Saya pikir yang membedakan buku Dee dengan buku-buku lain yang
pernah saya baca adalah bagaimana dampaknya terhadap jalan berpikir saya ketika
sedang atau setelah membaca bukunya. Membaca tulisannya, membuat saya berpikir
tentang hidup lebih banyak, lebih sering, dan lebih intens. Tulisannya
menantang saya lebih dalam untuk berpikir tentang Ketuhanan, eksistansi
manusia, dan eksistansi saya sendiri. Saya yakin setiap orang punya reaksi yang
berbeda-beda terhadap setiap buku dan pengarangnya. Namun entahlah, reaksi
seperti itu yang justru muncul tiap kali mata saya tertumbuk kata-kata di buku Dee.
Ada keintiman yang samar di antara sel-sel kelabu saya dan ide-idenya. Mungkin
itu juga yang membuat mata saya menolak terpejam sampai pukul setengah empat
dini hari hanya karena memikirkan tentang satu hal; hidup.
Sepanjang saya ada, yang bisa dihargai cukup singkat,
sekitar dua puluh tahun lebih beberapa bulan, saya belum pernah merasa
se-nerima ini terhadap kuasa-Nya. Pasrah sekali. Seolah-olah apa pun yang Ia
lakukan mungkin hanya mampu saya tanggapi dengan hembusan nafas berat dan
tameng kesabaran yang lebih tebal. Dan perasaan “nerima” yang sekonyong-konyong
hadir ini, kemudian dikukuhkan ketika semangat membaca saya tumbuh tanpa tedeng
aling-aling. Dan menuntun tangan saya untuk menarik buku ketiga yang ada di
tumpukan rak. Buku ke-tiga. Bukan pertama. Padahal buku yang ada di tumpukan
atas pun belum saya baca. Karangan Ayu Utami. Baru. Lebih gress dari buku Dee
manapun. Tapi entahlah. Tangan saya justru mengarah ke buku ke-tiga. Partikel. Lanjutan “Petir” yang sudah
saya ceritakan sebelumnya sebagai buku ‘refreshing’ seusai membaca “Cantik Itu
Luka”. Dan saya yakin, ini juga bukan kebetulan. Kenapa saya menarik buku ini, kenapa
saya malah menyeduh kopi dan bukan menarik selimut, semuanya, mereka bukan sekedar
kebetulan semata. Dan dipikir-pikir, kalau saya malah menolak untuk tetap
membuka mata dan memaksa tidur, yang ada mungkin saya bakal tindihan. Kenapa? Karena saya tahu otak
saya lagi muter sekenceng-kencengnya. Dia nggak bakal diam walaupun tubuh saya
notabene memerintah untuk istirahat. Tidak bisa. Dia memang hiperaktif kalau
malam, dan hibernasi begitu Subuh datang. Kadang saya benci sistem kerjanya,
tapi malam ini alasannya lain. Dia
diusik. Rujinya diberi pelumas top. Mesin-mesin dalam sel-sel kelabu saya
dibangunkan. Keduanya. Bukan hanya yang kanan, yang sudah sering kerja karena
hobi saya yang lebih banyak mengandalkan kemampuannya, tapi juga yang kiri.
Yang sering saya suruh tidur dan tidak usah ikut campur semenjak Matematika dan
Ilmu Alam dicoret dua kali lalu diberi Tipe-X dalam sejarah dunia sastra. Dadah
babay untuk logika.
