Malam ini, setelah sekian lama, saya melahap makan malam saya sendirian. Tanpa iring-iringan musik,
tanpa menonton, bahkan tanpa menyalakan laptop sekalipun. Yang saya lakukan
hanya terus dan terus menerus nyerocos sambil mengetik... di dalam kepala.
Dan ketika saya menulis tulisan ini, tak ada satupun bunyi
yang saya ijinkan terlantun selain desing kipas laptop dan bunyi konstan
tak-tik-tak-tik keyboard yang terhantam jemari saya yang sedang semangat-semangatnya
jadi babu si otak. Tak merasa tersinggung didikte sekumpulan sel abu-abu yang
bahkan tak bisa ia raba.
Sebelum makan malam, saya berhasil menamatkan buku pertama
serial heksalogi Supernova karangan Dee. Sebelum makan malam dan sesudah menamatkan
buku Supernova pula saya luangkan sedikit waktu untuk berbaring telentang di
atas kasur, sambil berpikir.
Seketika saya tersadar, betapa ramainya isi otak saya.
Seperti ada sekelompok ibu-ibu arisan sedang menggosip di
dalamnya. Tak pernah berhenti bicara. Saya sendiri saja kewalahan mengikuti
topiknya yang selalu berpindah dari satu hal ke hal lain. Kadang berhubungan,
kadang jauh sekali tak ada sangkut-pautnya.
Sudah lama sekali jari-jari saya tidak dibiarkan jadi jongos
murah hati oleh otak saya sendiri. Sama lamanya dengan saya yang sudah entah
sekian tahun menulis tanpa mendengarkan apa yang diri saya diktekan. Pantas,
rasanya menulis pun sekarang terasa hambar. Tak ada lagi seninya. Terasa komersil.
Dulu, saya bisa begitu senang menulis tanpa harus takut si
ini akan berkata jelek, si anu akan memuji tulisan saya. Tak pernah. Tak ada
tekanan, tak ada tedeng aling-aling. Saya menulis semata-mata karena ingin. Karena saya
punya sesuatu yang ingin disampaikan. Tak peduli siapa yang baca. Tak sungkan
mengetik apa saja.
Sekarang, rasanya saya bahkan takut untuk menghadapi lembar
kertas elektronik di laptop saya ini. Selain untuk keperluan mengerjakan tugas
dan mengisi blog Bahasa Inggris saya (yang semakin lama semakin saya yakini terlihat
sangat bodoh karena isinya cuma ‘sampah’), lembar putih ini jarang sekali saya
jamah untuk menulis.
Lalu apa hubungannya curhatan saya tentang dunia tulis-menulis
ini dengan novel karangan Dee?
Oh, tentu ada.
Beberapa minggu lalu, salah satu dosen kelas Menulis Kreatif
saya bertanya “Adakah penulis yang tulisannya berhasil mengubah hidupmu?” dan saya
menjawab “Tidak”. Waktu itu saya pikir, rasanya terlalu hiperbolis untuk mengklaim
seseorang bisa punya dampak sebegitu besar kepada orang lain, apalagi dalam
taraf “mengubah hidup seseorang”, hanya karena tulisan mereka, terlebih dalam
bentuk novel. Buku fiksi. Tak lebih dari kompilasi khayalan si penulis yang
berhasil terangkum dalam wujud ribuan huruf.
Well, seandainya
pertanyaan itu terlontar saat ini, sekarang, saya akan dengan lantang berkata, “Ya.
Ada.”
Dan tanpa perlu pikir panjang nama Dee akan saya ucapkan
satu detik sebelum dosen saya bertanya “Siapa?”
Sebelumnya, jauh-jauh hari sebelum saya membaca Supernova,
saya sudah dengar banyak bagaimana orang-orang begitu kerap menyelipkan judul
ini dalam diskusi-diskusi panjang tentang buku-buku sastra. Tentang bagaimana ia
begitu ‘menginfeksi’, begitu indah sekaligus pelik, fiktif namun non-fiktif.
Saya yang pada dasarnya terkadang terlalu bebal untuk
mengikuti ‘mainstream’ dan malah sibuk menghaburkan uang untuk membeli
novel-novel picisan tentang cinta, sekarang merasa begitu terkutuk karena tak
pernah menyempatkan diri untuk bahkan membaca referensi tentang buku ini.
Ya. Terkutuklah saya yang terkadang terlalu gengsi untuk
mengikuti mainstream.
Saya sudah pernah baca buku-buku Dee sebelumnya dan mengakui
betul bahwa ia telah berhasil membuat saya jatuh bertekuk lutut semenjak membaca
kalimat pertamanya. Dee mahir melahirkan untaian kata yang sederhana tapi pas. Tidak
berlebih. Terkadang nyiyir dan menyindir. Tapi cerdas.
Namun, untuk menggabungkan kesederhanaan dengan sains...
rasanya saya baru baca buku semacam ini ketika menjamah Supernova.
