Friday, March 23, 2012

Waktu

Photo by Mandy Faith

Di sela suara-suara tak ‘kasat’ telinga yang bisa kudengar.

Di antara gerak mikro jarum jam yang menjembatani satu detik ke detik berikutnya

Aku melihatmu.

Lagi. 

Sosok yang selama ini dengan pandainya disembunyikan waktu.

Aku seperti dibawa ke masa dimana kita berdua duduk dalam kekosongan suara sore itu. Ketika kau pada akhirnya memelukku lembut.

Dan pergi.

Menyerahkan dirimu pada waktu.

Menggadaikan cintamu pada masa.

Tak cukup banyak yang bisa kuingat dari sosokmu saat itu. Yang kutahu kita sama-sama muda. Kita sama-sama belum mengerti apa-apa tentang dunia.

Kita masih jadi penggembira bumi. Kita belum boleh ‘bermain’ di panggungnya.

Itu adalah satu dari dua kata-katamu yang paling kuingat.

Yang satu lagi adalah ketika kau pada akhirnya mengaku bahwa kita berbeda. Kau bilang, kau adalah pria-ku yang datang dari masa depan.

*

Sketsa 1: Randu.


Pada suatu waktu aku pernah bepikir bahwa mungkin kita ditakdirkan untuk tidak pernah saling berteman.

Dari semua mata pelajaran yang ada, Randu paling senang Matematika, aku Bahasa Indonesia.

Randu senang sepak bola. Aku bahkan mengantuk menonton pertandingannya.

Aku suka warna merah jambu. Randu suka biru.

Aku lebih senang pergi ke pantai. Randu bilang gunung lebih menarik.

Randu jenius musik. Aku buta notasi.

Aku pandai menggambar. Randu bahkan tak sanggup membedakan yang mana fuschia dan yang mana magenta.

Kami begitu berbeda. Nyaris di semua hal.

Aku cenderung menganggapnya urakan dan patut dijauhi karena ia begitu abstrak. Aku penyuka ketenangan, dan ia selalu bergerak seperti angin. Aku benci segala tingkah pongahnya yang menganggap kalau dia cowok paling keren satu sekolah.

Kami tidak saling mengenal memang. Tapi untuk mengabaikan eksistansinya terkadang mustahil mengingat namanya yang rajin tertabur di setiap pojokan sekolah.

Aku terbiasa menganggap Randu ‘orang asing’.

Sebelum pada akhirnya tiba saat-saat di mana aku bisa melihat sosok berbeda darinya.

Ia, lelaki yang mencintai gerimis.

*

Aku lebih menyukai hujan sebenarnya.

Yang deras. Yang diiringi gemuruh-gemuruh kecil. Namun tak berangin.

Lebih lengkap lagi kalau sambil duduk di beranda, berteman secangkir teh atau kopi hangat dan sepiring gorengan panas. Oiya, dan tak lupa juga: buku.

Namun Randu berbeda.

Ia mencintai gerimis dan segala hal remeh-temehnya.

Baginya, gerimis tak perlu menderas untuk membuatnya jatuh cinta. Tiap butiran kecilnya adalah cinta itu sendiri.

Aku kerap sekali melihatnya melamun di perpustakaan. Spot favoritnya adalah bangku-bangku di balik rak buku yang dinding sampingnya adalah sebuah jendela besar.

Sialnya, itu juga tempat favoritku.

Bedanya, Randu lebih senang melamun dan tidur disana. Sedangkan aku membaca.

Walaupun kami duduk berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan selapis tipis sekat dari kayu, kami tidak pernah bertegur sapa selama ini.

Ia selalu sibuk dengan lamunannya dan musiknya (ia selalu mendengarkan musik ketika melamun di tempat itu) dan aku dengan bukuku.

Maka saat itu, di suatu hari yang mendung pada penghujung bulan November, aku tidak pernah memimpikan ada suatu masa bahwa kami, Randu dan aku, pada akhirnya akan terjebak bersama gerimis, Dee dan sebuah percakapan paling absurd yang pernah kulakukan.