Ini bukan sekali-dua kali saya dibiarkan telentang di kasur,
menatap langit-langit, dan diam, kalut, mikir, semua gara-gara buku Dee. Perlu
diulang kembali, ini bukan sekali-dua kali. Saya pikir, kebutuhan membaca yang
sekedar membaca sekarang sudah bukan jamannya lagi. Saya, harus
menarik sesuatu dari apa yang saya baca. Apa pun. Sekalipun itu cuma pertanyaan,
bukan jawaban apalagi konklusi. Yang jelas, saya harus dapat sesuatu. Apa pun yang
membuat saya tidak rugi karena sudah meluangkan waktu berjam-jam untuk membaca
buku tersebut. Mungkin kinerja otak saya agak lambat ya, seharusnya saya sudah
bisa mikir dari dulu kalau baca buku itu ya harus diresapi isinya. Tapi
nyatanya saya memang agak terlambat untuk paham. Kemarin, dan kemarin
kemarinnya lagi, bagi saya, membaca itu hiburan. Kalau ada pelajarannya ya
ambil, kalau kosong ya lupakan. Tapi untuk kali ini, saya menerapkan aturan
lain.
Entah berasal dari bagian buku yang mana, atau dari
part apa, namun 1/3 “Partikel” ini mengajarkan saya akan satu hal. Pasrah. (Ini
saya baru baca sepertiga dan pemikiran-pemikiran penuh cabang sudah muncul tak
terkendali. Saya bisa jamin setelah baca 2/3 atau seluruhnya, saya pasti bakal
nulis lagi tentang sesuatu. Entah apa.)
Seseorang memang benar adanya telah mengajari saya prinsip
dasar pasrah yang bisa dilakukan seorang manusia (biasanya) ambisius seperti
saya. Itu pun karena saya yang minta diajari. Bukan karena dia yang merasa sok-paham
sudah jadi orang paling pasrah sedunia dan kemudian belagak menggurui. Tapi bahkan
cara pembelajaran kami di sini pun sifatnya tertutup-satu-pihak. Yang intinya, pihak
lain tidak tahu kalau pihak satunya sedang melakukan “pembelajaran”. Saya
meniru. Saya menelaah sikap manusia yang satu ini dan kemudian menganalisisnya.
Sampai kemudian pada tahap saya cukup berani untuk mengaplikasikan apa yang
sudah saya analisis dan mulai praktek sungguhan di dunia nyata. Saya coba untuk
bersikap nerima senerima-nerimanya terhadap hidup. Dan dari ini, saya mendapat
pembelajaran lain. Mengontrol diri.
Manusia itu kadang lucu. Sistem defense mereka juga. Secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya
manusia tidak ada yang bisa bergantung kepada siapa pun. Kita semua sendiri. Benar-benar
sendirian saja. Sayangnya hidup ini kelewat luas. Luas sekali. Dan secara
naluri kita butuh teman, pasangan, atau apa pun itu untuk mengarunginya. Namun
jauh di luar itu semua, sebenarnya kita ini terprogram cuma untuk satu hal.
Saling menyakiti. Itu saja.
Mungkin karena sudah capek mikir yang rumit-rumit, saya
sekarang cenderung memilih masa bodoh dan tertutup. People change. Itu fakta. Dan dari itu juga perubahan saya
berbasis. Saya ingin hidup di luar lingkaran saja. Menonton mereka yang saling
menyakiti sambil makan popcorn dengan tenang. Memilih satu-dua teman untuk (cukup)
dipercaya, dan ikut kumpul-kumpul tertawa dengan sisanya. Selepas itu? Pulang. Kembali
lagi ke diri saya sendiri dan dunianya yang tidak perlu banyak orang tahu.
Kadang sebagian orang tidak cukup mengerti bahwa pengaruh
kata-kata itu besar adanya. Ia sanggup menyakiti manusia lebih parah dari
parang manapun, dan membahagiakan manusia lain lebih lebih dari diberi lotere
berhadiah apa saja. Semua, hanya dengan kata-kata. Dan bahayanya, setiap manusia yang hidup dan bernafas,
memegang senjata ampuh ini sendiri-sendiri di mulutnya. Atau di tangannya. Dan
tak ada yang peduli akan betapa tajam senjata mereka kalau tidak dipilih secara
hati-hati. Namun, beberapa orang memang masih belum cukup pandai untuk
menyadari kalau setiap menit pun mereka bawa granat. Dan parahnya, masih saja
ada yang suka lempar-lempar granat semaunya, baik sengaja ataupun tidak. Seolah-olah
perasaan semua manusia itu terbuat dari batu atau lempeng baja yang sama. Tidak
apa-apa kalau dinyiyiri, dicaci, atau dipermainkan sesuka hati.
