Photo by Taya Iv |
Kalindra Almira,
Aku tahu mungkin surat ini terlalu lancang
mampir di tanganmu untuk kau baca. Aku tahu aku bukan penulis surat yang baik.
Bukan lelaki yang pandai merangkai kata-kata untuk gadisnya. Tapi apa lagi yang bisa
aku lakukan kalau setiap malam hatiku terus-menerus meronta karena terlalu sempit
menampung apa yang dia rasa? Aku hanya laki-laki lemah yang
terlalu pengecut untuk sadar bahwa terkadang aku bisa dikalahkan perasaan
daripada logika yang selama ini aku junjung. Aku kalah, Kalindra. Aku kalah.
Kalaupun kau tak cukup sudi untuk memandang pecundang seperti aku, maka ijinkan
loser yang tidak ada apa-apanya ini
untuk menuliskan tentang hal yang beberapa hari ini kerap mengganggu tidurnya.
Ijinkan aku bercerita tentang gadis yang selama ini kerap mengaburkan
konsentrasiku ketika jam pelajaran berlangsung. Sekalipun aku hanya bisa membayangkannya.
Membayangkanmu…
Terkadang aku terjaga hingga larut malam,
Kalindra. Memikirkan tentang perasaan ‘terlalu lancang’-ku yang kian hari kian
membingungkan. Mengapa harus berakhir di kamu? Kenapa harus wajahmu yang selalu
mengganggu acara belajarku? Kenapa harus perasaan cemburu padamu yang selalu
berhasil membuat mood-ku menjadi buruk sepanjang hari? Dan ketika akhirnya aku berhasil
memetik sebuah kesimpulan, aku baru sadar ternyata tidak pernah ada alasan eksak
mengapa semua hal di atas selalu berakhir di kamu. Sama seperti caraku
mencintaimu, Kalindra. Mencintaimu bukan hal yang butuh alasan. Bukan berarti alasan
itu tidak penting untuk disebutkan. Tapi karena alasan untuk mencintaimu itu
menjadi terlalu banyak ketika harus dijabarkan. Maka entah mengapa aku menjadi bersahabat
dengan Trigonometri ketika sadar bahwa rasa cintaku padamu ternyata sama persis
seperti sudut tan 90°. Tidak terhingga. Sulit untuk didefinisikan.
Banyak yang bilang padaku bahwa hakikat
seorang lelaki ketika berurusan dengan cinta hanya harus percaya pada waktu dan
Tuhan. Begitu juga aku. Hujan selalu mengantarkan segenggam kesimpulan yang
sama padaku di penghujung subuh. Bisikan yang sama yang selalu aku dengar.
Tentang waktu. Tentang musim yang akan mengantarkanku pada saat dimana suatu
waktu aku pasti bisa menyentuhmu. Dan juga Tentang Tuhan. Tentang takdir-Nya
yang berjudul jodoh. Tentang apakah kemungkinan namaku dan namaku memang
dipasangkan di dalam buku-Nya atau tidak.
Dan jika tidak, bolehkah aku menghapusnya
dan menggantinya dengan namamu?
Banyak keinginan yang aku punya seandainya
waktu, musim, dan Tuhan itu benar-benar akan mengantarkanku pada masa dimana
aku bisa merengkuhmu secara nyata. Bukan sekedar angan. Bukan sekedar mimpi.
Bukan sekedar harapan kosong yang bisa kutanggapi dengan kata ‘Ya sudahlah’. Aku
punya banyak sekali mimpi tentangmu, Kalindra. Aku nyaris selalu memimpikanmu.
Aku ingin berjalan berdua denganmu di
setapak yang sunyi ketika pagi masih basah saat aku tua nanti. Aku ingin kamu
yang menyambutku ketika aku pulang. Aku ingin melihat kamu yang tersenyum
padaku ketika aku kelelahan setelah kerja. Aku ingin kamu yang merajuk manja
padaku karena ingin liburan ke Bali. Aku ingin kamu yang melotot marah padaku
karena aku sering pulang malam karena rapat. Aku ingin kamu yang menenangkan
aku saat aku banyak masalah. Aku ingin kamu yang menjagaku ketika aku sakit.
Aku ingin kamu yang melahirkan anak-anakku kelak. Aku ingin kamu yang selalu
menganggapku ganteng ketika aku tak lagi muda. Aku ingin kamu sebagai tempatku
pulang. Tapi tahukah kamu bahwa aku pernah bermimpi sebanyak itu?
Kamu tak tahu.
Aku lelaki, Kalindra. Dan pada hakikatnya
aku yang harus mencari wanita yang mau aku ajak menjadi tempat untuk memulai
segalanya. Berbagi apapun. Aku bujang yang harus mencari gadisnya. Gadisnya
yang tak akan pernah berubah melihat bujangnya yang tak akan terlihat seperti
bujang lagi berpuluh-puluh tahun yang akan datang. Tapi bagaimana aku bisa mencari
gadisku kalau aku sudah tersesat di matamu?
Karena kalau ada gadis yang bisa membuatku
gila hanya karena menatap matanya, aku yakin itu kamu Kalindra. Bukan gadis
manapun yang pernah aku kenal.
Pernah ada yang bilang padaku bahwa
berlutut adalah bentuk penghormatan tertinggi seorang lelaki ke wanitanya.
