 2/3 sampai ke akhir, kita udah mulai diajak mikir
berat karena ada Bong (yang itu berarti bakal nyangkut-pautin juga sampai ke
Bodhi dan seluruh konspirasi Supernova ini).
Elektra, di mata saya, adalah contoh nyata kebanyakan anak
muda zaman sekarang. Stuck. Nggak
tahu bakatnya di mana, nggak tahu besok mau jadi apa. Yang jelas, hari ini, aku
ada. Esok dan seterusnya, mari berdoa bersama agar selalu lancar jaya dan
berada dalam lindungan-Nya. Yang merasa kesinggung karena sudah yakin bakatnya
apa dan besok mau jadi apa, saya memohon maaf dari lubuk hati yang terdalam. Dan
bagi yang merasa masa depannya masih sesuram dan segelap kamar kos pas mati
lampu, mari kita lanjutkan saja berdoanya. Yang khusyuk.
Berangkat dari pemahaman bahwa saya dan Elektra itu ternyata
senasib—sama-sama malas dan terklasifikasi sebagai spesies luntang-lantung—saya
pun mulai mencintai Etra (panggilan akrabnya) dan ikut tertawa-meringis membaca
pemikiran-pemikiran spontannya yang walaupun dihadapkan dengan keadaan
segenting apa pun, ujung-ujungnya tetep ngaco. Etra ini lempeng. Lempeeeeng
banget. Dia cerewet mungkin, tapi gerutuannya cuma stop di kepala. Dan saya
nggak habis pikir untuk ukuran sarjana kok dia gaptek banget (yang setelah saya
telusuri ternyata setting waktu di ‘Petir’
itu sekitar 2001-an. Ya mana taulah ya ada Facebook. Pantes aja yang disebutin
melulu kok Friendster. Bzzzt). Untuk urusan internet dia juga agak miripan sama
saya. Anak yang dulunya kuper trus setelah kenal dunia maya langsung pengen
pencet situs mana-mana. Kenal teman dari mana aja. Malu juga kalau inget dulu,
pas kelas satu SMA (ya, saya kenal warnet pas UDAH SMA. Tertawalah Anda sepuasnya)
dan nggak tau cara buka Google. Jangan tanya lah soal Mozzila. Saya dulu
tahunya Internet Explorer. Dan warnet yang kerap saya kunjungi kecepatan
downloadnya bisa sama lamanya kayak Mbah saya pas goreng kentang. Hmm... satu
karung.
Pokoknya saya suka banget sama buku ke-tiga Supernova ini.
Mungkin karena lebih dekat ke saya. Bahasanya juga anak muda banget, ngalir,
dan nggak gitu banyak istilah-istilah alien yang saya nggak tau asal-muasalnya
darimana. Mungkin juga karena buku ini berhubungan dengan listrik dan elektronik.
Ya keinget aja gitu sama obsesi lama pengen masuk Elektro. HAHAHA. Yah, yang
walaupun kemudian secara pelan dan menyakitkan ternyata... ditolak. *hening*
Selain Etra, saya juga suka banget sama Mpret. Haha.
Filosofi namanya yang dikarang Etra yahud banget. Mirip kentut. Bukan yang
malu-malu atau gimana, tapi yang jelas bunyi, lantang, dan ada. Emang dianya
begitu sih. Dan lebih seneng lagi ternyata dia mantan anak ITB \(´▽`)/ Yeee~
Yaah, walaupun drop out-an sih. Nggak
papa lah. Sisa-sisa sono mah tetep keren mau gimana-gimana juga. Oiya, saya juga suka banget sama cinta
plantonik-nya Mpret ke Etra. Yang walaupun nggak usah digembar-gemborin ke
seluruh penjuru Bandung, tapi Mpret pasti selalu ada untuk diandalkan. Mau untuk
ngelindungin. Perhatian walaupun kelihatan luarnya acuh. Jenis-jenis rasa
sayang yang diam tapi hadir. Nyata, ada, tapi yaudahlah, cuma mereka berdua aja
yang tahu. Suka banget nih yang begini ini. Kesannya lebih dewasa. Cinta yang
diam biar bagaimanapun lebih merasuk ke rusuk daripada yang dipublikasikan
kemana-mana. Menurut saya sih. Hmm.. iya, sekalian curcol juga..
