Photo by Rona Keller |
Untukmu, pria bersahaja yang setia memeluk dan dipeluk rasa syukur.
Di manapun kamu berada.
Aku tak yakin surat ini akan menemukan jalannya untuk tiba di tanganmu. Pun sempat mengusik rasa ingin tahumu untuk menyempatkan diri membacanya barang sepatah dua patah kata.
Aku juga tak yakin apakah kau masih mengingatku. Kata orang, pria lebih mudah melupakan hal-hal yang dirasa tak perlu. Siapa tahu namaku terselip di dalam daftar 'hal-hal kurang penting' milikmu. Mungkin saja kan?
Aku juga tak yakin apakah kau masih mengingatku. Kata orang, pria lebih mudah melupakan hal-hal yang dirasa tak perlu. Siapa tahu namaku terselip di dalam daftar 'hal-hal kurang penting' milikmu. Mungkin saja kan?
Aku menuliskan surat ini pada dasarnya untuk bercerita. Dan (terutama) berterimakasih. Ucap yang tak akan pernah mampu kusampaikan langsung karena kau, mungkin, tak mengerti untuk apa.
*
Aku ingin berterimakasih pada pertemuan yang dengan baik hati sudah Tuhan rancang. Pertemuan yang dulu sempat kusesali, kubenci, kumaki, kuikhlaskan, dan pada akhirnya kusyukuri. Pertemuan itu, apa jadinya aku tanpanya? Aku bukan aku kalau yang kutemui saat itu bukan kamu. Pun mungkin sebaliknya. Walaupun, untukmu, aku tak yakin aku pernah membawa perubahan yang... baik. Aku merasa aku hanya selewat angin musim panas di hari-harimu yang sederhana. Sementara dalam hidupku kau menjelma jadi empat musim.
Apakah kamu sesantun yang aku pikirkan? Entah. Kau bisa saja lebih buruk dari yang kusangka. Atau mungkin lebih baik. Pada hidup dan cinta, bisa apa kita selain berjudi dengan miliaran kemungkinan? Tak ada.
Pada awalnya aku bingung, kalut, bahagia, dan marah. Aku, hatiku, sedang dirundung musim dingin tak berkesudahan. Lalu kau, tetiba, dengan sangat tidak sopannya memberiku sekarung kelopak Sakura, sepotong coklat... dan cinta. Lalu kemudian pergi.
Begitu saja? Begitu saja.
Kau pikir apa yang harus aku lakukan setelahnya? Bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa? Tolong jangan bercanda. Aku perempuan.
Aku mengerti betul alasan apa yang memaksamu untuk pergi. Pun aku paham hal ini bukanlah hal yang mudah untuk kau lakukan. Untuk ku terima. Kita terluka untuk menegakkan prinsip yang paling dihindari jiwa-jiwa muda. Terlalu naif kah?
Ali dengan susah payah menahan rasa sukanya dalam diam ketika ia belum siap meminang Fatimah. Aku pikir seharusnya seperti inilah dirimu bersikap. Cintai aku dalam diam. Atau pergi. Pergi saja yang jauh. Kubur perasaanmu rapat-rapat.
Sampai saat ini pun aku tak habis pikir, kenapa? Kenapa harus dikatakan? Kenapa harus repot-repot menanam bunga kalau sesungguhnya kau berniat untuk membeli tiket kapal, pergi dan tak tahu kapan akan kembali? Maaf, namun karena keputusanmu aku sempat pernah menganggapmu egois, bodoh dan kekanak-kanakan. Cinta? Apakah bisa disebut cinta kalau yang kau lakukan ternyata tak lebih dari sekedar melimpahkan beban lalu melarikan diri?
Aku memikirkan hal ini lama. Berulang-ulang. Dan setelah melalui perjalanan panjang melewati sesal dan benci, aku akhirnya memutuskan berlabuh pada kesimpulan bahwa, ya, kau bukan Ali bin Abi Talib. Dan aku bukan Fatimah az-Zahra. We make mistakes. All the time. And this is just one of them.
Prinsip ini begitu sulit ditegakkan. Dan kita, kau dan aku, perlu belajar. Banyak.
Lagipula selain memaafkan, aku bisa melakukan apa? Sakit hati itu mutlak. Despite your best efforts, people are going to be hurt when it's time for them to be hurt. Begitu kata Murakami.
Belasan bulan yang kau titipkan dalam genggamanku membuatku banyak merenung dan menangis. Kalau kau tahu ada berapa banyak malam yang kuhabiskan untuk meneteskan air mata hanya karena keputusan yang pernah kau buat, mungkin kau akan bersimpuh di hadapanku dan meminta maaf. After all, you are a good guy. Semesta mengerti.
Namun aku berterimakasih karena itu. Karena kau menitipiku belasan bulan dingin yang diam. Yang tak pernah menyertakan penjelasan. Yang tak pernah tahu kapan akan pulang. Aku berterimakasih pada rasa sakit hati yang pernah kuciptakan sendiri. Aku berterimakasih pada pemikiran-pemikiran buruk yang dengan sukarela mengantarkanku ke kesimpulan-kesimpulan baik.
