Photo by Nishe |
[1 Agustus 2014]
Tahun
lalu, waktu saya baru saja mau menyongsong gelar sarjana, lebaran saya nantikan
dengan rasa penuh suka cita. Kenapa? Karena kalau ada sanak saudara yang
bertanya, “Semester berapa, Ris?” Saya bisa jawab, “Semester akhir” (senyum).
Lalu kalau ada yang tanya lagi, “Lulus kapan?” Saya akan tersenyum lebih lebar
dan menjawab, “November besok.”
Ah,
bagi saya persoalan pelik dunia rasanya bisa diselesaikan hanya dengan satu
kata itu saja. November.
Kalau
lebaran tahun ini?
Duh.
Jangan tanya. Membayangkannya saja saya merinding.
Saya
pulang kampung tanggal 8 Juli. Itu pun karena pemilu akan segera diadakan dan
hak pilih saya ada di rumah, bukan di Jogja (lagian saya malas juga mau
ngurus-ngurus lagi). Kalau tidak ada pemilu, bisa dipastikan saya pulang H-7 lebaran.
Pasti banget.
Namun
karena urusan satu dan lain hal, saya balik lagi ke Jogja. Dan sialnya, saya
malah jadi males pulang kampung lagi. Haha. Jogja memang sihir. Tapi mau nggak
mau saya tetap harus pulang juga. Lebaran di kos kok rasanya nggak asik. Sepi
pula.
Sepanjang
lebaran saya berusaha meminimalisir kontak dengan para tetua. Kenapa? Ya untuk
menghindari pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” Saya lebih senang main
bersama sepupu-sepupu yang masih kecil atau yang berumur tanggung. Ikut gabung
mereka saja. Biar dianggap masih muda ^^;
Yang
membuat kondisi saya tambah menyedihkan, mbak sepupu saya, yang seumuran sama
saya, yang dari dulu seangkatan, lebaran ini membawa pacarnya untuk dikenalkan
ke keluarga besar. Ah... Lihatlah kondisi saya. Sudah jomblo, pengangguran
pula. Semakin mantaplah keputusan saya untuk menghabiskan sisa libur lebaran
dengan mengurung diri di kamar sambil nonton drama Korea saja.
Lalu,
momen yang paling saya takutkan pun tiba. Om saya yang dari Jakarta datang
berkunjung.
Om
saya yang satu ini, dulu waktu saya kecil, adalah salah satu om yang paling dekat dengan
saya. Satu almamater. Satu fakultas. Dan paling nyambung kalau diajak ngobrol
masalah-masalah 'berat'. Beliau juga yang menginspirasi saya untuk kuliah di
Jogja, di universitas almamater saya.
Om
saya sekarang sudah jadi orang yang ‘lumayan’ penting. Setidaknya beliau
kenal beberapa orang yang duduk di kursi pemerintahan. Ngobrol dengan si Om
tentu saja membuat saya canggung. Karena saya memang notabene selalu mudah
diintimidasi oleh orang-orang sukses macam beliau ini.
Tapi
satu-satunya orang yang bisa diajak ngobrol tentang kegalauan pasca wisuda pun cuma
beliau. Karena paklik-bulik saya yang ada di desa rata-rata cuma lulusan SMA.
Lagipula ibu saya berulang-ulang kali menyuruh saya untuk dekat dengan si Om.
Siapa tahu dapat bocoran info-info bagus. Maka mau tak mau, waktu si Om datang
ke rumah buat silaturahmi, saya keluar kamar juga. Awalnya cuma pengen salaman
lalu balik ke kamar lagi karena saya dari semalam belum tidur. Tapi si Om dan
istrinya manggil saya keluar. “Sini lah. Ngobrol.” Begitu katanya.
Waini. Saya membatin. The nightmare begins.
Seperti
yang bisa pembaca bayangkan, saya diceramahi macam-macam. Dari A sampai Z saya
dengarkan. Sayangnya, konklusi dari ceramah mereka adalah hal yang sudah saya
tahu sejak tahun lalu. Masalah saya adalah diri saya sendiri. Dan
tanpa perlu diceramahi pun saya paham benar akan hal ini. Lebih dari siapa pun.
Saya
kadang mikir, mungkin akan lebih baik kalau masalah saya adalah masalah
eksternal. Masalah yang terlahir di luar diri saya, seperti misal; diremehkan
orang lain. Mungkin saya akan lebih mudah deal
dengan masalah eksternal macam ini. Kalau saya diremehkan orang, saya
justru akan tersulut untuk berusaha lebih keras. Problem solved. Tapi masalah saya beda. Saya diremehkan diri saya sendiri. Saya ditakut-takuti diri saya sendiri. Saya diajak untuk
melihat hal-hal negatif oleh diri saya
sendiri. Itu masalah saya.
Om
saya datang tentu saja tidak hanya untuk ceramah. Beliau juga memberikan
solusi-solusi. Kebanyakan solusi-solusi yang beliau tawarkan sebenarnya juga
sudah pernah saya pikirkan. Bukan solusi baru. Hanya saja, solusi yang saya
katakan untuk diri saya sendiri dengan solusi –walaupun intinya sama- yang
diucapkan orang lain untuk saya, rasanya jauh berbeda. I found both encouragement
and –ridiculously- mock in them.
Dan keduanya menstimulasi semangat saya dengan cara yang baru.
Setelah
om saya pulang, saya bergegas melanjutkan tidur yang tertunda. Sialnya, saya
malah jadi gagal memejamkan mata. Saya merasa tiba-tiba saya menemukan vision
baru. Konklusi saya sendiri.
I am a thinker to the bone. Untuk urusan
analisa permasalahan dan solusi, rata-rata keduanya bisa saya lakukan sendiri.
Saya tidak perlu orang lain untuk ceramah tentang apa-apa yang jadi masalah
saya karena saya tahu tentang mereka. Strenghts,
weaknesses, mistakes... saya paham. Hanya saja, saya butuh orang lain untuk
mengingatkan mereka. Saya butuh orang lain untuk mengatakan hal itu di depan
muka saya. Bukan dalam konteks menggurui, namun mengingatkan. Karena, jujur,
tidak banyak orang yang bisa mengingatkan kelemahan orang lain tanpa
embel-embel menggurui. Saya pun masih perlu belajar banyak.
Lebaran
kali ini jauh dari menyenangkan. Namun di antara sekian banyak hal pahit yang
saya dapat, saya bersyukur masih mampu menemukan gula-gula yang menyempil di
antaranya.
Today, I matured a
little bit more. And I’m grateful for that.
**
No comments:
Post a Comment