Tuesday, November 18, 2014

Tentang sebuah petualangan tanpa rencana

Photo by Rona Keller


Saya pernah mendamba sebuah cinta yang datang secara tiba-tiba. Dibawa oleh seorang pria asing yang saya kenal tanpa sengaja di sebuah bandara.

Mungkin ia yang menyapa saya terlebih dahulu. Bertanya basa-basi berangkat penerbangan jam berapa dan mau ke mana. Atau mungkin pula saya yang pertama kali mencolek bahunya. Bertanya di mana saya bisa menemukan vending machine terdekat yang kemudian dijawabnya dengan telunjuk mengarah ke utara.

Saya pernah bermimpi menemukan sesosok asing yang ketika pandangnya saya temukan tanpa sengaja, saya tak perlu buru-buru memalingkan muka. Entah dengan kekuatan magis apa, senyumnya mampu membuat saya berangan-angan akan sebuah petualangan. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya karena saya tak pernah menyenangi sebuah kepergian. Sapanya adalah gerbang menuju perjalanan yang ujungnya tak perlu saya risaukan. Berakhir di ‘selamanya’ atau ‘seminggu saja’ saya tak peduli. Ia berhasil mengajak saya untuk terjun ke lembah bernama spontanitas. Meninggalkan hidup yang penuh rencana dan kalkulasi. Karena baginya apalah arti hidup kalau saya tahu semua tikungan, turunan dan tanjakan. Dan saya melihat pola pikirnya sebagai sesuatu yang manis. Sesuatu yang membebaskan. Lalu tanpa ia minta, saya diam-diam mengikuti ke mana langkahnya mengarah. Sebelum pada akhirnya ia sadar dan menoleh ke belakang, tersenyum, lalu tanpa berkata apa pun menawari saya tangan kanannya yang tengah membawa serta sejuta macam kemungkinan.

Dan atau, ketidakmungkinan.

*

Why so serious?

Itu kalimat pembuka perdebatan panjang kami di ruang tunggu bandara. Bermula dari perbedaan pendapat tentang cinta, lantas kami mendapati fakta bahwa ia adalah seorang Ketua dari Suku Slengekan dan saya adalah Putri dari Kerajaan Terrencana. 

Baginya cinta adalah sebuah permainan yang dimainkan tidak dengan main-main. Ia menerima dengan pikiran terbuka segala kecurangan, kekeliruan, rasa perih, luka atau apa pun yang mungkin akan ia hadapi selama permainan ini berjalan. Ia menurunkan semua armor-nya dan merentangkan hatinya lebar-lebar. 

Ayo main! Hidup ini terlalu singkat untuk dilalui hanya dengan berdiam diri dan berkalkulasi. Bercintalah yang serius. Jatuh cintalah dengan baik dan benar. Jatuhnya beneran. Cintanya juga beneran. Kalau kamu masih hitung untung-rugi, itu namanya bukan cinta. Itu dagang.  

Bagi saya cinta adalah pisau dengan dua sisi tajam. Saya boleh membawanya serta ketika saya sudah cukup dewasa untuk paham bahwa memutuskan untuk mencintai sama saja membuka kemungkinan untuk terluka. Saya tidak suka lecet. Karena sekali terluka, bekasnya akan susah sekali hilang. Saya sebisa mungkin membentengi hati saya dengan dinding tebal. Siapa-siapa yang bisa masuk, adalah siapa-siapa yang saya perbolehkan. Bagi saya menjadi bodoh dan ceroboh ketika berhubungan dengan cinta adalah bukan tindakan bijak. Terlalu kekanak-kanakkan. Saya ingin cinta yang dewasa. Manis tanpa pemanis. Paham sebab-akibat. Terencana. Tahu tujuannya ke mana. 

Mari berencana! Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan bertingkah ceroboh tanpa perhitungan. Bercintalah dengan bijak. Jatuh cintalah dengan pintar. Jatuhnya walaupun sakit, tapi sudah sedia obat merah. Cintanya walaupun tulus, namun tidak buta. Kalau kamu masih tidak peduli untung-rugi, itu bukan cinta namanya. Itu main monopoli.

*

Saya pernah mendamba sebuah cinta yang datang secara tiba-tiba. Dibawa oleh seorang pria asing yang saya kenal tanpa sengaja di sebuah bandara.

Pria ini membawa satu ransel besar berisi hidup yang tak saya kenal. Hidup yang tanpa jadwal. Hidup yang penuh dengan kegilaan. Dan dulu, dulu sekali, saya pernah berkeinginan untuk mencintai sesuatu yang seperti ini. Sepertinya. Sesuatu yang tak terprediksi. Yang berbahaya. 

Pria ini menjanjikan saya sepaket surga beserta nerakanya. Dia bilang, dia akan sewakan sepasang sayap kalau saya ingin terbang. Tapi jatuh dari ketinggian seribu adalah resiko yang harus saya tanggung sendiri. Dia tidak mau campur tangan.

Saya menimbang lama.

Apakah ia kekeliruan yang menyamar sebagai pilihan yang benar?

"Ayolah! What's so scary about going on a trip with a stranger?"

"It's scary. SO scary. Aku nggak kenal kamu. Bagaimana kalau di tengah jalan nanti tiba-tiba kamu ngaku sebagai penjual organ dalam? Dan barang-barang yang ada di dalam tasmu adalah pisau daging?"

