Photo by Rona Keller |
Pernahkah
kalian merasa berdiri di titik tengah sebuah perjalanan yang sangat panjang?
Merasa sudah berjalan terlalu jauh namun
tak kunjung melihat akhir.
Saya merasa, saya sedang dalam posisi yang
demikian.
Ketika
tujuan yang dimaksud tak jelas di mana, tak paham benar arah mana yang harus diambil,
saya senang meluangkan waktu untuk duduk beberapa jenak dan berdiam diri.
Menyetel musik-musik tertentu dan membuka kotak berisi kenangan-kenangan.
Ada beberapa
musik yang selalu berhasil membawa kotak-kotak masa lalu itu terhempas rapi di
kepala saya. Selalu. Tak pernah gagal. Mendengarkan mereka membuat
kelopak-kelopak tua berukir kebahagiaan dan kesedihan di masa lampau menjadi
sesegar rerumputan di kala pagi. Mereka hidup kembali. Seperti lampu-lampu
bianglala yang tak pernah padam.
Masa
depan tentu tempat yang menakjubkan. Siapa yang tak ingin ke sana? Semua orang
berlomba-lomba ingin segera tiba di depan pintu gerbangnya. Pun banyak yang
beranggapan bahwa membawa-bawa koper berlabel masa lalu adalah perbuatan bodoh.
Saya termasuk yang pernah berpikir
demikian.
Koper-koper
berlabel masa lalu memang tidak
seharusnya dibawa ke mana-mana. Manfaatnya tidak ada kecuali memberatkan
langkah yang sudah berat. Namun membakar koper-koper ini pun rasanya sayang dan
terasa salah. Mereka berisi
tapak-tapak langkah, teman-teman kecil yang sudah membawa kita ke tempat
bernama Sekarang. Di dalamnya tersimpan bunga dan duri. Cinta dan benci. Apapun
itu yang bisa kalian sebut memori.
Dengan
membagi musik ini, saya ingin mengajak Anda, kamu, siapa pun yang merasa tengah
berada di titik tengah sebuah perjalanan panjang, untuk berhenti sejenak dan
mengapresiasi kenangan. Mengapresiasi. Menghargai. Tapi bukan untuk membawanya serta.
Saya
orang yang pesimistis dan mudah dihantui pemikiran-pemikiran buruk. Di kepala
saya tinggal banyak sekali monster mengerikan. Dalam suatu perjalanan yang saya
tak tahu pasti kapan akan berakhir, monster-monster di kepala saya ini kerap
hadir sesekali dan menakut-nakuti saya untuk berhenti. Untuk berbalik dan
pulang saja. Kembali ke dalam zona aman. Inilah mengapa saya selalu butuh waktu
untuk berhenti di tengah perjalanan manapun. Berhenti untuk menata tujuan,
mengingat-ingat alasan kenapa saya melakukan perjalanan ini, menentukan langkah
selanjutnya, mengingatkan diri saya bahwa ini
perjalanan, bukan perlombaan maraton. Kalau yang lain sampai di tempat tujuan
mereka lebih awal, itu bukan salah saya. Saya akan tetap baik-baik saja.
Mengapresiasi
kenangan ada dalam daftar hal yang harus saya lakukan ketika saya sedang
bingung lalu memutuskan berhenti. Kadang di tengah hari-hari berhujan, saya pun
butuh diyakinkan bahwa matahari akan bersinar lagi suatu saat nanti.
Kenangan-kenangan inilah yang membantu saya untuk selalu ingat bahwa dalam
hidup manusia manapun akan selalu ada waktu untuk bersedih dan berbahagia.
Bahwasanya saya pernah punya hari-hari yang didominasi langit biru dan cahaya
matahari. Bahwasanya saya pernah dikurung Tuhan di dalam sel dengan badai dan
petir yang muncul dari langit-langitnya dan saya bertahan.
Monster-monster
di kepala saya adalah makhluk-makhluk dunia kegelapan yang takut akan cahaya. Dan
kotak kenangan saya adalah obor yang mampu mengusir mereka pergi.
**
Sambil
mendengarkan musik ini, saya senang membayangkan saya sedang berada di bawah
satu-satunya pohon di padang rumput yang sangat luas. Di suatu sore yang
mendung, beberapa menit sebelum hujan turun.