Tuesday, August 12, 2014

The one who is unbeatable in flying solo



Photo by Julia Trotti

[11 july 2014]

Rasanya pasti pernah ada masa di mana teman-teman saya kaget waktu pertama kali mengetahui betapa menye-menyenya kejiwaan saya sebagai perempuan yang terlihat tidak seperti perempuan. Teman-teman ngampus saya tentu lebih dari tahu bagaimana saya berbusana. Ya kurang lebih seperti bapak-bapak tukang ronda lah. Minus sarung namun dengan tambahan jilbab. Sandal jepitan, pakai baju biru legendaris saya yang mirip seragam satpam, jilbab seadanya. Cus!

Namun jangan salah, se-mawut-mawut-nya saya berbusana, saya bisa jadi perempuan paling melankolis yang pernah kamu temui. Kebetulan saya belum pernah bertemu seseorang yang senang nonton, membaca, dan menulis hal-hal cheesy sesering yang saya lakukan. Saya juga belum pernah bertemu manusia lain yang mencintai kesedihan sedalam yang pernah saya rasakan.

Minggu kemarin saya dapat berita gembira di Facebook. Lima orang teman SMA dan satu orang teman SD akhirnya menikah. Beberapa teman sekelas saya saat SMA juga berencana menikah dalam waktu dekat. Beberapa teman kuliah malah ada yang sudah “isi”, begitu juga istri salah seorang teman SMA saya. Ah, mungkin memang sudah umurnya ya. Saya sendiri belum merasa menikah adalah sebuah kebutuhan yang urgent. Sesuatu yang harus segera  dijalankan. Jangankan urusan berumah tangga, saya bahkan kadang lupa saya sudah 22.

Bagaimana sih rasanya mencintai seseorang dengan begitu hebat? Sampai-sampai kamu bersedia untuk diikat dalam sebuah komitmen yang harus dijaga sampai akhir hayat.

Ah, saya belum bisa membayangkan perasaan sedahsyat itu. Saya belum paham.

Untuk perempuan yang terbiasa terbang sendiri macam saya, seseorang yang terbiasa flying solo, memiliki pasangan justru kadang terlihat menakutkan. Rasa-rasanya seperti menggadai sebagian dari kebebasan.

Untuk itulah saya angkat topi kepada mereka-mereka yang berani mencari teman dalam perjalanan. Karena bagi saya, untuk sekarang ini, “terbang sendiri” adalah kata lain dari “kebahagiaan”.

Tentu ada orang-orang berhati besar yang menganggap berpasangan bukanlah halangan untuk tetap menjadi pribadi yang bebas. Berpasangan dan kebebasan bukanlah dua kata yang berkolerasi. Keduanya tidak saling berhubungan. Well, tentu saja di dunia ini akan ada orang-orang hebat semacam itu. Tidak mungkin semua seegois saya. Saya, di sisi lain, masih harus banyak belajar menabung cinta untuk diri saya sendiri. Sebelum pada akhirnya berani memberikan cinta yang sudah luber-luber di hati saya ke manusia lain.

Sampai saat ini pun menikah atau berumah tangga belum menjadi prioritas. Menikah adalah sesuatu yang akan saya lakukan kalau memang suatu saat nanti ada yang MAU dan MAMPU meyakinkan saya kalau “komitmen” bukanlah sinonim dari “tali tambang” apalagi “rantai”, kalau membiarkan orang lain mengenal keburukan saya justru kadang bukan sepenuhnya hal buruk, kalau mencintai manusia yang sama lagi dan lagi dan lagi sampai nafas saya habis itu mungkin.

Kalau memang tidak ada yang mau, tidak ada yang mampu, ya tidak apa-apa.

Bukan masalah besar.

*

Walaupun saya bisa dikategorikan apatis untuk urusan pacar-memacari, atau nikah-menikahi, tapi dibandingkan teman-teman saya yang sudah pernah memiliki partner di satu titik dalam hidup mereka, saya justru orang yang paling sering membayangkan bagaimana wujud jodoh saya kelak. Bagaimana peringainya. Bagaimana tingkah lakunya dalam memperlakukan perempuan. Dan sebagainya.