Soal kakak Etra, si Watti (ini sumpah namanya maksa banget
-___-), melihat kenyataan bahwa suaminya, si Kang Atam, kerja di Freeport
(dokter sih bukan engineer), saya jadi ngebayangin sesuatu. Besok, kalau misal
saya dapet suami yang kerjanya di begitu-begituan (maksudnye yang kayak di pertambangan
atau perminyakan gitu), saya mungkin bakal mikir dua kali ya kalau mau ikut
dibawa ke tempat kerjanya (ini ngomong-ngomong mimpinya jauh amat deh dapet
suami sesukses itu (¬_¬) Yaaah,
mimpi doang kan boleh, nyong. Mumpung gratis ini ƪ(‾_‾)ʃ) Liat aja, si Watti ini kayaknya kesepian
banget di Tembagapura. Buktinya dia nelponin + (sengaja) gangguin Etra terus.
Padahal kan (katanya) fasilitas yang disediakan Freeport buat ibu-ibu rumah
tangga nganggur di sana banyak dan lengkap. Tapi nyatanya Watti bosen. Waaah,
ini sangat bertentangan dengan mimpi saya yang pengen jadi fotografer lepas,
bebas dan liar! Ini semua nggak bisa dibiarkan! Tapi saya nggak harus
pusing juga sih sebenernya. Ge-er amat dapet yang kerja di sono (¬_¬)-σ skripsi dulu
dikelarin, woy!
Di awal-awal disebutin soal Dimas dan Reuben. Pasangan homo yang
sejak di buku ke-satu Supernova udah eksis. Kurang ngerti sama kelanjutannya
(karena emang belum dilanjutin) tapi kurang lebih bikin penasaran. Konspirasi
Supernova yang super njlimet ini masih punya jalan panjang ternyata. Kurang
lebih begitu kesimpulan(bego)nya. Sebenernya masih nggak terima kok nama salah
satunya Dimas :( Hmm, jadi begini, sepanjang saya hidup, saya punya hal-hal
kecil tertentu yang saya sukai. Seperti misal, nama bulan, warna, dan termasuk
juga nama manusia. Dari, entah kapan, saya paling suka cowok yang punya salah
satu dari tiga nama ini; Dimas, Gilang, dan Riza (yang kemudian sialnya, salah
dua dari teman-teman KKN saya ada yang punya nama persis seperti dua yang saya
sebutin di awal. Dan itu, kurang lebih, merusak citra nama-nama tersebut di
mata saya. Hah! ¬_¬). Tapi,
beneran deh, mungkin sejak saya SMA, saya suka sekali sama ketiga nama itu.
Nggak tahu alasan persisnya. Suka aja. Dan, saya juga selalu suka novel yang tokohnya
ada salah satu unsur ketiga nama tadi. Kayak misal novelnya Icha Rahmanti yang
Cintapuccino. Nggak gitu suka novelnya sih, tapi saya suka BANGET sama DIMAS
Geronimo :D Jadi ya begitulah. Setelah baca dan tahu kalau ternyata Dimas yang satu
ini homo, saya tertunduk lesu (.___.) No
offense lho ya buat komunitas LGBT mana aja. Ini pendapat pribadi kok.
Jadi, yang 2,5 lembar Ms. Word di atas itu tadi adalah sekelumit
cuap-cuap yang berhasil saya tumpahkan berdasarkan pemahaman serba ngawur
seusai membaca ‘Petir’. HAHAHA. Maap ni ye kalau udah membuang-buang waktu Anda
yang berharga. Dan bagi yang masih nganggur, nggak tau mau ngapain, atau butuh
bacaan sebelum tidur, yuk mari dilanjut aja paragraf selanjutnya yang bakal bahas
tentang novel fenomenal lain berjudul ‘Cantik Itu Luka’.
Jadi, pengarang novel ini adalah temen deket dosen tamu mata
kuliah Creative Writing di jurusan
saya. Beliau bilang, beliau adalah salah satu pembaca awal draft novel ‘Cantik
Itu Luka’. Beliau juga sangat semangat mempromosikan novel temannya ini ke
anak-anak kelas. Dan berhubung saya ini wanita yang gampang termakan godaan,
apalagi soal buku, ngacirlah saya ke Toga Mas, dan beli. Hasilnya? Nggak
mengecewakan. Isi novelnya sama mencengangkan seperti pembukaannya (yang di
mana diceritakan bahwa Dewi Ayu, pelacur jaman perang yang tersohor sangat
cantik itu bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya. Hmm, horor ye..).
