Saturday, March 3, 2012

1st love

Photo by Nirrimi

Malam ini saya teringat.

Tentang sebuah memori tua jaman sekolah dasar.

Di mana bangku-bangkunya bercerita.

Tentang saya..

..dan seorang teman laki-laki yang dulu pernah mencuri sepenggal hati saya yang masih ranum.

Kisahnya lucu. Nyaris tak tersisa sebenarnya. Saya tak ingat semua detail. Saya hanya ingat saya pernah ‘dipuja’. Pernah membuat iri teman-teman perempuan saya.

Berbeda dengan saya yang sekarang, dulu, saya adalah gadis cilik yang ‘lumayan’ tertata. Rambut saya panjang dan lurus. Sewarna jelaga. Dengan sebuah bando manis berwarna hijau. Dan tak pernah lupa bedakan.

Setiap mengingat itu, saya merasa malu. Haha. Betapa menyimpangnya jalan saya tumbuh. Sekarang saya bahkan tak ubahnya begundal. Mencuci muka saja dengan sabun mandi.

Saya ingat sekali. Anak laki-laki itu sangat nakal. Kami tak pernah berada di sisi yang sama. Kami tak ubahnya kutub utara dan selatan. Kami selalu bermusuhan. Tak pernah punya kesamaan. Kecuali satu.

Kami sama-sama suka menggambar. Dia dan saya, selalu mendapat nilai terbaik dalam pelajaran melukis.

Dia adalah anak laki-laki yang paling tampan satu kelas. Semua teman-teman perempuan saya menyukainya. Meskipun mereka tak pernah bilang, tapi saya tahu.

Tapi anak laki-laki itu tak ubahnya lem super untuk saya. Dia selalu membuntuti saya pergi. Ke kantin, saat olahraga, istirahat, bahkan di kelas.

Alasannya sangat kampungan. Dia hanya ingin membuat saya marah.

Dan dia selalu berhasil. Saya selalu marah. Lalu dia tertawa. Terbahak-bahak. Puas. Ending-nya saya harus mengejar-ngejar anak laki-laki itu keliling sekolah untuk memberinya pelajaran. Sayang, dia tak pernah kapok.

Kami pernah berkelahi. Betulan. Saya melemparnya dengan penghapus papan tulis dari kayu dan dia nyaris meninju saya telak. Saya menangis. Saya pulang sekolah lebih dulu. Namun setelah itu, dia berubah. Dia masih sering menggoda saya. Tentu saja. Di mana pun. Tapi dia tidak pernah sekalipun membuat saya menangis lagi. Sama sekali.

Saya ingat sekali, hari itu, beberapa minggu sebelum tanggal 17 Agustus, ada pertandingan sepak bola antar kampung. Saya, jujur, sangat malas untuk datang menonton. Apalah guna melihat 22 orang memperebutkan satu bola? Lebih baik saya tidur.

Namun apa daya, kakak sepupu saya berhasil menggeret saya keluar dari “cangkang” saya yang nyaman. Mau tidak mau, sambil menggerundel, saya berangkat.

Dia di sana. Anak laki-laki itu. Saya melihatnya dari tempat duduk paling atas. Dia ada di bawah sana. Mustahil dia bisa menemukan saya diantara begitu banyak orang. Tapi saya bisa memandanginya sesuka hati dari sini. Benar-benar sesuka hati.

Sore itu, untuk pertama kalinya, pikiran kecil saya terbang mengembara. Tak mengindahkan pertandingan bola yang sekarang sudah memasuki entah babak keberapa. Saya melamun. Memikirkan anak laki-laki itu.

Kenapa setiap dia membuat saya kesal, saya justru senang? Kenapa? Kenapa kalau dia tidak mengganggu saya di sekolah, rasanya ada yang hilang? Kenapa? Kenapa kalau saya sedang curi-curi pandang melihat dia sibuk menggambar, jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya? Kenapa? Kenapa kalau dia tidak masuk sekolah, rasanya saya bosan? Kenapa? Kenapa begitu? Apa alasannya? Apa yang salah?

Pikiran kecil saya terus menggelembung dan menggelembung. Terus menerus bertanya. Tapi tak pernah menemukan jawaban.

Lalu saya lihat, dia melambai. Ya, ke sini. Ke tribun paling atas. Entah melambai untuk siapa.

Saya tengak-tengok. Bingung. Dan dia masih melambai. Terus. Sambil tersenyum lebar sekali.

Saya mengangkat tangan. Pelan. Malu-malu. Ragu. Lalu melambai singkat. Hanya sedetik mungkin. Tapi saya tahu, dia melihatnya.