Hari itu langit mendung sejak pagi. Suasana temaram di perpustakaan jelas tidak bisa terelakkan mengingat lampu juga sedang padam. Aku beranjak menuju deretan rak ketiga dari pintu dan mengambil sebuah buku bersampul warna hijau yang belum sempat selesai kubaca kemarin. Dee: Perahu Kertas.

Randu sudah duduk di bangkunya seperti biasa. Ber-headset dan memandang jauh keluar jendela.

Kami berpandangan sejenak ketika ia menyadari aku datang. Setelahnya ia kembali cuek dan melihat keluar jendela.

Aku jarang melihat Randu terjaga di perpustakaan. Biasanya ia tertidur pulas atau sedang menangkupkan kepalanya ke meja dan melamun ketika aku membaca. Namun hari ini ia terjaga. Dan ini membuatku sedikit canggung mengingat ia adalah orang yang paling ingin aku jauhi dan kami sekarang tengah berhadapan-hadapan tanpa suara.

“Nggak takut matanya sakit?”

“Eh?” Aku mendongak dan mendapatinya tengah memandangku.

Kalian boleh membayangkan aku blushing atau apa, karena sepertinya memang iya.

Dan aku malu karena itu.

“Gelap lho di sini. Nggak baik buat baca.”

Aku melongo lagi. Sumpah, aku ingin sekali menampar diriku sendiri karena bertindak aneh sekarang. Aku bukan cewek-cewek yang biasa mengidolakan dia, dan aku akan sangat benci kalo dia berpikir aku salah satu dari ‘mereka’.

“Tapi kalo mau baca juga nggak papa sih. Terserah aja,” dia berujar lagi.

“Eh, iya. Makasih.” Aku mengangguk sopan.

Dia mengangguk balik. Tersenyum.

Untuk satu dan lain hal sekarang aku paham mengapa ia begitu ‘sombong’ akan tampangnya. Dia memang pantas sih untuk itu...

Randu kembali sibuk memandang keluar jendela dan aku sekarang jadi bingung apakah harus membaca lagi atau tidak.

Tiba-tiba gerimis turun perlahan dan aku nyaris melompat dari kursi begitu mendengar Randu tiba-tiba berseru.

“Yaaaaay, gerimis!!!!”

Mukanya gembira sekali.

“Lo tau nggak? Gue suka banget sama gerimis. Gue cinta sama dia,” ujar Randu. Matanya menerawang jauh sekali menembus butir-butir mungil air gerimis yang mulai menderas.

“Kenapa?” Aku memberanikan diri bertanya.

“Lo pernah nyadar nggak sih kalo lo jarang ngerasain gerimis? Mayoritas yang ada, gerimis cuma bertahan 10 detik terus berubah jadi hujan. Mungkin karena itu hujan jadi lebih dicintai daripada gerimis. Karena ia bertahan lebih lama...”

“Aku suka hujan.”

“Tuh kan..”

“Tapi aku suka bukan karena frekuensi dia turun lebih lama.”

“Trus?”

“Ya, karena dia hujan.”

Randu terkekeh.

“Kenapa? Kamu benci hujan?” tanyaku.

Randu menggeleng. “Nggak. Gue juga suka hujan. Tapi cinta pertama gue tetep gerimis.”

“Seneng banget ya sama gerimis?”

“Gue cinta.”

Giliran aku yang terkekeh.

“Aneh ya?” katanya

“Yah... dikit.”

Kami sama-sama tertawa.

“Lagi baca apa?” Randu melongok kebalik sekat kayu yang menghalangi jarak pandangnya akan buku yang aku bawa.

“Perahu Kertas. Dee.”

“Ah, gue baru aja selese baca kemaren. Keren.”

“Jangan cerita ya! Aku baru baca sampe tengah-tengah nih,” ancamku.

“Sante. Gue aja nggak inget ending-nya gimana. Hahaha.”

