Photo by Nishe |
May 28, 2013.
Perempuan itu berjalan pulang dalam keadaan lelah. Bajunya kusut dan matanya setengah mengantuk. Usai melambaikan tangan seadanya kepada seorang teman yang telah sudi mengantarnya pulang, perempuan itu membuka pintu dan menguncinya tanpa suara.
Malam itu dingin dan ia ingin mandi. Ia sempat terdiam tiga-empat menit untuk memutuskan apakah keramas di jam yang sebegini larut adalah pilihan yang tepat. Namun ia lelah. Lelah sekali. Ia ingin tidur cepat dan pulas. Dan kepala yang dingin dan bersih adalah opsi yang begitu menggiurkan. Maka ia putuskan untuk tetap keramas saja. Sedingin apa pun air di bak mandi kosannya.
Sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk merah, perempuan itu mendongak dan mendapati langit ternyata tak berbulan. Ia telah lama tidak berharap akan ada bintang yang mengintip satu dua. Bintang dan kota yang sibuk, adalah ibarat mata air di tengah ladang minyak. Mustahil dan menyedihkan. Tetiba, perempuan itu tersenyum dan teringat; akhirnya, malam ini perutnya kembali terisi nasi. Bukan gadoan mie instan, cabe hijau dan telur seperti tiga-empat hari yang lalu. Maka terpuji lah seorang teman yang sudi merogoh koceknya untuk membelikan perempuan ini sepiring nasi hangat beserta rempela dan hati bakar. Oh, dan tak lupa juga segelas besar es teh manis. Menjadi miskin selalu mengajarkan perempuan ini untuk menghargai lebih hangatnya uluran tangan teman dan tawa yang mereka bagikan. Teman adalah salah satu hal menyenangkan yang Tuhan cipta selain selimut serta kopi hangat di hari berhujan dan teh wangi melati di pagi yang cerah.
Segelas kopi pun diseduh, menemani perempuan ini berselancar di dunia maya. Ia duduk bersila dengan kipas angin menyala meniup-niup rambutnya yang masih setengah basah. Lagu "Alaska" dari Sky Sailing pun kemudian mengalun. Kegiatannya mengetik terhenti. Lagu ini, entah dengan sihir apa, selalu berhasil membuatnya terbayang akan sebuah perjalanan panjang menuju rumah. Ah, ia rindu duduk dekat jendela di dalam bis kota tua. Menikmati udara yang semakin dekat menuju rumahnya, justru terasa semakin dingin. Ia rindu rambutnya dipermainkan angin yang masuk dari jendela bis yang terbuka. Dan matanya yang penat mencoba merekam apa pun yang ia lewati di jalan menuju pulang.
Kopi hitam panasnya ia sesap dua kali. Dan perempuan ini mulai jenuh. Kipas angin yang sedari tadi menari menerbangkan helaian rambutnya kini mulai mengirimkan harum bunga. Itu lah mengapa ia begitu cinta pada pilihan keramas sebelum tidur. Ia selalu merasa lelap di padang Lavender.
Ia pun memejamkan mata di depan kipas angin tuanya yang berputar pelan. Membiarkan rambutnya menari-nari. Membiarkan pula pikirannya ikut berdansa. Dengan ingatan-ingatan lalu. Dengan harapan-harapan yang belum tentu nyata. Pikirnya melayang pada bagaimana hari ini dimulai. Hujan. Dan ia terpaksa mengeluarkan payungnya yang masih baru. Lalu sore yang ditutup dengan tawa bertemu teman lama. Dan malam yang diakhiri dengan perut kenyang dan lambaian tangan. Oh, serta janji untuk bertemu lagi di perpustakaan esok pagi.
Hari ini tidak sempurna. Tentu tidak. Masih ada hari lain yang lebih membahagiakan. Namun pikirnya merekam hari ini dengan seksama dan hati-hati. Wajah-wajah yang ia temui hari ini. Obrolan-obrolan ringan di sela-selanya. Terkadang menikmati hari ini sebagai HARI INI adalah sesuatu yang sangat melegakan. Tak perlu berpikir terlalu jauh. Tak perlu menebak bagaimana hari esok akan dimulai. Apakah dengan hujan yang sama? Atau matahari sudi menggantikannya? Rencana-rencana adalah teman baik perempuan ini. Namun malam berkonspirasi untuk mengenyahkan mereka sejenak dari kepalanya. Malam ini saja. Sampai nanti fajar hadir lagi. Dan rencana-rencana itu boleh kembali.
Lalu lagu "Lego House" diputar. Dan ia selalu merasa perlu menangis tiap kali lagu ini mampir di telinga. Tanpa pengecualian untuk malam dengan rambut setengah kering seperti sekarang. Lagu ini mengantarnya pada kenangan-kenangan lalu tentang cinta yang kemarau. Dan malam ini, ia merasa ingin jatuh hati lagi pada pemuda yang dulu pernah membawakan sepatunya ketika naik gunung bersama. Pemuda itu, apa kabarnya? Perempuan ini rindu. Ya, rindu pada pemuda kecil yang senyum manisnya sanggup membuat semua murid perempuan di kelasnya jatuh cinta. Atau untuk gitaris berkacamata yang ia kagumi mati-matian di sekolah menengah dulu. Dan bukan, bukan rindu pada pemuda lurus yang ia kenal cuma beberapa bulan saja. Rindu untuk yang belakangan ini kini menjelma jadi perasaan muak. Tak paham bagaimana ia bertransformasi. Yang ia tahu, kini ia benci.
Cinta akhir-akhir ini menjadi objek yang begitu membosankan untuk ditulis. Itu lah mengapa Twitter-nya kini sepi dari ocehan ala gadis kasmaran. Entah. Ia merasa tak lagi harus peduli pada hal menye-menye seperti jatuh cinta. Sejatinya, belakangan ini ia lebih menyenangi status sebagai perempuan patah hati. Ia berpendapat, perempuan yang patah hati adalah perempuan yang kaya.
Perempuan ini membuka mata, dan masih membiarkan kipas angin tua itu meniup rambutnya pelan-pelan. Ia merasa berterimakasih untuk hari ini. Untuk hujannya, untuk teman yang esok, lusa, beberapa bulan yang akan datang mungkin akan saling meninggalkan dan berpisah. Berjuang untuk hidup masing-masing. Mimpi masing-masing.
Ia berterimakasih untuk kesadaran yang walau pun datangnya terlambat namun setidaknya mampu menyelamatkan ia dari jatuh cinta yang membodohkan. Ada nama yang harus dikubur rapat-rapat. Ada rantai peristiwa yang harusnya dilepas. Dan ada ikatan yang seharusnya tak pernah ada. Perempuan ini akan mencoba menghapus mereka bersih-bersih. Tanpa noda. Seperti papan tulis baru.
Hari ini ia berterimakasih, pada hangatnya hati sekumpulan kawan. Yang
mana di sana, tawa dan bahagia justru bermuara pada hal-hal remeh dan sederhana. Pun hari ini ia berterimakasih, pada hidup yang masih setia memeluknya erat. Sehingga ia masih bisa merasakan keramas sebelum tidur, ditiup pelan-pelan oleh kipas angin tua, dan lelap dengan rambut wangi bunga.
No comments:
Post a Comment