Awalnya saya pikir ‘Ah, buku macam apa ini? Novel? Atau
ensiklopedi?’ dan tanpa pikir ulang ingin sekali langsung menutupnya dan lanjut
Twitter-an saja. Namun, ada semacam dorongan kecil bahwa ‘hei, kamu harus
menamatkannya’ datang dari kepala saya, dan rujukan itu pun tanpa disangka
berbuah manis di akhir. Melahirkan potret saya yang tengah melongo antara
takjub dan bingung setelah berhasil merampungkan Supernova dan menutup rapi
sampulnya.
Buku macam apa ini?
Saya bahkan kebingungan untuk menjabarkan jawabnya.
Disini kompleksitas dan kesederhanaan berjalan beriringan. Saling
bergandeng tangan dan melengkapi satu sama lain. Ilmu eksak dan cerita fiktif
bermain kejar-kejaran berdua. Banyak ambiguitas yang hadir, pertanyaan retorik,
kalimat-kalimat yang butuh dibaca dua kali baru mengerti, dan cerita cinta yang
menyakitkan sekaligus manis secara manusiawi.
Menurut saya, apa yang menarik dari novel ini adalah karena
isinya paling manusia dibanding novel-novel picisan yang pernah saya baca.
Bahasanya berani. Pertanyaannya tak sungkan. Ia membicarakan
tentang konsep-konsep teologi dan ilmu eksak dalam satu frame. Begitu juga
tentang cinta. Tidakkah itu menakjubkan?
Buku ini punya bahasa yang cerdas tapi tidak sok. Tahu kan
kalau ada penulis yang cuma ingin sok terlihat pintar dengan menuliskan
istilah-istilah yang bahkan tak ia mengerti? Supernova tidak begitu. Di satu
sisi, terkadang, ia terdengar menggurui. Tapi kalau dituduh menggurui, ia juga
tidak sepenuhnya begitu. Terkadang, ia terdengar seperti pesimis yang doyan
mengkritisi macam-macam, tapi di lain paragraf, ia bahkan terdengar lebih
bersyukur dari tulisan-tulisan lain. Kemungkinan-kemungkinan
yang lahir di buku ini begitu kompleks. Namun, kompleksitas yang tertuang disini
justru berasal dari hal-hal paling sederhana yang mungkin karena saking
simpelnya jadi terabaikan untuk dinalar, seperti eksistensi kita sebagai
manusia, dan menanyakan pertanyaan yang sebenarnya paling mendasar namun
terkadang tabu untuk dipertanyakan, seperti tentang Tuhan.
Saya selalu cinta akan tulisan yang terekam dalam kalimat-kalimat
sederhana tapi manis. Simpel tapi tegas. Dan saya jatuh pada poin itu SETIAP
membaca tulisan Dee. Selalu.
Buku ini berhasil menyadarkan saya akan betapa pentingnya
mendengarkan diri sendiri. Menghargai apa yang otak kamu bicarakan. Mendengarkan
celotehnya. Dan bersikap jujur pada hatimu.
Saya tidak tahu dapat pemikiran ini darimana, tapi inilah
yang berhasil saya tangkap setelah selesai membaca Supernova. Mungkin ada lebih
dari jutaan pesan yang otak saya berhasil tangkap dan endapkan di sela-sela
selnya, tapi cuma ini yang berhasil daya ingat saya terjemahkan dalam bahasa
manusia yang sanggup terbaca manusia lain.
Well, saya
benar-benar menyesal karena membaca tulisan sebagus ini dari pinjaman seorang
teman yang membelinya di pasar buku bajakan. Ya, Supernova yang baru saja saya
tamatkan ini buku bajakan yang teman saya beli beberapa bulan lalu. Miris.
Sebenarnya saya segan membeli (dan membaca) buku-buku
bajakan mengingat saya tahu betul bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang. Sama
sekali bukan. Tiap penulis yang berhasil menerbitkan tulisannya wajib ‘dibalas’
dengan harga yang setimpal, yaitu dengan membeli buku aslinya.
Karena siapapun
yang pernah menulis, tahu melahirkan (apalagi menerbitkan) sebuah
buku itu tidak mudah.
Lain kali, ketika saya telah berhasil mengisi kantong saya
dengan kocek yang cukup, saya akan bertamasya ke toko buku dan membeli semua
buku serial Supernova yang sudah terbit untuk saya jadikan koleksi pribadi.
Mengingat buku pertamanya saja sanggup ‘menginfeksi’
sebegini parah, saya bertanya-tanya, mau dibuat gila seperti apa lagi ketika
saya berhasil menamatkan buku keduanya, dan seterusnya?
*
Ini hanya pemikiran tambahan yang merangkak keluar dari gua
persembunyiannya sesaat setelah saya melakukan perenungan sambil menatap
langit-langit kamar.