"Oh c'mon! I'm not that poor! Aku bahkan takut lihat darah. Pisau daging? My bag is full of clothes, book, paper, trash, whatever. Look. Oh, and some underwear. You wanna see that too?"

Saya tersenyum. "People say a villain is always charming. To be honest, I'm afraid of you."

"So, after judging me as someone who involves in some kind of organ selling and stuff, you then confessed that I am a... charmer? Well, I don't know how to respond to that, but I guess... "Thanks"? Is this backhanded compliment your way of saying "Yes, I'll travel with you"?"

"Mmm. Nope."

Dia mengerang kecewa.

"Hey, here's the deal. Okay? This invitation won't be like a lifetime decision. This is either going to be your best or worst choice. You decide. But you don't have to commit anything to me. It's not like I'm proposing to you or anything. Right? If you think I am this annoying jerk who, perhaps, likes to peep in while you take a bath, I'm not like that by the way, and you want to go home right away, then go. I am not going to restrain you or anything. You can do whatever you want. But, please. Just give me a chance to let you see that the world isn't really that bad of a place. You just have to travel a little bit far from your comfort zone, and see. That there are so much life lessons that you can just... breath in from a new place. Doesn't it sound like a better plan than going home and mourning and writing a cynical poem about love?"

Saya memandangnya lama.

"And talking about "what if", who knows if this whole deal of going-on-a-trip-with-a-stranger can cure your cynicism about marriage? Hey, we could even fall in love, get married, and have a baby in the middle of this unplanned journey."

Saya nyaris tersedak.

"So... yes?"

*

Saya pernah bermimpi menemukan sesosok asing yang ketika pandangnya saya temukan tanpa sengaja, saya tak perlu buru-buru memalingkan muka. Entah dengan kekuatan magis apa, senyumnya mampu membuat saya berangan-angan akan sebuah petualangan.

Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya karena saya, pernah, tak menyenangi sebuah kepergian.

**

Sunday, November 2, 2014

Definisi Mutlak


Summer Watercolor by kizistock

Ketika hijau, oranye, dan ungu belum memiliki nama, bagaimana orang-orang jaman dahulu menyebut campuran warna biru dan kuning, kuning dan merah, serta merah dan biru? Bagaimana mereka mendefinisikan warna-warna asing tadi? 

Malam ini, saya ibarat orang-orang masa lampau yang tengah kebingungan mencari sebuah nama. Definisi mutlak dari campuran berbagai macam rasa. 

Dan ibarat pula palet, hati saya rasa-rasanya sedang kejatuhan sekaleng penuh cat hijau, oranye, dan ungu dalam waktu yang bersamaan. Apa warna yang tercipta setelahnya? Mungkin hitam. Mungkin pula coklat pekat. Yang jelas, yang saya tahu, mereka bukan warna cinta. 

Ketika kemudian saya mencoba mendeskripsikan warna oplos tadi ke orang-orang asing, dan lalu mereka berkesimpulan bahwa warna di palet saya adalah merah muda, merah semu, merah hati dan merah-merah lainnya, apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya lakukan ketika orang-orang ini mencoba mendefinisikan mutlak apa yang ada di palet saya ketika bahkan saya sendiri, si empunya palet yang kejatuhan tiga kaleng penuh cat, sedang kebingungan memberi nama untuk warna oplos tadi. 

“Mereka agak ungu. Birunya lebih dominan. Tapi ada sentuhan merahnya juga. Kuningnya agak ketutup sih. Hijaunya tapi masih terlihat.”

“Merah muda itu pasti.”

“Iya, merah semu mereka.”

“Kalau menurutku sih merah hati.”

Kenapa harus merah?

Kenapa harus merah ketika saya jelas-jelas bilang “..birunya lebih dominan..”?

Sayakah yang buta?

Atau mereka yang tuli?

Padahal  mereka jelas-jelas bukan si pemilik palet. Padahal mereka jelas-jelas tidak melihat bagaimana kaleng-kaleng cat tadi tumpah, melebur jadi satu, dan membentuk warna baru.

Lantas mengapa mereka begitu yakin kalau warna ini merah?

Mengapa beberapa manusia begitu senang meletakkan label mutlak pada hal-hal yang mereka belum ketahui secara pasti? 

Terlebih, jika hal-hal tersebut tidak mereka alami sendiri.

Dan haruskah saya melabeli, mendefinisikan mutlak, warna di palet saya? Haruskah saya mencarikan ia nama?

Misal saya sedang mencari campuran cat yang pas untuk mewarnai sekuntum mawar, haruskah saya mewarnai satu-satunya mawar di kanvas saya dengan warna oplos yang saya tidak tahu namanya tadi hanya karena palet saya ‘terlanjur’ kejatuhan mereka tanpa saya minta? Haruskah saya mewarnai satu-satunya bunga mawar di lukisan taman yang sedang saya buat dengan warna oplos tadi, hanya karena beberapa manusia melabeli ia “merah” dan merah adalah warna yang pas untuk sekuntum mawar?

Selain itu, mengapa beberapa manusia begitu senang mencari tahu alasan apa-apa yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan mereka? 

Saya tidak suka warna oplos ini.

Kenapa? Kenapa tidak suka? Kenapa membencinya?

Ya saya tidak suka. Saya tidak ingin melukis dengan menggunakan warna ini. 

Kenapa tidak dicoba dulu? 

Kenapa saya harus gambling untuk hal-hal yang jelas-jelas saya benci?