Saya butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan novel yang satu ini (bener-bener
kebalikan dari buku ‘Petir’-nya Dee tadi
yang berhasil saya rampungkan kurang dari sehari). Kenapa? Ya, selain karena bukunya
tebel, saya juga lagi sibuk ngurus skripsi waktu itu ƪ(‾_‾)ʃ *suomboooooongnye*. Lagian di beberapa part ada yang agak bikin
ngantuk gara-gara bahasanya mirip buku modul Sejarah. Serius! Mungkin karena setting ceritanya pas jaman penjajahan
atau gimana, jadi ada intermezzo pembantaian Partai Komunis, serdadu Jepang, meneer-meneer Belanda, Jenderal
Sudirman, sampai pas diumumkannya kemerdekaan Indonesia. Ya, jadi begitulah
adanya. Berhubung Sejarah adalah pelajaran ketiga yang saya musuhin setelah
Fisika dan Olahraga, maka sukses molor lah saya di beberapa bagian saat
bahasan-bahasan dalam buku cetak Sejarah itu dimulai.
Novel ini, tidak lain dan tidak bukan, pantes kalau saya sebut
ajaib. Isinya kayak kita nemu tempat yang apa-apa bisa kejadian. Semua yang
aneh-aneh bisa kejadian di sana. Saya bahkan bertanya-tanya, Halimunda itu
beneran ada nggak sih? (Saya males googling, jadi kalau ada yang punya inpo,
tolong kasih tau ye ƪ(‾_‾)ʃ)
Alurnya
maju-mundur, naik-turun tapi anehnya nggak bingungin. Ibarat sinetron atau telenovela,
ada beberapa rahasia yang disembunyikan di awal, tapi pas dibuka di akhir, CETAAARRR,
musik yang membahana bersama kamera dengan zoom-in
terbaiknya langsung siap mengungkap intrik dan alasan-alasan dari semua
kejadian aneh yang dicantumkan di bab-bab awal. Oke, lebay. Tapi, emang gitu!
Sepanjang sejarah saya baca novel, minimal satu dua kali saya pasti bisa nebak
ending untuk beberapa permasalahan, tapi yang ini... *sigh* tebakan saya nggak
ada yang bener.. (╥_╥) sebagai mahasiswa sastra, saya merasa gagal.
Pertama-tama, di buku ini, saya nge-fans berat sama Dewi Ayu. Dia
emang aneh, kadang. Oke, nggak, dia sering banget anehnya, tapi intinya saya
tetep nge-fans. Dan walaupun dia pelacur, dia sebenarnya wanita yang cerdas dan
mandiri. Nah, saya suka poin yang terakhir. Biar gimana-gimana, dia itu aneh
tapi manusiawi. Kadang-kadang nggak ngerti blas
sama jalan pikirannya, tapi kemudian kamu bakal maklum. Karena memang segala
yang dia lakuin ternyata sudah dipikirkan matang-matang. Termasuk untuk tujuan apa.
Makanya waktu dia bilang dia ingin mati, tanpa bunuh diri tanpa apa, cuma tidur
saja nungguin malaikat maut, dan kemudian dia beneran mati (astaga!), dia juga
sudah merencanakan akan bangkit dari kubur suatu saat kelak. Halimunda ini
memang kadang lebih mirip negeri dongeng daripada salah satu kota di Indonesia.
Apa-apa ada.
Tokoh kedua yang saya kagumi yaitu Maya Dewi, anak ketiga dan tercantik
yang pernah dilahirkan Dewi Ayu. Ini anak adalah istri idaman lelaki pribumi
manapun saya yakin. Solehah, sabar, patuh terhadap suami, pintar mengurus
rumah, dan pandai mencari uang sendiri (dengan cara yang baik dan benar. Nggak
kayak ibunya). Kualitas A++ kalau dibanding kakak-kakak perempuannya yang lain (yang
bahkan naksir orang yang sama).
Tokoh lain yang saya kagumi, saya lupa. Mungkin ada. Tapi saya
lupa. Soalnya tokohnya banyak. Dan namanya aneh-aneh. Beneran deh. Mungkin saya
nggak bakal kaget kalau seandainya Bang Eka (penulisnya namanya Eka Kurniawan)
nyantumin nama orang semisal Cemplon, Kremun, atau Gendon. Wong yang punya jabatan Kamerad aja namanya Kliwon.
Di Halimunda, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, segala
macam hal ada. Dari seorang putri raja yang cantik jelita kemudian kawin sama
anjing, hantu-hantu komunis yang bakal ngetuk-ngetuk jendela dan baru diem kalo
dikasih makan, hantu komunis lain yang juga dateng ke rumah temen
seperjuangannya yang masih idup dan akhirnya ngobrol akrab di beranda sambil
minum kopi, ibu yang membuang mayat bayinya ke sekumpulan anjing (karena
dipikirnya repot amat kalau mau ngubur. Astaghfirullah..), orang yang bisa
ngerencanain kapan dia bangkit dari kubur (si Dewi Ayu), celana dalam
bergembok, cewek yang cantiknya kemana-mana tapi juga idiotnya kemana-mana, dan
masih banyak lagi.