Mungkin ini yang salah.

Di nyaris semua hal, saya selalu punya takaran dengan standar versi saya. Misal ada tugas menulis essay, maka hasil akhir yang harus saya kumpulkan setidaknya berada di kisaran ”oke” sampai “sangat bagus” dalam standar saya. Tidak boleh kurang. Sementara kata orang, cinta tidak bisa diperlakukan dengan cara yang demikian. Dan saya belum bisa belajar untuk tidak mengukur cinta dengan standar saya.

Kalau diibaratkan, saya adalah mereka yang senang melihat orang berenang namun enggan untuk ikut terjun ke dalam air. Saya cuma senang menonton di pinggiran dan membayangkan bagaimana segarnya air di kolam renang saat hari sedang terik. Namun rasa takut saya akan tenggelam ternyata lebih besar dan mengalahkan keinginan untuk ikut nyemplung ke dalam kolam. Lama-kelamaan saya sudah cukup senang dengan hanya menonton orang-orang berenang sambil membayangkan bagaimana rasanya bersentuhan langsung dengan air. Saya tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti keinginan saya untuk ikut berenang justru hilang sama sekali.

“Pemuja rahasia” adalah trademark yang saya pilih untuk diri saya sendiri. Entah bagaimana namun selalu ada kebahagiaan tersamar saat saya mengagumi satu sosok dari sudut pandang saya saja. Tanpa perlu dibalas. Tanpa perlu diketahui pihak yang bersangkutan. Dengan status sebagai pemuja yang literally tidak diakui, saya merasa aman. Saya merasa saya mampu mencintai tanpa pretensi. Dan saya tidak perlu membebani pihak yang bersangkutan dengan kewajiban-kewajiban untuk menerima atau menolak keputusan yang saya pilih sendiri. Di sisi lain, saya tidak akan pernah kehilangan sesuatu –seseorang—yang tidak pernah saya miliki. Dan fakta ini menenangkan saya.

Kisah percintaan saya tidak pernah lebih dari memandang si empunya hati dari kejauhan dan pasang muka cuek sedetik sebelum ia menoleh ke arah saya. Selebihnya, segala euforia, hanya ada di pihak saya saja. Semua puisi, semua sketsa, semua senyum simpul yang saya tebar saat sosoknya tertangkap pandang, semuanya milik saya. Ia tak perlu tahu.

Cinta saya adalah cinta yang anonim. Cinta yang tak ingin diketahui namanya. Ia bergerak secara rahasia dan penuh kode. Dan ia mudah mencintai mereka yang pandai abai akan presensinya.

Cinta anonim saya lahir 8 tahun silam. Sampai saat ini pun membayangkannya masih mencipta gelenyar, mengembangkan senyum, meledakkan ratusan ribu kembang api di dalam dada. Menyimpannya, sendiri, selama bertahun-tahun tentu mencipta sepi yang memekakkan. Tapi saya bukan orang yang tak paham resiko ketika memilih untuk terbang sendiri.

Sepi ini, ia cuma konsekuensi.

*

Banyak yang bilang kalau mereka-mereka yang di masa mudanya tidak pernah pacaran adalah justru mereka-mereka yang akan duduk di bangku pelaminan terlebih dulu.

Ya mari kita lihat saja. Saya pun penasaran ingin melihat kebenaran teori ini.

Kelak, lima-sepuluh tahun yang akan datang, di reuni pertama atau kedua, mari kita lihat siapa-siapa saja yang sudah sibuk menggendong anak dan menggandeng pasangan, dan mana-mana yang masih betah mempertahankan status lajang.

Apakah saya datang dengan bendera putih tanda kalah. Menyerah. Mengakui bahwa saya hanya perempuan biasa yang sok-sokan kuat dengan bilang “tidak tertarik menikah”

Atau datang dengan membawa gelar yang selama ini seperti sudah ditato permanen di jidat saya.

The one who is unbeatable in flying solo.

**

No comments:

Post a Comment