Photo by Klaudia Rataj |
Semenjak “berbaikan” dengan diri sendiri, sekarang otak saya
seperti dibanjiri banyak sekali ide. Mengalir seperti air. Bertebaran seperti
serbuk-serbuk pelangi.
Saya senang karena setidaknya saya mulai terbuka dengan apa
yang diri saya coba bisikkan. Saya berusaha memahami “mereka-mereka” yang
cerewet di dalam kepala saya. Mereka senang bicara dan ingin pembicaraan mereka
saya tuangkan ke dalam bahasa manusia. Makhluk-makhluk di kepala saya ini baru
sedikit diumbar saja sudah narsisnya bukan buatan. Hmmm..
*
Sering sekali saya berpikir, kelewat rakuskah saya karena menyenangi
banyak hal?
Saya senang menulis, menggambar, memotret, mengedit foto,
dan kalau boleh ditambahkan (tapi sudah sangat jarang saya lakukan) saya
juga suka menari.
Saya tidak bilang saya ahli dalam segalanya, tapi setidaknya
saya menyukai mereka. Saya menyenangi hal-hal itu.
Saya menganggap hobi-hobi itu sebagai “anak” saya yang harus
saya rawat dan perhatikan. Sedikit saja saya lengah, mungkin mereka akan kabur
dan akan sangat sulit untuk membawa mereka pulang.
Anak pertama saya adalah menggambar. Saya mengenalnya jauh
sebelum saya berteman dengan huruf dan angka. Kami berkawan akrab dan ia sering
menemani saya ketika orang tua saya pergi. Dulu saya paling sering menggambar
di dinding, di lantai dan di buku-buku milik Bapak. Bapak tidak pernah marah. Bapak
bahkan mengajari saya menggambar lebih banyak. Dan gambaran Bapak 1000x lebih
bagus dari gambar saya.
Lalu yang kedua, menulis. Saya tahu dia, tentu, setelah saya
diajarkan bagaimana caranya merangkai huruf-huruf itu membentuk kata, dan kata
menjadi kalimat. Melakukannya terasa menyenangkan. Saya bisa mengarang apapun
dan menciptakan tokoh sesuka saya. Rasanya seperti bermain Barbie-Barbie-an
tanpa Barbie. Waktu kecil, bagian favorit saya adalah ketika mengarang nama. Sekarang,
berubah jadi mengarang judul.
Yang ketiga sebenarnya menari. Saya senang menari
tradisional seperti tari-tarian Jawa. Tapi hasrat terpendam saya sebenarnya ingin
bisa belajar tari Bali. Sayangnya (kalau boleh dibilang sayang), saya sekarang
berjilbab dan tidak bisa sembarang menari lagi. Saya ingin ikut UKM tari di
kampus, tapi ujung-ujungnya pasti saya disuruh lepas jilbab, jadi lebih baik
diurungkan saja sebelum terlambat. Kangen rasanya sama menari. Tapi saya tidak
bisa berbuat apa-apa untuk mengobati rasa kangen ini :(
Yang terakhir dan paling gres adalah fotografi. Saya tidak
yakin kenapa saya bisa jatuh cinta dengan hobi yang satu ini. Apa karena tren?
Kalau iya, saya seharusnya sudah ngebet fota-foto sejak liat teman saya
petantang-petenteng bawa kamera-kamera keren awal masuk kuliah dulu. Jadi, saya
rasa pesona fotografi tertangkap alam bawah sadar saya tanpa sengaja. Murni karena
‘ingin’. Memainkan Photoshop itu sama seperti mewarnai di gambar yang sudah
berwarna. Haha. Aneh ya? Maksud saya semacam re-touch begitu. Jadi ya tugasnya hanya untuk mempercantik. Atau justru
memperjelek kalau hasilnya gagal. Yang jelas, saya cinta warna. Mungkin itu
juga yang membuat saya senang mengedit foto.
Untuk kegiatan memotret, sebenarnya saya tidak yakin apakah
saya sudah bisa disebut fotografer atau belum. Pasalnya, memotret dengan kamera
beneran saja saya belum pernah. Mengotak-atik tombolnya juga belum. Bukan
karena tidak ingin, tapi karena memang tidak punya. Dan memotret dengan kamera
orang itu rasanya tidak leluasa. Takut rusak. Makanya saya cuma bisa bangga
jeprat-jepret dengan kamera HP. Sungguh tidak kece.
