Photo by Julia Trotti |
[11
july 2014]
Rasanya
pasti pernah ada masa di mana teman-teman saya kaget waktu pertama kali mengetahui
betapa menye-menyenya kejiwaan saya sebagai perempuan yang terlihat tidak
seperti perempuan. Teman-teman ngampus saya tentu lebih dari tahu bagaimana
saya berbusana. Ya kurang lebih seperti bapak-bapak tukang ronda lah. Minus
sarung namun dengan tambahan jilbab. Sandal jepitan, pakai baju biru legendaris
saya yang mirip seragam satpam, jilbab seadanya. Cus!
Namun
jangan salah, se-mawut-mawut-nya saya berbusana, saya bisa jadi perempuan
paling melankolis yang pernah kamu temui. Kebetulan saya belum pernah bertemu seseorang
yang senang nonton, membaca, dan menulis hal-hal cheesy sesering yang saya lakukan. Saya juga belum pernah bertemu
manusia lain yang mencintai kesedihan sedalam yang pernah saya rasakan.
Minggu
kemarin saya dapat berita gembira di Facebook. Lima orang teman SMA dan satu
orang teman SD akhirnya menikah. Beberapa teman sekelas saya saat SMA juga
berencana menikah dalam waktu dekat. Beberapa teman kuliah malah ada yang sudah
“isi”, begitu juga istri salah seorang teman SMA saya. Ah, mungkin memang sudah
umurnya ya. Saya sendiri belum merasa menikah adalah sebuah kebutuhan yang urgent. Sesuatu yang harus segera dijalankan. Jangankan urusan berumah tangga,
saya bahkan kadang lupa saya sudah 22.
Bagaimana
sih rasanya mencintai seseorang dengan begitu hebat? Sampai-sampai kamu
bersedia untuk diikat dalam sebuah komitmen yang harus dijaga sampai akhir
hayat.
Ah,
saya belum bisa membayangkan perasaan sedahsyat itu. Saya belum paham.
Untuk
perempuan yang terbiasa terbang sendiri macam saya, seseorang yang terbiasa flying solo, memiliki pasangan justru
kadang terlihat menakutkan. Rasa-rasanya seperti menggadai sebagian dari
kebebasan.
Untuk
itulah saya angkat topi kepada mereka-mereka yang berani mencari teman dalam
perjalanan. Karena bagi saya, untuk sekarang ini, “terbang sendiri” adalah kata
lain dari “kebahagiaan”.
Tentu
ada orang-orang berhati besar yang menganggap berpasangan bukanlah halangan
untuk tetap menjadi pribadi yang bebas. Berpasangan dan kebebasan bukanlah dua
kata yang berkolerasi. Keduanya tidak saling berhubungan. Well, tentu saja di dunia ini akan ada orang-orang hebat semacam
itu. Tidak mungkin semua seegois saya. Saya, di sisi lain, masih harus banyak
belajar menabung cinta untuk diri saya sendiri. Sebelum pada akhirnya berani
memberikan cinta yang sudah luber-luber di hati saya ke manusia lain.
Sampai
saat ini pun menikah atau berumah tangga belum menjadi prioritas. Menikah
adalah sesuatu yang akan saya lakukan kalau memang suatu saat nanti ada yang MAU
dan MAMPU meyakinkan saya kalau “komitmen” bukanlah sinonim dari “tali tambang”
apalagi “rantai”, kalau membiarkan orang lain mengenal keburukan saya justru
kadang bukan sepenuhnya hal buruk, kalau mencintai manusia yang sama lagi dan
lagi dan lagi sampai nafas saya habis itu mungkin.
Kalau
memang tidak ada yang mau, tidak ada yang mampu, ya tidak apa-apa.
Bukan
masalah besar.
*
Walaupun
saya bisa dikategorikan apatis untuk urusan pacar-memacari, atau
nikah-menikahi, tapi dibandingkan teman-teman saya yang sudah pernah memiliki
partner di satu titik dalam hidup mereka, saya justru orang yang paling sering
membayangkan bagaimana wujud jodoh saya kelak. Bagaimana peringainya. Bagaimana
tingkah lakunya dalam memperlakukan perempuan. Dan sebagainya.
