Tuesday, February 19, 2013

Selalu aku dan kamu

Photo by Kitty Gallannaugh


Tak perlu khawatir.
Sejak awal,
kisah ini sudah Tuhan tuliskan dengan rapi.
Tentu saja mereka akan berakhir dengan indah.
Tentu saja.
Karena nya tenanglah.
Bersama atau tidak,
ini akan selalu jadi aku dan kamu.

Ini akan selalu aku.
Gadis yang pernah menari di bawah rintik hujan,
dan kau marahi habis-habisan karena terkena flu keesokan harinya.
Ini akan selalu kamu.
Pemuda yang rela melewatkan pertandingan bola kesukaannya,
hanya untuk mengirimiku kue ulang tahun tepat pukul dua belas malam.
Ini akan selalu jadi 'aku' dan 'kamu'.
Percayalah.


Tak perlu menangis.
Sejak semua bermula,
akhir dari kisah ini telah Tuhan lukis dengan baik.
Tentu saja mereka akan terlukis dengan cantik.
Tentu saja.
Tuhan terlalu penyayang mencipta akhir yang buruk untuk makhluk-Nya.
Hapus air matamu.
Menangisi perpisahan yang belum nyata adalah tindakan tiada guna.
Siapa yang bisa menerka,
peluk hangat atau lambaian tangan yang Tuhan pilihkan?
Biar bagaimanapun segala kisah adalah milik-Nya.
Namun ini akan selalu jadi aku dan kamu.

Ini akan selalu aku.
Samudera yang lelap memeluk pantaimu.
Ini akan selalu kamu.
Matahari yang rajin menerbitkan bibit ribuan rindu.
Ini akan selalu 'aku' dan 'kamu'.
Yakinlah.



Kelak,
siapa yang mampu menebak.
Apakah kita akan saling menjaga,
atau mencela?
Apakah aku tak akan pernah kehilangan diriku,
dan kamu akan selalu jadi milikmu?
Kepada siapa kepemilikan hati ini kelak bernama?
Sanggupkah kau menebaknya?

Kisah ini telah Tuhan cipta ribuan tahun yang lalu, sayang.
Jauh sebelum kau sempat mengenali senyumku di balik rak buku sore itu.
Jauh sebelum aku melempar kagum akan betapa lugu dan manis perangaimu.
Ribuan tahun jauh sebelum kita saling menjatuhi hati.
Ribuan tahun jauh sebelum kita saling mematahkan cinta sendiri-sendiri.

Jika yang kau pilih di kemudian hari adalah sebuah peluk hangat di penghujung petang.
Diiringi gerimis rintik dan payung yang lebar terbuka menaungiku namun menyisakan basah di pundakmu.
Cincin. Kecup. Dan cinta.
Apakah ini akhirnya?

Jika yang aku pilih di kemudian hari adalah lambaian tangan di teriknya siang.
Ditemani awan yang menggantung malas dan payungku yang tak menyisakan tempat bernaung untukmu.
Tangis. Hening. Dan benci.
Apakah ini akhirnya?

Langit tak pernah cukup pandai bercerita,
kelak ketika kita nyatanya saling membenci,
dan bukan saling mencari.
Karenanya kutitipkan sepucuk surat cinta pada hujan.
Bahwa setidak menyenangkan apa pun akhir dari kisah ini,
ingatlah dengan seksama bahwa aku pernah mencintaimu dengan baik
Kau pernah mengasihiku dengan bijak.
Kita pernah bermimpi tentang tiga orang anak dan sebuah rumah sederhana.
Kau dan aku pernah bercita-cita mengakhiri masa senja,
dengan sepotong peluk, secangkir senyum dan banyak cinta.

Ini akan selalu jadi aku dan kamu, sayang.
Selalu.
Apa pun akhirnya.
Ini akan selalu jadi aku dan kamu.
Walau mereka --nyatanya-- tak akan pernah jadi kita.

*

Monday, February 18, 2013

Hilang

Photo by Nishe


Malam ini selepas pulang dari kampus
Setelah tadi sibuk tertawa dan pipiku berhasil pegal dibuatnya
Aku kembali pulang
Berjalan pelan sebelum tiba di depan kosan
Menghitungi bekas rintik hujan di genangan jalan
Aku dan aku dan aku
Tetiba menyadari sesuatu yang genap namun janggal

Hei. Perasaan itu tak lagi ada.

Masih ingat akan sajak yang pernah kutulis beberapa minggu yang lalu?
Tentang bagaimana aku ingin gumpalan perasaan ini pecah,
Atau dimatikan saja dalam jangka waktu yang lama?
Tuhan mengabulkan keduanya.
Perasaan ini pecah.
Dan mati.
Lalu hilang.
Bahkan bangkainya pun tak ia sisakan.
Laksana abu yang tertiup angin basah bulan Januari.
Mereka raib.
Tak menemukan lagi wujud nyatanya.
Tak ingin menemukan lagi wujud nyatanya.

Tuanku, rasa ini mati.
Kehampaannya bahkan terlalu kosong untuk menyakiti.

Mungkin benar apa yang mereka bilang.
Apa pun mampu tercipta karena kebiasaan.

Aku terbiasa menjadikanmu rumah ketika rindu.
Kau biasakan membakar rinduku menjadi abu.

Aku membiasakan diri untuk menghilangkan sosokmu di mana pun aku berada.
Kapan pun aku bisa.
Kehilangan ini pun kemudian ada.
 Hidup dan nyata.

*

Ada rindu yang ingin pulang namun tak kunjung kau jemput.
Tuan, aku membunuhnya baru saja.

*