Tapi ya sudahlah. Katanya keindahan sebuah foto itu tidak
dipengaruhi oleh alat apa yang dipakai untuk memotret, jadi saya ambil
kesimpulan saja bahwa saya yang masih amatiran sok ini juga bisa disebut
fotografer. Haha. Maksa ya? Ben.
“Anak-anak” saya ini perlu dikasih perhatian secara
kontinyu. Jangan pernah bosan untuk mengajak mereka bermain sesekali dan jangan
pula pilih kasih dengan salah satunya. Selama ini saya berusaha untuk bisa
menerapkan sistem “harus bisa mengajak mereka main setidaknya seminggu sekali”.
Pokoknya jangan sampai terlantar. Sayangnya, terkadang saya terlalu asyik
bermain dengan salah satu dari mereka dan lalu melupakan yang lain.
Anak emas saya untuk beberapa bulan belakangan ini adalah
menulis dan fotografi. Mungkin karena tugas kuliah saya yang mengharuskan saya
untuk banyak menulis dan karena fotografi adalah anak saya yang baru, jadi saya
harus sering-sering mengajaknya main supaya cepat betah tinggal di rumah.
Tapi baru-baru ini saya sudah mulai berbaikan lagi dengan
menggambar. Kemarin saya beli sketchbook baru dan berharap bisa mengajaknya
bermain lebih sering. Semoga.
*
Mempunyai banyak kegemaran itu menyenangkan. Anggap saja kamu
jadi punya banyak jalan untuk melarikan diri ketika stress. Atau untuk
mengobati rasa sepimu ketika waktu mulai memuaikan wujudnya.
Saya (masih) tidak bisa membedakan yang mana kegemaran dan yang
mana talenta. Tapi saya yakin semua orang pasti punya keduanya.
Saya sebenarnya masih takut dianggap ambisius karena
terlihat begitu ‘rakus’ ingin bisa semua hal. Jujur, sebenarnya saya tidak berniat
untuk punya ‘anak’ sebanyak itu. Mengurus mereka pun susah. Saya orangnya
gampang bosan. Tapi saya berusaha untuk tidak cepat ‘berpaling’ untuk urusan
yang satu ini. Mereka ini berguna suatu saat nanti, saya percaya itu.
Mudah untuk mengabaikan ‘anak-anak’ itu dengan alasan, “Ah,
kerjaan saya jelek. Nggak sebagus si anu, nggak sekeren si ini”, sementara
mereka sebenarnya sedang mengetuk, ingin dibiarkan masuk. Saya membiarkan
mereka semua masuk dan jadi ‘anak-anak’ saya karena mereka asyik. Karena saya
suka mereka.
Dan karena perbandingan tidak akan membawa saya kemana-mana.
Kecuali kalau itu studi banding.
Percayalah, kalau tulisan pun ada tempatnya masing-masing, “anak”
kita yang lain juga pasti punya fans fanatik di suatu tempat. Membanding-bandingkan
tidak pernah ada gunanya kalau cuma dijadikan alasan untuk berhenti berusaha
dan malah menelantarkan “anak-anak” kita yang seharusnya bisa tumbuh dan
berkembang.
Seperti halnya manusia, mereka butuh diperhatikan dan
dicintai.
Jangan biarkan anak-anakmu jadi rendah diri dan pada
akhirnya memilih minggat.
Jelek dan cantik itu relatif.
Dan percayalah, kreativitas itu ada di mana-mana.
*
Kalau kamu yakin Tuhan itu Maha Adil, maka Dia nggak akan bikin makhluk-Nya yang lain punya bakat dan kamu tidak.
Semua orang tentu punya. Tergantung apakah orang itu mau 'mengakui' bakatnya atau tidak. Mencintainya dengan pantas, atau tidak. Menjaganya dengan benar, atau tidak.
Tapi kalau kamu tidak percaya kalau Tuhan itu Maha Adil, kamu boleh abaikan paragraf saya di atas.
No comments:
Post a Comment