Halimunda ini negeri serba ada. Tapi serba ada juga bukan berarti segalanya
indah. Yang saya tangkap malah, saking bisa-semuanya negeri ini, segala
kesemena-menaan malah kayaknya sengaja dilimpahkan Tuhan ke atas permukaannya.
Manusianya penuh nafsu dan ego. Semrawut. Jarang sekali yang tulus. Saya cuma berharap
semoga Bumi, atau lebih spesifiknya Indonesia, tidak berubah menjadi Halimunda
di kemudian hari. Mengerikan kalau iya.
Dibanding Dee, bahasa Bang Eka ini jelas lebih berani. Lebih vulgar
dan terbuka. Penggunaan kata-kata yang kasar dan biasanya tabu di novel-novel
lokal banyak bertebaran di dalamnya. Saya sendiri biasa aja waktu baca, tapi
teman saya ada yang bilang risih. Yaah, pendapat orang memang beda-beda.
Tokoh yang kecil-kecil tapi jadi kunci itu emang cucu-cucunya si
Dewi Ayu ini. Kecil-kecil nekat dan bawa malapetaka. Mereka bertiga adalah Rengganis
Si Cantik (anaknya Maya Dewi), Krisan (anaknya Adinda), dan Nurul Aini atau Ai
(anaknya Alamanda). Terutama si KRISAN. Astaga ini bujang, kecil-kecil tapi...
pzzz -____- Yang bikin saya jantungan sepanjang cerita ya ini anak. Si Krisan
ini. Bahkan sampai lembar terakhir ditutup pun saya masih ternganga-nganga gara-gara
dia. Padahal kalau bisa dibayangkan mungkin dia ganteng banget, ngalahin
bapaknya sendiri pas muda, si Kamerad Kliwon itu (secara, dia kan cucunya Dewi
Ayu), tapi ternyata kelakuan.. :|
Ya pokoknya begitulah saudara-saudari yang terhormat. Novel ini
penuh kejutan dan cerita yang kadang susah dicerna akal. Untung sekali saya
bacanya ‘Cantik Itu Luka’ dulu baru ‘Petir’. Itung-itung refreshing. Bisa
ketawa gara-gara Etra dan Mpret setelah dibuat geleng-geleng kepala sama
Krisan.
**
Belakangan ini saya jadi lebih rajin membaca daripada Twitteran.
Yaah, itung-itung mengurangi stok buku baru bersampul yang numpuk di rak. Buku
kok dibeli tok, bacanya males. Padahal waktu saya SMA, sambil makan pun saya
ladeni sambil baca. Sampai Bapak saya takut kalau saya bakal overdosis belajar karena
kemana-mana bawaannya buku (wahai Bapak, saya pun malas kalau harus bawa-bawa
LKS atau modul Matematika dan Ilmu Alam ke meja makan. Mengertilah...). Membaca memang lebih bermanfaat daripada
merindukan seseorang yang belum halal, menggunjingkan orang, ber-suudzon, dan
curhat tidak perlu di soc-med. Membaca
memang sejatinya mengasyikkan. Begitu juga dengan menulis, menggambar serta
mengedit foto. Dipikir-pikir, kemampuan menulis saya (mungkin) jadi menurun gara-gara
keseringan main Twitter. Tulisan di sana dibatasi cuma 140 karakter. Dan, kita
tidak perlu jadi cucu Einstein dulu buat ngerti kalau karakter segitu
mustahil sekali menampung banyak ide dalam sekali publish. Berbekal pendapat ngaco ala kadarnya ini, kemarin saya
berniat untuk deactivate Twitter saja. Ya, tapi kemudian urung. Jangan ditutup
deh, lumayan buat share postingan blog. Jadi, mungkin untuk sekarang dan
selama-lamanya (amin!) saya bakal jarang muncul di ranah per-Twitter-an
Indonesia.
Udahan ah. Kalau nulis beginian aja, semangat banget sampe lima
halaman. Ini bukan pake format Times New Roman, 12, margin: 3,3,4,4, spasi 2
ya. JADI LHO LIMA HALAMAN! LIMAA! Semangat skripsimu, kau sembunyikan kemana, nyooong?! KEMANAAA?!
Siluman ular, Kera Sakti, Mutan, Shakespeare, siapa pun kalian, tolong kembalikan semangat skripsikuuuh!!! Toloooong!!
~ ~ ~(/‾¸‾)/|skripsi|
No comments:
Post a Comment