Pernah kau hitung berapa kali aku berlutut di hadapanmu? Tentu saja tidak. Aku sering
berlutut, Kalindra. Tapi kamu tak pernah sadar. Waktu aku mengambilkan bukumu
yang jatuh. Waktu aku mengikatkan tali sepatumu. Waktu aku mengambilkanmu
bunga. Waktu aku memungut pensilmu. Sadarkah kamu kalau aku selalu berlutut?
Merendahkan diriku sendiri di mata gadis yang paling aku sayangi?
Kamu tak pernah sadar..
Aku selalu berpura-pura tak membutuhkanmu.
Aku selalu membohongi diriku sendiri bahwa kamu bukan gadisku. Tapi bagaimana
bisa aku terus membual lagi kalau di setiap mimpi yang aku tahu kau selalu
hadir sebagai istriku? Bagaimana bisa aku membual lagi kalau cuma tanganmu yang
sanggup menyatu dengan tanganku ketika aku menggenggammu di jalan sore itu?
Kamu adalah kepingan hidupku yang hilang,
Kalindra. Puzzle yang selama ini aku cari. Alasan mengapa aku harus selalu
datang tepat waktu untuk berjumpa dengan matahari pagi. Kamu ukiran yang
terpahat di kepalaku. Kamu rima yang terselip diantara ribuan bait puisi.
Satu-satunya teori yang aku kenal selama aku hidup adalah; ‘aku butuh kamu’ bukan
‘energi tidak dapat dimusnahkan’.
Kau selalu bilang kau tak secantik
gadis-gadis yang kerap muncul di iklan pemutih. artis-artis yang sering
wira-wiri di layar kaca. Fitur apapun yang melekat di tubuh mereka selalu membuatmu
iri dan rendah diri. Gadis-gadis dengan perut rata dan kaki jenjang itu. Wajah-wajah
yang selalu mulus nyaris tanpa cela itu. Kau bahkan meragukan apakah mereka
pernah jerawatan atau tidak. Tapi tahukan kamu, Kalindra? Gadis-gadis di TV itu
bukan apa-apa ketika berdiri di sebelahmu. Mungkin tidak semua lelaki akan
memandangmu cantik. Tapi percayalah, di mataku kau bahkan terlihat lebih
istimewa dari mereka.
Aku cinta kamu yang sederhana, Kalindra.
Yang tak pernah berusaha untuk terlihat paling ‘bersinar’. Yang selalu berkedip
lembut di kejauhan malam pukul duabelas. Cahayamu tak pernah membuatku silau.
Cahayamu tak pernah membuat mataku sakit. Kamu selalu berkelip redup. Jauh
lebih lembut dari semua bintang yang pernah aku lihat. Tapi justru karena
itulah aku mencintaimu. Karena kau berpijar sederhana. Karena pijaranmu tak
pernah menyakiti mataku. Karena binar kecilmu selalu membuatku tersesat. Jauh
ke dalam ruang rindu yang tak pernah aku tau ujungnya.
Aku pernah berandai-andai menjadi laki-laki
itu, Kalindra. laki-laki yang akan menghabiskan seumur hidupnya untuk
menjagamu. Betapa bahagianya laki-laki itu. Betapa bahagianya dia karena
berhasil merebut satu-satunya mimpi yang pernah tumbuh menggila di dalam otak
kecilku. Aku pernah berandai-andai menjadi dia. Laki-laki beruntung itu. Laki-laki yang setiap pagi akan selalu tersenyum bahagia karena hal pertama
yang akan dia lihat ketika terbangun adalah wajahmu yang masih jatuh terlelap.
Terbingkai beberapa helai rambutmu yang nakal. Sementara tanganmu memeluknya
erat. Seolah kau takut laki-laki itu pergi.
Aku mencintaimu dengan sederhana sekali,
Kalindra. Dengan radar yang nyaris tak terdeteksi. Dengan polos. Dengan
ungkapan tak terucap yang selalu terbawa angin bulan November. Aku mencintaimu
dalam diamku. Dalam semua jejak sepatuku ketika aku berjalan di depan kelasmu.
Dalam semua putik bunga yang bermekaran di kepalaku ketika mataku menangkap
siluet senyummu saat jam istirahat pukul 1 Kamis kemarin.
Aku mencintaimu dengan isyarat yang jauh
lebih tersamar dari apapun. Terikat sederhana di tiap arteri yang berdenyut
lembut di pergelangan tanganku. Sesederhana pertemuan kita. Sesederhana setiap
mimpi yang aku renda. Sesederhana diamku. Sesederhana senyummu.
Kalaupun waktu, musim, dan Tuhan tak
mengijinkanku untuk menyentuhmu kelak, Kalindra. Ijinkan seluruh jiwaku berkata
bahwa aku pernah mencintai bidadari kecil itu dengan caraku yang lugu.
Ijinkan aku menyimpan sekeping mimpiku yang
tersisa.
Mimpi tentang kita.
Tentang hari saat aku menemukan waktu,
musim dan dunia menjadi lebih bersahabat dari hari manapun selama aku hidup.
Bukan karena aku kaya raya. Bukan karena tempat yang aku impikan terlampau
indah untuk dibayangkan.
Tapi karena aku berhasil menemukan rumah
persinggahan terakhirku dengan aman. Rumah mungil untuk hatiku yang lelah.
Tempat pulangku.
Tempat dimana hanya ada aku dan kamu.
Aku disampingmu.
… dan kamu disampingku.
No comments:
Post a Comment