Karena setelah itu dia tertawa, melambai lagi dengan kedua tangannnya, penuh semangat, lalu berlari-lari entah ke mana.

Mata kecil saya membulat, dalam diam, bibir saya mengukir senyum...

Beberapa hari berikutnya, saya membeli buku tulis berwarna merah. Ceritanya ingin saya buat diari walaupun sepertinya gagal total karena isinya hanya tentang dia, drama Taiwan kesukaan saya, dan beberapa selipan soal PR. ‘Diari’ itu berakhir di perapian ketika ibu saya diam-diam membacanya dan bertanya, ‘Kenapa kamu menulis banyak sekali tentang dia?’

Saya tidak bisa menjawab. Keesokan harinya, buku itu sudah teronggok bisu menjadi serpihan abu-abu.

Berbekal dialog sinetron jaman lawas, pemeran lelakinya pernah bilang, dia akan melakukan apa saja untuk wanita yang paling dicintainya. Seberat apapun itu.

Saya, berbekal dialog lawas itu, beberapa hari kemudian, mengujinya tanpa sadar.

Hari Minggu itu, kelas kami ada kegiatan ‘mendaki gunung’ bersama. Sebenarnya yang kami daki bukan gunung betulan. Mungkin semacam bukit. Tapi lebih besar. Untuk ukuran anak SD, bukit sebesar itu sudah tergolong sulit. Sebenarnya saya malas ikut. Capek. Tapi karena saya tahu ia ikut juga, saya mendaftar.

Kami sudah kelas 6 SD waktu itu.

Di tengah perjalanan, tepat sekali di tengah-tengah ‘gunung’, guru kami menyarankan untuk lebih baik melepas sepatu supaya lebih nyaman berjalan. Kebetulan memang banyak sekali batu. Sekali kami tergelincir, matilah.

Siang menggelinding cepat. Matahari mulai terasa terik. Saya melihat dia berjalan tepat di depan saya. Sedang menenteng sepatu  sambil sama-sama kesusahan berjalan. Iseng, saya memanggilnya. Dia menoleh. Merasa terganggu. Seperti biasa, gayanya sok bukan main.

Saya memintanya untuk membawakan sepatu saya. Dua-duanya. Entah bagaimana caranya. Saya tak peduli.

Dia diam sebentar. Berpikir. Sebelum kemudian melengos dan berjalan lagi. Nyaris kutendang pantatnya karena kesal. Sok sekali.

Diam-diam, tanpa saya tahu, dia mengaitkan kedua sepatunya ke tali tas lalu berbalik, mengulurkan tangan, sambil bilang, “Mana sepatunya?”

Saya berhenti. Melongo. Dia yang tidak sabar menyambar sepatu saya tanpa ijin dan berjalan lagi. Dan setelah itu, dia selau membawakan sepatu saya tanpa pernah saya suruh.

Betapa remeh-temeh sekali tindakan yang ia lakukan saat itu. Tapi rasa manisnya bahkan masih terkecap di sini, sampai belasan tahun kemudian saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.

Pria kecil itu mungkin sekarang sudah tumbuh besar dan menjadi bujang yang rupawan. Saya pernah bertemu sekali dengannya di bus kota setelah pulang sekolah, dan seketika mata saya membulat.

Ia bahkan tumbuh lebih manis dari yang pernah saya ingat.

Saya tidak tahu di mana ia sekarang. Mungkin masih menuntut ilmu di sebuah universitas di negeri ini, atau mungkin sudah menikah, atau tengah bekerja di suatu tempat. Siapa yang tahu.

Apa yang pernah ia lakukan mungkin tidak seberapa, tapi mungkin saya harus beterimakasih padanya karena berhasil menunjukkan pada saya di umur yang semuda itu, bahwa cinta pun bisa diungkapkan dengan cara-cara kecil yang sangat sederhana.

Terimakasih :)

Lain kali ajari saya untuk berkenalan dengan pria yang sanggup menyalakan tungku di jantung saya, ya?

Saya rindu hati saya dihangatkan..

p.s.:
Halo, mantan pria kecil manis ‘saya’ (LOL). Jika saya pulang nanti, bolehlah takdir mempertemukan mata saya sebentar pada sosokmu ^^ Saya janji saya tidak rindu. Sungguh.
Dan, hei, saya sudah dengar ‘pernyataan cinta tertundamu’ untuk saya ^^Haha. Saya tertawa pertama kali mendengar kalau kamu takut mengatakannya sendiri karena saya galak. Ya, kamu mungkin satu-satunya pria yang paham betul betapa galaknya saya pada makhluk Adam. Saya maklumi ^^

Well, seandainya saja kamu cukup berani saat itu..

No comments:

Post a Comment