Saturday, September 6, 2014

Masalah itu saya

Photo by Nishe

[1 Agustus 2014]

Tahun lalu, waktu saya baru saja mau menyongsong gelar sarjana, lebaran saya nantikan dengan rasa penuh suka cita. Kenapa? Karena kalau ada sanak saudara yang bertanya, “Semester berapa, Ris?” Saya bisa jawab, “Semester akhir” (senyum). Lalu kalau ada yang tanya lagi, “Lulus kapan?” Saya akan tersenyum lebih lebar dan menjawab, “November besok.”

Ah, bagi saya persoalan pelik dunia rasanya bisa diselesaikan hanya dengan satu kata itu saja. November.

Kalau lebaran tahun ini?

Duh. Jangan tanya. Membayangkannya saja saya merinding.

Saya pulang kampung tanggal 8 Juli. Itu pun karena pemilu akan segera diadakan dan hak pilih saya ada di rumah, bukan di Jogja (lagian saya malas juga mau ngurus-ngurus lagi). Kalau tidak ada pemilu, bisa dipastikan saya pulang H-7 lebaran. Pasti banget.

Namun karena urusan satu dan lain hal, saya balik lagi ke Jogja. Dan sialnya, saya malah jadi males pulang kampung lagi. Haha. Jogja memang sihir. Tapi mau nggak mau saya tetap harus pulang juga. Lebaran di kos kok rasanya nggak asik. Sepi pula.

Sepanjang lebaran saya berusaha meminimalisir kontak dengan para tetua. Kenapa? Ya untuk menghindari pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” Saya lebih senang main bersama sepupu-sepupu yang masih kecil atau yang berumur tanggung. Ikut gabung mereka saja. Biar dianggap masih muda ^^;

Yang membuat kondisi saya tambah menyedihkan, mbak sepupu saya, yang seumuran sama saya, yang dari dulu seangkatan, lebaran ini membawa pacarnya untuk dikenalkan ke keluarga besar. Ah... Lihatlah kondisi saya. Sudah jomblo, pengangguran pula. Semakin mantaplah keputusan saya untuk menghabiskan sisa libur lebaran dengan mengurung diri di kamar sambil nonton drama Korea saja.

Lalu, momen yang paling saya takutkan pun tiba. Om saya yang dari Jakarta datang berkunjung.

Om saya yang satu ini, dulu waktu saya kecil, adalah salah satu om yang paling dekat dengan saya. Satu almamater. Satu fakultas. Dan paling nyambung kalau diajak ngobrol masalah-masalah 'berat'. Beliau juga yang menginspirasi saya untuk kuliah di Jogja, di universitas almamater saya.

Om saya sekarang sudah jadi orang yang ‘lumayan’ penting. Setidaknya beliau kenal beberapa orang yang duduk di kursi pemerintahan. Ngobrol dengan si Om tentu saja membuat saya canggung. Karena saya memang notabene selalu mudah diintimidasi oleh orang-orang sukses macam beliau ini.

Tapi satu-satunya orang yang bisa diajak ngobrol tentang kegalauan pasca wisuda pun cuma beliau. Karena paklik-bulik saya yang ada di desa rata-rata cuma lulusan SMA. Lagipula ibu saya berulang-ulang kali menyuruh saya untuk dekat dengan si Om. Siapa tahu dapat bocoran info-info bagus. Maka mau tak mau, waktu si Om datang ke rumah buat silaturahmi, saya keluar kamar juga. Awalnya cuma pengen salaman lalu balik ke kamar lagi karena saya dari semalam belum tidur. Tapi si Om dan istrinya manggil saya keluar. “Sini lah. Ngobrol.” Begitu katanya.

Waini. Saya membatin. The nightmare begins.

Seperti yang bisa pembaca bayangkan, saya diceramahi macam-macam. Dari A sampai Z saya dengarkan. Sayangnya, konklusi dari ceramah mereka adalah hal yang sudah saya tahu sejak tahun lalu. Masalah saya adalah diri saya sendiri. Dan tanpa perlu diceramahi pun saya paham benar akan hal ini. Lebih dari siapa pun.

Saya kadang mikir, mungkin akan lebih baik kalau masalah saya adalah masalah eksternal. Masalah yang terlahir di luar diri saya, seperti misal; diremehkan orang lain. Mungkin saya akan lebih mudah deal dengan masalah eksternal macam ini. Kalau saya diremehkan orang, saya justru akan tersulut untuk berusaha lebih keras. Problem solved. Tapi masalah saya beda. Saya diremehkan diri saya sendiri. Saya ditakut-takuti diri saya sendiri. Saya diajak untuk melihat hal-hal negatif oleh diri saya sendiri. Itu masalah saya.

Om saya datang tentu saja tidak hanya untuk ceramah. Beliau juga memberikan solusi-solusi. Kebanyakan solusi-solusi yang beliau tawarkan sebenarnya juga sudah pernah saya pikirkan. Bukan solusi baru. Hanya saja, solusi yang saya katakan untuk diri saya sendiri dengan solusi –walaupun intinya sama- yang diucapkan orang lain untuk saya, rasanya jauh berbeda. I found both encouragement and –ridiculously- mock in them. Dan keduanya menstimulasi semangat saya dengan cara yang baru.

Setelah om saya pulang, saya bergegas melanjutkan tidur yang tertunda. Sialnya, saya malah jadi gagal memejamkan mata. Saya merasa tiba-tiba saya menemukan vision baru. Konklusi saya sendiri.

I am a thinker to the bone. Untuk urusan analisa permasalahan dan solusi, rata-rata keduanya bisa saya lakukan sendiri. Saya tidak perlu orang lain untuk ceramah tentang apa-apa yang jadi masalah saya karena saya tahu tentang mereka. Strenghts, weaknesses, mistakes... saya paham. Hanya saja, saya butuh orang lain untuk mengingatkan mereka. Saya butuh orang lain untuk mengatakan hal itu di depan muka saya. Bukan dalam konteks menggurui, namun mengingatkan. Karena, jujur, tidak banyak orang yang bisa mengingatkan kelemahan orang lain tanpa embel-embel menggurui. Saya pun masih perlu belajar banyak.

Lebaran kali ini jauh dari menyenangkan. Namun di antara sekian banyak hal pahit yang saya dapat, saya bersyukur masih mampu menemukan gula-gula yang menyempil di antaranya.

Today, I matured a little bit more. And I’m grateful for that. 

**

No comments:

Post a Comment