Tidak ada yang murni bersalah dan disalahkan dalam kisah ini. Aku pun menanggung kekeliruan sama besar seperti yang pernah kau lakukan. Aku pernah menghilang. Begitu saja? Begitu saja. Aku tak yakin apakah kau acuh akan betapa jarang dan ketusnya aku membalas pesanmu, namun semoga kau mengerti penuh bahwa hal ini pun sebenarnya tak mudah untuk kulakukan. Aku menghormati prinsipmu, itulah mengapa aku melarang diriku sendiri untuk melakukan hal-hal yang bahkan begitu kuinginkan. Harus ada yang memulai untuk menarik garis, dan aku beinisiatif untuk melakukannya lebih dulu. Biar bagaimanapun juga, hubungan ini berbeda. Tanpa adanya batasan, lantas apa bedanya kita dengan mereka?
Aku harap kau mengerti tanpa perlu ku jelaskan. Semoga kesimpulan-kesimpulan baik itu menemukan jalannya ke kepalamu.
*
Aku berterimakasih karena telah kau sadarkan untuk semakin merapikan tujuan. Bahwa yang seharusnya aku cari bukan yang sempurna, namun yang menyempurnakan. Bukan yang hanya menyenangkan hati, namun juga yang menggenapi. Bukan yang hanya pandai menjumlah angka, namun juga santun dalam berkata-kata. Bukan cuma pasangan untuk saling cinta dan mengasihi, namun juga teman untuk berjuang dan berbagi. Bukan cuma yang sehati, namun juga semisi. Bukan cuma yang sejalan, namun juga setujuan. Bukan pemasung, namun pelindung. Bukan pengatur, namun penuntun.
Kau mungkin bertanya-tanya, kapan? Bagaimana kau mengajariku?
:) Tolong jangan lupakan kodrat bahwa aku perempuan. Aku adalah makhluk yang mampu memikirkan banyak varian kemungkinan dari hal-hal yang belum sempat kau katakan. Walaupun kali ini aku harus berterimakasih pada segala pemikiran baik yang hujan kirimkan padaku, setiap kali kepalaku mengingatmu.
*
Aku berterimakasih karena telah kau beri pengertian dan pembuktian akan paham paling dasar dari mencintai.
Melepaskan.
Kak Fa pernah bilang dalam bukunya bahwa,"...yang namanya cinta, rasa ingin membahagiakan seharusnya lebih besar dari rasa ingin memiliki." Kau tak membuatku bahagia, namun kau melindungiku dari tempat yang sangat buruk. Paling buruk. Aku rasa mereka bisa dipukul rata. Dan aku harus berterimakasih padamu untuk itu.
"Perlindungan selebih besar apa sih yang bisa ditawarkan seorang
laki-laki terhadap perempuan yang ia cintai selain melindunginya dari
api Jahanam?"
Aku angkat topi untuk segala usaha yang pernah kau kerahkan untuk mengalahkan ego dan nafsumu sendiri.
You are a man. And you live up to that name.
*
Perlu kau ketahui sebelumnya bahwa apa yang ada padaku sama sekali tak pernah kunamai "cinta". Aku tak ingin kau keliru menganggap 'kekaguman' yang sempat kuaspirasikan dulu justru bermakna lebih. Kau tahu, aku bahkan tak pernah mengerti akan bagaimana jalan pikiranku beroperasi. Ia terlalu rumit untuk dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri. Karenanya aku tak ingin buru-buru memutuskan apakah "ini" adalah "itu". Bukankah kau tahu bahwa Tuhan adalah Maha Pembolak-balik Hati? Kita hanya dua dari triliunan. Kita begitu kecil di hadapan-Nya. Dan bukankah kita juga paham betul bahwa sekali Ia berkata "Terjadi" maka terjadilah?
Semoga kau ingat apa yang pernah ku katakan siang itu di hadapan gelas jus alpukatmu.
"Hei, kita masih muda. Masih ada banyak tahun yang harus kita tempuh di depan sana. Siapa yang tahu dua atau lima tahun lagi kita akan bertemu siapa? Mungkin saja ada seorang perempuan muda berjilbab lebar yang juga seorang dokter gigi tengah menunggumu. Atau mungkin beberapa tahun mendatang ada insinyur dengan iman yang begitu mengagumkan tengah bersiap menemui ayahku. Siapa yang tahu kan? Aku rasa kita sudah sama-sama "besar" untuk mengerti bahwa ikatan semacam pacaran sesungguhnya tidak menjamin apapun. Perasaan "seberbahaya" cinta tak bisa ditali mati dengan ikatan serapuh itu. Karenanya, mari serahkan semuanya pada waktu. Berhenti menebar harapan-harapan yang belum tentu baik kepada seseorang yang belum tentu berhak. Kalaupun kelak kita saling menemukan satu sama lain di ujung perjalanan, mungkin memang begitulah seharusnya lakon ini dimainkan. Biar bagaimanapun, kita selalu butuh 'pergi' untuk menemukan 'pulang', bukan? Dan kalaupun tidak, mungkin ini hanyalah bagian dari perasaan-perasaan yang keliru. Yang memang perlu kita lewati sebagai proses kepindahan menuju perasaan-perasaan yang benar, perasaan-perasaan yang kelak mampu kita pertanggungjawabkan."
*
p.s.: Maaf, terlambat. Surat ini seharusnya tiba di bulanmu. Bulan kesayanganku.
No comments:
Post a Comment