“Lah? Kok bisa tau kalo novelnya keren?”

“Soalnya gue ngerasa kalo gue mirip Keenan. Cuma bedanya gue gantengan dikit dari dia. Hehe.”

Aku mencibir. “Emang kamu jago ngelukis kayak Keenan? Aku juga suka ngegambar lho.”

“Oh, nggak. Kalo yang soal jago ngelukis itu beda. Gue idiot kalo udah urusan warna sama ngelukis. Satu-satunya gambar gue yang paling bagus cuma pas SD. Pas jaman-jaman gambar paling keren tuh yang gunungnya segitiga terus ada matahari lagi senyum di tengahnya...”

“...trus kalo gambar burung-burung kamu cuma bentuk huruf M aja di langit. Ditambahin tanda strip di bawahnya?”

“Iya iya, bener banget! Trus ntar padi-padi di sawahnya bentuknya V semua...”

“...jalannya lurus banget. Ujungnya kalo nggak dari tengah gunung, dari pinggirnya.”

“Lo kayak gitu juga dulu?”

“Iya. Kayaknya seluruh anak-anak Indonesia diajarinnya gitu deh kalo urusan gambar gunung.”

“Haha, iya kali ya? Paling tinggi dapet berapa dulu?”

“8.5”

“Gue menang!! Gue dapet 9!”

“Kok bisa?”

“Soalnya gue ngegambar gunungnya pake penggaris! Hahaha.”

“Cuma gitu doang? Aneh.”

“Yee, bilang aja sirik.”

Aku mendelik marah dan tawa Randu kembali pecah. Memburai bersama derasnya hujan...

Aku batal membaca kelanjutan Perahu Kertas sore itu dan menghabiskan waktu kunjung di perpustakaan dengan mengobrol macam-macam bersama Randu. Dari mulai bagaimana Kugy dan Keenan, dua tokoh utama di novel Perahu Kertas, yang bisa bersama walaupun begitu berbeda, berkurangnya stok kartun yang oke di hari minggu pagi, dan kenyataan bahwa Nyam-Nyam sekarang jarang dikenal anak kecil. Aku dan Randu sama-sama suka Nyam-Nyam.

Kami tetap asik ‘terasing’ di pojokan, sampai pada akhirnya ibu-ibu perpustakaan datang menegur kami karena perpustakaan sebentar lagi akan tutup. Dan lagipula, kami lebih banyak mengobrol dan tertawa daripada membaca yang notabene adalah alasan mengapa kami seharusnya ada di sini. Jadi, pantaslah kalau beliau jengkel.

Kami berhenti di depan pintu perpustakaan dan baru sadar kalau hujan mulai mereda.

“Asiiik, bisa pulang nih.” Randu menyelempangkan tasnya dengan girang.

“Sendiri aja?”

“Iya. Kenapa? Mau gue boncengin?” godanya.

Aku merona. “Ih, nggaklah. Cuma tanya.”

“Ooh..”

“Mmm.. yaudah deh. Duluan ya?”

“Oke,” Randu melambai. “Eh, bentar bentar!”

Aku berbalik.

“Nama lo siapa? Gue Randu.”

Bodoh. Siapa di sekolah ini yang tidak tau kamu?

“Ndaru. Aku Ndaru.”

Dan saat itu aku baru sadar kalau nama kami bahkan tersusun dari lima huruf yang sama.



 [...to be continued.]


The Next Chapter: Sketsa 2: Snowflake in the Summer




5 comments:

  1. Replies
    1. makasih arum :')
      aih, jadi tersipu. nggak nyangka bakal dibaca.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. suatu saat pasti banyak yang baca....
      keep writing, tapi aku yakin dirimu masih seneng nulis. Di posting dong, kalo ada tulisan...
      Oh, ya, udah baca potingan baruku? yang aku sempet minta puisi sama kamu itu, tapi gak jadi, hehe

      Delete
  2. belum. belum.
    kapan-kapan kalau udah beli pulsa modem tak baca :)

    ReplyDelete