Photo by Tina Sosna |
Belakangan ini saya sedang kepikiran untuk bisa
menggandakan diri. Kalau bisa men-triple-kuartet-kan sekalian.
Mengapa?
Entahlah. Saya rasa-rasanya kekurangan waktu dan tubuh dan
tangan dan kaki. Dua puluh empat jam itu kurang cukup. Saya ingin melakukan
banyak hal di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan. Contohnya saja
sekarang. Saya ingin menulis sekaligus nyetrika baju sambil pergi ke
supermarket terdekat untuk membeli persediaan telur dan kopi, sekalian mungkin
sambil tiduran membaca novel. Oiya, tidak lupa membaca buku panduan KKN
bersampul biru yang belum pernah saya jamah itu dan memulai acara menyampuli
semua buku yang ada di lemari dengan sampul plastik.
Banyak ya? Memang.
Sayangnya, saya hanya punya dua tangan, dua kaki, satu
tubuh, dan satu ‘saya’. Untuk hal-hal semacam ini rasa-rasanya saya kok iri ya
dengan amoeba dan planaria.
Ya Tuhan, ampuni makhluk-Mu yang kurang bersyukur ini.
Sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih menulis diantara
sejubel kegiatan lain yang ingin saya lakukan siang ini, kebetulan saya baru
saja pulang makan siang dari warung rames sebelah kos. Menunya ada banyak. Saya
memilih sayur nangka dan sayur terong beserta telur dadar karena kocek di
kantong ternyata tidak banyak. Yah, penderitaan anak kos di akhir bulan.
Saya pulang dengan perut kenyang sambil menenteng satu
plastik es susu coklat dan nasi bungkus untuk nanti malam. Kenapa belinya
siang? Karena saya tahu, malam minggu seperti ini di dekat kos jarang ada
warung makan murah yang buka. Dan saya juga cukup rendah hati untuk sadar kalau
nanti malam tidak akan ada yang mau mengajak saya keluar malam mingguan. Jadi,
lebih baik sedia payung sebelum badai. Saya sedang bosan makan mie instan
malam-malam. Kemarin itu sudah malam kesekian perut saya diisi mie. Mengenaskan
memang.
Ngomong-ngomong tentang sayur terong, saya jadi ingat Ibu. Kemarin
waktu Bapak dan Ibu pulang kampung, beliau belum sempat masak apapun yang bisa
saya makan. Ibu agaknya kecewa harus pulang ke Kalimantan lagi sebelum sempat
memasakkan saya apa-apa. Dulu, saya bilang, saya ingin sekali dimasakkan sayur
sop yang ada ceker ayamnya. Siang ini, tiba-tiba saya ingin sekali makan sayur
terong bikinan Ibu.
Mungkin, nanti malam saya akan menelepon Ibu dan bilang saya
ingin dimasakkan sayur terong. Jadi Ibu bisa langsung memasakkannya dan
mengirimkan satu rantang via SMS. Haha.
Waktu mengetik tulisan ini saya sedang duduk membelakangi
jendela dan menghadap pintu kamar yang tertutup. Dari sini saya bisa melihat
dengan jelas betapa kamar saya sama randomnya dengan yang punya.
Ada banyak sekali baju di gantungan dan di kasur (astaga!).
Lalu kasur yang tidak ada seprainya, dan lemari buku yang bahkan lebih besar
dari lemari baju. Agaknya soal lemari-lemarian ini sudah cukup menjelaskan
mengapa saya bisa SANGAT mengantuk kalau di toko pakaian dan melek
selebar-lebarnya begitu masuk Gramedia. Ya, untuk saya, buku selama-lamanya
berada di kasta yang lebih tinggi dari baju dan segala macam kroni-kroninya. Fashion?
Wassalam.
Oiya, sebelum makan saya tersadar kalau saklar lampu di
kamar saya bentuknya mirip muka koala minus mulut. Entahlah. Terlihat seperti
itu saja di mata saya. Kapan-kapan saya akan menggambarkan ia mulut supaya terlihat
lebih unyu.
