Sunday, November 2, 2014

Definisi Mutlak


Summer Watercolor by kizistock

Ketika hijau, oranye, dan ungu belum memiliki nama, bagaimana orang-orang jaman dahulu menyebut campuran warna biru dan kuning, kuning dan merah, serta merah dan biru? Bagaimana mereka mendefinisikan warna-warna asing tadi? 

Malam ini, saya ibarat orang-orang masa lampau yang tengah kebingungan mencari sebuah nama. Definisi mutlak dari campuran berbagai macam rasa. 

Dan ibarat pula palet, hati saya rasa-rasanya sedang kejatuhan sekaleng penuh cat hijau, oranye, dan ungu dalam waktu yang bersamaan. Apa warna yang tercipta setelahnya? Mungkin hitam. Mungkin pula coklat pekat. Yang jelas, yang saya tahu, mereka bukan warna cinta. 

Ketika kemudian saya mencoba mendeskripsikan warna oplos tadi ke orang-orang asing, dan lalu mereka berkesimpulan bahwa warna di palet saya adalah merah muda, merah semu, merah hati dan merah-merah lainnya, apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan ketika orang-orang ini mencoba mendefinisikan mutlak apa yang ada di palet saya ketika bahkan saya sendiri, si empunya palet yang kejatuhan tiga kaleng penuh cat, sedang kebingungan memberi nama untuk warna oplos tadi. 

“Mereka agak ungu. Birunya lebih dominan. Tapi ada sentuhan merahnya juga. Kuningnya agak ketutup sih. Hijaunya tapi masih terlihat.”

“Merah muda itu pasti.”

“Iya, merah semu mereka.”

“Kalau menurutku sih merah hati.”

Kenapa harus merah?

Kenapa harus merah ketika saya jelas-jelas bilang “..birunya lebih dominan..”?

Sayakah yang buta?

Atau mereka yang tuli?

Padahal  mereka jelas-jelas bukan si pemilik palet. Padahal mereka jelas-jelas tidak melihat bagaimana kaleng-kaleng cat tadi tumpah, melebur jadi satu, dan membentuk warna baru.

Lantas mengapa mereka begitu yakin kalau warna ini merah?

Mengapa beberapa manusia begitu senang meletakkan label mutlak pada hal-hal yang mereka belum ketahui secara pasti? 

Terlebih, jika hal-hal tersebut tidak mereka alami sendiri.

Dan haruskah saya melabeli, mendefinisikan mutlak, warna di palet saya? Haruskah saya mencarikan ia nama?

Misal saya sedang mencari campuran cat yang pas untuk mewarnai sekuntum mawar, haruskah saya mewarnai satu-satunya mawar di kanvas saya dengan warna oplos yang saya tidak tahu namanya tadi hanya karena palet saya ‘terlanjur’ kejatuhan mereka tanpa saya minta? Haruskah saya mewarnai satu-satunya bunga mawar di lukisan taman yang sedang saya buat dengan warna oplos tadi, hanya karena beberapa manusia melabeli ia “merah” dan merah adalah warna yang pas untuk sekuntum mawar?

Selain itu, mengapa beberapa manusia begitu senang mencari tahu alasan apa-apa yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan mereka? 

Saya tidak suka warna oplos ini.

Kenapa? Kenapa tidak suka? Kenapa membencinya?

Ya saya tidak suka. Saya tidak ingin melukis dengan menggunakan warna ini. 

Kenapa tidak dicoba dulu? 

Kenapa saya harus gambling untuk hal-hal yang jelas-jelas saya benci?

Wednesday, October 29, 2014

Melepasmu

Photo by Januarain

Aku rasa alasan mengapa aku pandai sekali tersenyum belakangan ini adalah karena wajahmu sedang rajin-rajinnya berenang di kepalaku. Sedang mencoba mencuri kunci yang selama ini sengaja aku sembunyikan. Dan berusaha membuka kembali ‘pintu’ yang, kau dan aku tahu, tak seharusnya terbuka lagi untuk kedua kalinya.

Aku sudah pernah minta Tuhan untuk bunuh kamu di kepalaku. Tapi Tuhan menolak. Tuhan terlalu baik untuk mengabulkan permohonan sekeji itu. Tuhan tak suka. 

Dan, aku, tentu saja tidak bisa melawan-Nya. Karena itu kamu sekarang ada di sini. Lagi. 

Seharusnya kamu sudah aku suruh pulang ke Planet Mars sejak entah kapan. Aku benci lihat kamu bisa bermain-main sepuasnya di kepalaku. Karena ketika kamu ada di sana, aku jadi tidak bisa menulis dan menggambar dengan baik. 

Kamu pandai mencuri konsentrasiku. Aku tidak suka.

Seorang teman pernah bilang, “Patahkan saja kuncinya. Beres kan?

Tentu saja tidak.

Aku bisa mematahkannya. Kapan saja. Tapi bagaimana kalau ketika kunci itu patah, dan kamu justru sedang bersembunyi di dalam hatiku? Aku tak mau. Aku tak mau mengurungmu di sana. Itu sama saja bunuh diri.

Jujurlah. Sebenarnya kamu hanya takut kan kalau suatu hari nanti dia benar-benar pergi dan kamu tak bisa mengingat dia kembali?

Tidak.

Kamu yang mengurungnya disana. Bukan dia yang tidak mau pergi. Kalau tidak, kenapa kunci itu kamu sembunyikan? Berikan saja padanya. Biar ia yang menentukan apakah ia mau pergi atau tinggal.

Aku bisu.

Rasanya terlalu picisan kalau aku bilang kamu masih jadi laki-laki pemilik sejuta kupu-kupu di dalam perutku. Karena nyatanya kamu bukan. Setidaknya sekarang.

Maaf, tapi cintaku tak seabadi Layla-Majnun. Senyummu bahkan bisa tergantikan dengan mudah oleh pria manis manapun yang baru saja aku lihat di jalan. Maka dari itu, aku tak mau repot-repot berbohong bahwa kamu sejatinya tak mungkin tergantikan.

Ya. Kamu tetap jadi desir yang tak terdustakan. Itu benar. Tapi kamu bukan objek rasa kagumku lagi.

Kamu memang selalu ada di sana. Di sini. Di kepalaku. Di mana-mana. Dan kamu seperti sakit flu menjengkelkan yang sulit sembuh. Tak mau diusir.

Tapi sekarang aku sudah semakin jarang menganggapmu istimewa. Aku pikir aku hanya tak pandai melepasmu saja.