Mungkin
ini yang salah.
Di
nyaris semua hal, saya selalu punya takaran dengan standar versi saya. Misal
ada tugas menulis essay, maka hasil
akhir yang harus saya kumpulkan setidaknya berada di kisaran ”oke” sampai
“sangat bagus” dalam standar saya. Tidak boleh kurang. Sementara kata orang,
cinta tidak bisa diperlakukan dengan cara yang demikian. Dan saya belum bisa
belajar untuk tidak mengukur cinta
dengan standar saya.
Kalau
diibaratkan, saya adalah mereka yang senang melihat orang berenang namun enggan
untuk ikut terjun ke dalam air. Saya cuma senang menonton di pinggiran dan
membayangkan bagaimana segarnya air di kolam renang saat hari sedang terik. Namun
rasa takut saya akan tenggelam ternyata lebih besar dan mengalahkan keinginan
untuk ikut nyemplung ke dalam kolam.
Lama-kelamaan saya sudah cukup senang dengan hanya menonton orang-orang
berenang sambil membayangkan bagaimana rasanya bersentuhan langsung dengan air.
Saya tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti keinginan saya untuk ikut
berenang justru hilang sama sekali.
“Pemuja
rahasia” adalah trademark yang saya
pilih untuk diri saya sendiri. Entah bagaimana namun selalu ada kebahagiaan
tersamar saat saya mengagumi satu sosok dari sudut pandang saya saja. Tanpa
perlu dibalas. Tanpa perlu diketahui pihak yang bersangkutan. Dengan status
sebagai pemuja yang literally tidak
diakui, saya merasa aman. Saya merasa saya mampu mencintai tanpa pretensi. Dan
saya tidak perlu membebani pihak yang bersangkutan dengan kewajiban-kewajiban untuk
menerima atau menolak keputusan yang saya pilih sendiri. Di sisi lain, saya
tidak akan pernah kehilangan sesuatu –seseorang—yang tidak pernah saya miliki.
Dan fakta ini menenangkan saya.
Kisah
percintaan saya tidak pernah lebih dari memandang si empunya hati dari kejauhan
dan pasang muka cuek sedetik sebelum ia menoleh ke arah saya. Selebihnya,
segala euforia, hanya ada di pihak saya saja. Semua puisi, semua sketsa, semua
senyum simpul yang saya tebar saat sosoknya tertangkap pandang, semuanya milik
saya. Ia tak perlu tahu.
Cinta
saya adalah cinta yang anonim. Cinta yang tak ingin diketahui namanya. Ia
bergerak secara rahasia dan penuh kode. Dan ia mudah mencintai mereka yang
pandai abai akan presensinya.
Cinta
anonim saya lahir 8 tahun silam. Sampai saat ini pun membayangkannya masih mencipta gelenyar,
mengembangkan senyum, meledakkan ratusan ribu kembang api di dalam dada. Menyimpannya,
sendiri, selama bertahun-tahun tentu
mencipta sepi yang memekakkan. Tapi saya bukan orang yang tak paham resiko
ketika memilih untuk terbang sendiri.
Sepi
ini, ia cuma konsekuensi.
*
Banyak
yang bilang kalau mereka-mereka yang di masa mudanya tidak pernah pacaran
adalah justru mereka-mereka yang akan duduk di bangku pelaminan terlebih dulu.
Ya
mari kita lihat saja. Saya pun penasaran ingin melihat kebenaran teori ini.
Kelak,
lima-sepuluh tahun yang akan datang, di reuni pertama atau kedua, mari kita
lihat siapa-siapa saja yang sudah sibuk menggendong anak dan menggandeng
pasangan, dan mana-mana yang masih betah mempertahankan status lajang.
Apakah
saya datang dengan bendera putih tanda kalah. Menyerah. Mengakui bahwa saya
hanya perempuan biasa yang sok-sokan kuat dengan bilang “tidak tertarik
menikah”
Atau
datang dengan membawa gelar yang
selama ini seperti sudah ditato permanen di jidat saya.
The one who is unbeatable in flying solo.
**
No comments:
Post a Comment