Oke, setelah saya membaca karangan Dee, saya berhasil
menyimpulkan bahwa setiap penulis pada dasarnya memiliki gayanya
sendiri-sendiri. Indah tidak nya ketika dibaca, itu pembaca yang menentukan.
Namun, satu hal yang pasti; tiap tulisan punya fans-nya masing-masing.
Anak SMA yang sedang gencar-gencarnya dibombardir dengan
cerita-cerita indah khas teenlit, akan menganggap novel Mira W itu tua dan
membosankan, sementara novel chicklit itu terlalu dewasa dan rasanya nggak pas
dengan dunia mereka. Para anak-anak kuliahan mungkin bisa berpikiran lain,
begitu pula dengan yang sudah kerja, berkeluarga, kritikus sastra, dan
sebagainya.
Maka pada intinya tiap tulisan punya nafasnya
sendiri-sendiri, punya tempatnya masing-masing.
Seperti halnya manusia yang tidak bisa jadi apapun (jujurlah,
kita tidak mungkin kan jadi Spiderman merangkap wartawan?), tulisan pun tidak
bisa menyenangkan setiap lapisan manusia. Ia bisa jadi primadona di satu
lapisan, dan dianggap kampungan di lapisan yang lain.
Nah, hal ini yang kena
banget di saya.
Saya, selama ini, selalu ingin tulisan saya disenangi siapa
saja, digandrungi kalangan manapun. Dangkal ya? Memang. Ujung-ujungnya saya pun
tidak punya gaya menulis yang tetap. Selalu terpengaruh sana-sini. Di satu
waktu saya ingin tulisan saya terlihat imajinatif seperti Rowling, di sisi lain
juga terbaca sesederhana Hirata. Lalu setelah membaca Madre-nya Dee, saya ingin
menulis topik yang simpel-simpel saja, keesokan hari entah penulis mana lagi
yang ingin saya ‘jiplak’ gaya berbahasanya.
Sebenarnya, apa sih tujuan saya menulis? Saya kok jadi
bertanya-tanya gini.
Dalam sebuah siklus, menjiplak bisa dibilang tahap awal pembelajaran
dimana seseorang diharapkan nantinya bisa mencipta sesuatu yang baru. Dengan meramu
apa-apa yang telah ia dapat dari tahap menjiplak tadi dicampur dengan
keorisinilan yang dia punya. Saya merasa berputar-putar di tahap yang sama
selama belasan tahun saya menulis dan tidak menemukan secercah cahaya sama
sekali akan dimana pintu keluarnya. Saya, terus dan terus saja menjiplak. Di titik
ini, saya merasa lelah. Tidak. Saya baru sadar kalau saya lelah.
Saya rasa inilah mengapa saya tidak pernah puas dengan
tulisan saya sendiri dan selalu mencacinya seperti jerawat yang tiba-tiba
nongol di wajah. Ini juga mungkin alasan mengapa saya tidak berani lagi untuk menulis
dengan jujur. Tanpa embel-embel takut dicaci atau dipuji orang lain. Terlalu banyak
tuntutan. Takut dikritik dan dicap mengkritisi.
Sekarang, saya sedang belajar menghargai tulisan-tulisan
saya. Mungkin dulu ia takut terbaca ‘jujur’ karena saya terlalu galak. Saya terlalu
keras dengan mereka. Kalau mereka tidak keluar bagus, lebih baik tak usah ada. Tak
usah merengek-rengek untuk minta diketik apalagi di-publish di blog. Mungkin,
jauh di pojok-pojok kepala saya, mereka menangis ketakutan, meringkuk tak mau
keluar. Jadilah mereka habis tertelan ego saya yang kelewat komersil ‘kalau
tidak keren, saya nggak mau nulis’.
Menarik ide-ide jujur yang ketakutan itu tak mudah. Tapi
setidaknya saya mulai mencoba. Saya akan berusaha mendengarkan mereka yang senang
berbicara di kepala saya. Dan lihat, sekarang kepala saya penuh oleh
orang-orang mengobrol (lagi). Tidak sunyi sepert biasanya. Untuk kali ini, saya
jujur. Dan tulisan tentang orang-orang mengobrol ini bukan sekedar metafora. Karena
saya bisa mendengarnya. Sekarang.
Tiap tulisan punya penggemarnya masing-masing. Dan biarpun
tulisan saya masih sangat jauh dari kualitas ‘cukup bagus’, setidaknya saya
tahu, entah di belahan bumi mana, pasti ada satu orang yang akan jatuh hati
pada gaya berbahasa saya.
Dan, maaf kalau tulisan di paragraf atas ini terbaca begitu
sombong di mata Anda. Saya hanya sedang berusaha menyuntikkan rasa PD di
tulisan-tulisan saya yang masih balita. Masih butuh banyak belajar.
*
Mungkin saya akan banyak menulis di blog ini. Baru kali ini
saya merasakan, betapa nikmatnya bisa menulis dalam Bahasa Indonesia.