Oh, manusia. Adakah makhluk yang lebih kejam dari kita?
Namun kemudian saya memilih kembali. Belajar pasrah (atau
lebih tepatnya ‘masa bodoh’) dan mengontrol diri. Mendaur ulang emosi yang
ingin dituliskan di situs jejaring sosial mana pun dan kemudian menelannya
bulat-bulat. Sendiri. Biar apa yang saya rasa cuma saya dan Tuhan saja yang tahu.
Kehadiran sosok ketiga, keempat, dan kelima malah kadang memperunyam masalah.
Nggak tahu apa-apa lalu asal tuding. Itulah manusia. Selain kejam, mereka pun
acap kali sok tahu dan tukang komentar tidak perlu. Saya sekarang memilih untuk
jadi manusia baru saja di dunia maya. Nggak usah terlalu jujur. Toh siapa yang
peduli kalau kamu sedang patah hati atau ingin bunuh diri? Jatuh hati atau
diselingkuhi? Empati cuma bertahan satu sampai seminggu, setelahnya mungkin
kamu akan dinilai tukang nyampah dan drama
queen. Ya itu manusia. Satu sisi
bisa kasihan, sisi lainnya gampang bosenan.
Sekarang kalau manusia-manusia itu berniat untuk saling
bacok-bacokan dengan senjata di mulut dan tangan masing-masing, ya monggo. Saya cuma bisa senyum dan kasih
jalan. Hidup ini sudah memikul beban pencarian yang terlalu berat. Nggak
usahlah ditambah dengan masalah lain yang saya sendiri pun tak paham ujung
pangkalnya untuk dikomentari. Satu-satunya hal yang paling bikin saya jengkel
adalah diabaikan. Dan bahkan sekarang saya pun sudah pandai acuh ketika
diabaikan. Ya, abaikan saja. Saya bakal senyum lagi dan kasih jalan lalu
pulang.
Saya tahu, sikap ini sebenarnya bukan pasrah, hmm, mungkin
pasrah di beberapa persen untuk minoritas, namun lebih tepat dibilang masa
bodoh untuk mayoritasnya. Ya sudahlah. Sebut apa saja yang kalian mau, yang terlintas
pertama di pikiran, apa pun. Saya juga nggak ambil pusing.
Hidup ini, ia, mengalir ke satu arah. Dan saya belum tahu ke
arah mana pencarian saya nanti bermuara. Selagi saya mencari yang saya sendiri
tidak tahu apa, maka saya akan ikut mengalir saja bersamanya. Nggak usah
terlalu ngoyo, tapi tetap ada target. Manusia-manusia lain itu juga sedang
dalam pencariannya masing-masing. Sama-sama bingungnya seperti saya. Tapi
pengalaman mengajarkan saya untuk tidak terlalu larut dengan segala label
euforia ala homo sapiens, pun mempercayai
mereka terlalu dalam. Ya, makhluk jenis ini senang sekali menaruh label pada
apa pun dan kemudian bertingkah sebagai pemilik. Hah, betapa lucunya. Mereka
juga mudah perhatian dan lalu abai. Cinta kemudian benci. Senang sekali salah
paham dan sok benar. Kacang yang lupa kulit. Tapi ya sudahlah. Manusia memang
joker terhebat sepanjang jaman. Kalau mereka ngelawak, tertawakan saja. Itu
cukup mengapresiasi. Dan mereka senang dianggap lucu. Begitulah.
**
Ini ocehan random banget di Subuh hari. Boleh pilih abaikan
kok. Saya mau lanjut baca buku lagi kalau begitu. Selamat hari Senin.
No comments:
Post a Comment