Sunday, April 13, 2014

Pukul 2 pagi dan tulisan tanpa rencana

Photo by Julia Trotti

Saya menulis ini dengan mata setengah mengantuk dan pikiran yang entah ke mana. Saya benar-benar ingin tidur namun kepala saya menolak. Ia, si kepala, memerintah saya dengan seenaknya untuk menulis di blog ini. Tentang apa saja, katanya. Sungguh menyebalkan.

Saya ceritakan saja tentang beberapa hal yang terjadi belakangan ini ya? Semoga ada manfaatnya untuk yang membaca. Kalaupun Anda ragu, atau takut-takut kalau waktu Anda terbuang percuma, berhentilah membaca di baris ini. Saya janji tidak akan tersinggung. Percayalah, saya pun tak akan semurah hati itu menyerahkan waktu-waktu saya yang berharga untuk membaca postingan orang setengah mengantuk.

*

Kemarin Bapak menelpon saya pukul 20.30. Telpon-telpon yang masuk di jam-jam tidak umum seperti ini selalu membuat saya panik. Kenapa tidak umum? Karena Bapak jarang menelpon lepas pukul delapan malam. Dan sepanjang yang saya tahu, telpon-telpon di jam-jam tidak umum ini biasanya berujung dengan kabar-kabar yang buruk. Itulah mengapa saya terdiam sejenak sebelum mengucap kata, "Halo?"

Suara Bapak terlantun ceria seperti biasanya dan itu kurang lebih membuat saya mereka indikasi-indikasi dini bahwa berita yang akan disampaikan setelahnya tidak akan terlalu buruk. Setidaknya mereka tidak akan bersinggungan dengan kata  'kecelakaan' atau 'kematian'. Gelombang panik itu pun surut.

Bapak bercerita, Bapak akhir-akhir ini sedang sedih dan kalut. Pasalnya adik laki-laki saya yang sekarang kelas 3 SMP ternyata jarang belajar dan sukanya main. Bapak bingung bukan buatan. Saya yang  dicurhatin pun ikut sedih. Saya tidak suka melihat Bapak pusing. 

Dalam sesi curhatan-anak-Bapak ini, saya memberi Bapak beberapa saran. Saya tidak yakin saran-saran kepunyaan saya itu manjur untuk diterapkan. Pasalnya saya tidak mengenal betul bagaimana adik saya tumbuh. Saya hanya mengenalnya sebagai anak laki-laki berseragam SD dan bermuka cemong. Membayangkan ia tumbuh menjadi bujang saja rasanya terdengar begitu janggal.

Saya merenung setelah telpon ditutup dan memikirkan cara-cara alternatif untuk mengajak adik saya kembali ke "jalan yang lurus". Yakni jalan di mana ia sadar bahwa belajar sebelum UN itu perlu. Namun cara yang menurut saya baik pun belum tentu baik untuk adik saya. Adik saya bukan saya. Tabiat kami ibarat puncak gunung dan dasar samudra.

Saya lebih mirip Bapak. Senang sekolah. Senang belajar. Ilmu bagi kami ibarat air dan obor. Tanpanya hidup terasa kering dan gelap. Saya dan Bapak senang meminum sari-sari ilmu pengetahuan dari buku-buku. Kami juga pecinta seni.

Adik saya lebih condong ke ibu. Ibu dan adik saya adalah orang-orang yang cool. Yang tidak suka hal menye-menye seperti membaca buku. Mereka lebih realistis. Lebih praktikal.

Sekarang saya -secara tidak langsung- dituntut untuk ikut ambil bagian dalam upaya pembujukan adik saya agar mau semangat belajar. Mengingat kami berada di pulau yang berbeda, hal ini tentulah tidak mudah. Kalau kami serumah, mungkin ceritanya bakal lain. Saya akan berlakukan segala macam taktik supaya dia mau membuka buku minimal 2 kali sehari. Saya wataknya keras dan galak (persis Ibu saya). Kalau disuruh untuk membantu orang melakukan sesuatu, malah kadang saya yang lebih semangat daripada orang yang dibantu. Begitulah. Maka untuk urusan ajak-mengajak adik saya ke jalan yang lurus ini pun tiada beda. Saya harus usahakan segala cara.

Yang masih jadi ganjalan adalah, orang tua saya ini lemahnya minta ampun di hadapan adik saya. Mungkin karena dia anak satu-satunya yang bisa mereka sawang (lihat), lantas untuk beberapa hal adik saya ini bisa dimanja bukan buatan. Misal untuk urusan mandi. Kalau tidak disiapkan air hangat terlebih dahulu, bocah ini tidak akan mau mandi. Atau kalau tidak disediakan makan, maka dia tidak akan makan. Mencuci piring dan menyapu pun tidak pernah. 

Saya pernah bilang, "Halah, yo wis to, Pak. Biarin nggak usah disediain makan. Kalau memang nggak mau makan, yo wes. Biar tahu kalau mau makan ya harus usaha sendiri. Mandi yo mandi dewe. Lha emang  idup mau kayak gitu terus? Emang dia mau sampai tua dilayanin orang tua? Biar sekali-sekali bocahe ngerasain susah."

Sambil menghembuskan nafas berat Bapak bilang, "Yo jangan, nduk. Kasihan..."

Lalu saya yang jungkir-balik senewen mendengar jawaban Bapak.

Teman-teman saya yang punya adik/kakak laki-laki bilang, memang susah memahami bujang-bujang yang sedang dalam masa-masa rebel seperti adik saya. Kalau dikerasin, takutnya malah kabur. Malah semakin nakal. Kalau dibiarkan saja, ya takutnya juga malah keenakan dan nggak nyadar-nyadar kalau dia sudah bujang. Sudah nggak seharusnya makan masih harus disiapin sama simboknya. 

Sungguh, baru kali ini saya paham kalau mendidik anak laki-laki untuk BENAR-BENAR jadi anak laki-laki itu tidak mudah. Lebih  rumit malah dari yang perempuan. Mungkin kalau anak gadis itu lebih susah dijaga ya. Kalau anak laki-laki lebih sulit dididik dan diarahkan.

Tiba-tiba saya jadi ikut-ikutan pusing seperti Bapak. Apalagi kalau ingat saya begitu ingin punya anak laki-laki. Dua lagi. Aduh, kayaknya saya perlu mikir ulang.

Ini random banget, tapi saya beneran penasaran. Kalau ada  di antara pembaca sekalian yang laki-laki dan merasa sudah melewati masa-masa rebel khas anak-anak baru gede, saya pengin tanya, apa sih yang harus dilakukan orang-orang di sekitar kalian kalau kalian lagi nakal-nakalnya? Dibiarkan saja? Atau bagaimana? Apakah rasa tanggung jawab kepada nilai-nilai di sekolah, orang tua, masa depan itu lambat laun juga bakal tumbuh di kepala kalian? Kalau iya, kapan? SMA? Kuliah? Kalau dari kacamata cowok, melihat kasus adik saya di atas, apa yang harus saya lakukan?

Hahaha. Tulisan tanpa rencana ini malah berujung curhat. Maaf ya. Ini asli saya ngantuk banget. Udah nggak bisa melek. Kapan-kapan saya akan nulis yang lebih berbobot.

Selamat pagi.  

No comments:

Post a Comment