Hari ini saya berhasil merampungkan novel setebal
(kira-kira) 5 cm karangan Tere Liye. Judulnya ‘Kau, Aku dan Sepucuk Angpau
Merah’. Isinya mengisahkan tentang Borno, bujang berhati paling lurus sepanjang
Kapuas, dan Mei, gadis peranakan Cina yang selalu terlihat sendu nan menawan. Setting-nya ada di Pontianak, namun
deskripsinya malah mengingatkan tanah kelahiran saya di Banjarmasin. Apalagi soal
sepit yang kerap dicantumkan di dalam novel ini. Saya langsung ingat kelotok
dan pasar terapung.
Ngomong-ngomong tentang tokoh laki-lakinya, si Borno, saya
begitu kagum dengan bujang yang satu ini. Agaknya deskripsi laki-laki idaman
saya yang sudah saya cantumkan di tulisan ‘Tentang Saya’ itu sangat mirip
dengan si Borno. Pria baik yang tidak
neko-neko. Sederhana saja. Tapi manis. Itulah dia.
Aduhai, Bang. Andaikan saja kau itu nyata. Rela aku terbang
ke Kalimantan lagi. Mari bertemu dan aku akan naik sepit nomor urut tiga belasmu
tiap pukul tujuh lebih lima belas menit.
Beruntung nian Mei dicintai lelaki seperti Abang Borno. Kalau
Tuhan punya stok kopian makhluk Adam-Nya yang mirip-mirip seperti si Borno ini,
bolehlah aku mengantri untuk dapat satu. Sudi aku menunggu walau dapat nomer
antri ke-seratus.
Sambil browsing,
tadi saya iseng mencari tahu tentang The Hunger Games. Dulu, saya pikir ini
semacam nama game di Facebook. Atau kalau tidak, nama game anyaran yang sedang
ramai dimainkan. Tidak pernah sedikitpun saya terpikir kalau The Hunger Games
itu judul buku apalagi film. Ya, sumpah serapahilah saya yang kuno ini.
Setelah tahu kalau The Hunger Games itu ternyata novel yang
sudah diangkat jadi film layar lebar, saya pun kembali memprediksi, mereka-reka,
mungkin buku ini ada kaitannya dengan bencana kelaparan atau semacam permainan
yang menuntut kita untuk tidak makan setahun. Ternyata, tebakan saya meleset
sejauh 360 derajat. 180 itu masih kurang.
Mungkin saya sudah bisa disamaratakan dengan makhluk gunung
yang tinggal di gua. Apa guna ini modem dan laptop. Info kecil pun aku buta.
Saya masih punya banyak sekali novel yang belum terbaca tapi
besoknya saya sudah beli buku yang baru lagi. Pemborosan memang. Tapi pasti
saya baca kok. Entah kapan.
Ingin sekali saya usul ke pemerintah, Gramed itu sebaiknya
tutup saja kalau saya lagi tidak punya uang. Bikin bangkrut. Alasan mengapa
saya jadi deposit seperti ini karena ulah siapa lagi kalau bukan toko buku. Ah,
bagaimana tempat yang sering kuanggap surga itu bisa berubah jadi momok yang
menakutkan. Ya, setidaknya untuk dompet saya.
Terbersit keinginan untuk mulai nulis novel lagi. Ah,
mungkin besok. Besok kalau saya sudah punya pacar (Astaga, kalau begitu,
selamat menunggu sampai batas waktu yang infinit).
Bagi Anda yang sedari tadi bertanya, menerka, kasak kusuk
ingin angkat tangan nyeletuk, “Maksud tulisan ini apa ya?” mohon segera scroll ke atas dan baca lagi judulnya.
Kalau begitu, sebelum dan sesudah, saya mohon pamit.
Wassalam.
Selamat berakhir pekan.
No comments:
Post a Comment