Friday, April 5, 2013

Berterimakasih



Credit to the owner

Mereka mungkin sering dilupakan jasanya oleh sebagian besar dari kita, namun malam ini saya ingin sekali berterimakasih pada semua pemusik dan penyanyi yang musik dan suaranya memenuhi daftar mp3 di handphone saya. Dan semua penulis yang tulisannya pernah saya baca entah itu dari blog, novel, twitter, tumblr dan lain sebagainya. 

Tanpa musik-musik itu, atau tulisan-tulisan hebat mereka, saya bukanlah saya yang sekarang. Saya percaya pengaruh mereka pada cara pandang saya terhadap hidup adalah sama besar dengan apa yang orang-orang sekitar coba bawa dan tanam di dalam kepala saya. Saya dengan tulus berterimakasih karena mereka ada. Karena karya-karya hebat mereka telah membantu saya melewati banyak hal. Membantu saya untuk berpikir lebih bijak sebelum memutuskan sesuatu yang besar. 

Sebagai seseorang yang mencintai kesendirian dan rasa sepi, musik-musik di mp3 saya ini adalah sahabat yang begitu setia. Mereka mampu dengan mudah menenggelamkan saya ketika saya sedang tidak menyenangi lingkungan yang sedang saya hadiri. Yang mungkin bising. Yang mungkin dipenuhi orang-orang asing. Musik-musik itu pun, sering kali membuat saya menyadari hal-hal yang mungkin terlalu menyedihkan untuk saya ingat. Yang ingin sekali saya kubur dalam-dalam walau pun sebenarnya perlu saya keluarkan sesekali. Mereka membantu saya menemukan semangat yang sempat hilang. Mereka yang lebih setia dari beberapa teman dalam menyembuhkan banyak luka. Mereka yang selalu ada ketika saya jatuh cinta. Mereka yang menemani sampai patah hati saya terobati.

Musik-musik itu, yang walau pun beberapa dari mereka bahkan tak pernah saya tahu siapa penyanyinya, secara tidak langsung justru berjasa sangat banyak pada kelangsungan hidup saya dibanding beberapa manusia yang sudah saya kenal lama. Itulah hidup. Lucu. Mereka yang jauh justru kadang mengajarkanmu lebih banyak hal dari pada mereka yang helaan nafasnya mampu kamu dengar dengan baik.

Dan tulisan-tulisan hebat itu... Ah, adakah guru yang lebih sempurna dari buku? Ucapan terimakasih adalah bingkisan yang begitu menyedihkan untuk semua renungan yang mereka bawa. Kadang saya berpikir, saya berhutang sebagian dari proses saya menuju dewasa pada tulisan-tulisan yang saya baca. Ya, begitu krusialnya mereka dalam hidup saya. Itulah mengapa saya selalu mengingatkan diri saya sendiri bahwa kemalasan saya dalam membaca akhir-akhir ini akan, cepat atau lambat, membuat saya jadi bodoh dan terbelakang. Secepatnya saya harus menemukan kembali semangat membaca saya yang hilang. Oh, dan juga semangat menulis. Belakangan ini mereka berdua menghilang begitu saja dari hidup saya. Dan tak ada sedikit pun keinginan dari saya untuk menemukan mereka kembali. Menyedihkan.

Berterimakasih pada hal-hal sederhana di sekitar kita adalah bukan hal yang bodoh. Mensyukuri keberadaan mereka adalah hal yang lebih baik lagi. Mumpung masih bisa.

Terimakasih, musik-musik di mp3 saya. Terimakasih tulisan-tulisan hebat yang pernah saya baca. Terimakasih karena telah membantu saya menjadi saya yang sekarang. Terimakasih karena telah mengerti semua suka dan luka yang pernah saya alami, kadang, lebih baik dari siapa pun. Terimakasih karena telah mengenalkan saya pada pemikiran-pemikiran baik dan menyelamatkan saya dari ide-ide buruk di saat-saat yang tepat. 

Terimakasih.

*

Friday, March 8, 2013

Anak Tanaman

Photo Shin Hyerim


Selepas makan bersama seorang teman tadi sore, tercetus sebuah pemikiran akan betapa nyamannya ketika kita bisa mengerjakan tugas se-memusingkan skripsi di rumah.

Ya. Bukan Kos atau Perpustakaan. Tapi rumah kita sendiri.

Tempat di mana kita bisa nyaman mengurung diri di kamar sehari penuh. Kalau kita buka pintu dan lapar, makanan sudah siap di meja tanpa perlu dicari. Butuh hiburan tinggal nonton TV. Dan dalam kasus saya, kalau saya capek pun kayaknya ada yang bakal sukarela mijetin tanpa harus saya minta.

Ah, rumah.... (T__T)

Saya adalah anak "tanaman" yang dibiarkan tumbuh sesukanya sesuai tuntunan alam semenjak lepas dari umur 10. Ini bukan berarti orang tua saya enggan menuntun saya dan lantas membiarkan saya tumbuh bebas. Keadaan yang memaksa demikian. Jarak lebih tepatnya.

Berhadapan dengan realita yang semacam ini membuat saya jarang "pulang" ke rumah yang sebenar-benarnya rumah. Tempat di mana ketika saya membuka pintu, saya bisa melihat Bapak yang sedang menjahit, Mamak yang sedang menonton televisi, dan atau berpapasan di halaman depan dengan adik laki-laki saya yang baru pulang dari bermain bola.

Saya baru sadar tadi sore kalau saya lelah. Obat stress yang saya butuhkan saat ini ya hanya "pulang". Pulang dan merasakan kembali peran jadi "anak manusia". Bukan "anak tanaman" yang bisa tumbuh liar dan makan ala kadarnya sendiri.

Ya, berdiri di atas kakimu itu perlu. Harus. Hidup yang baik tidak akan pernah terdiri dari siklus "bergantung pada orang lain" dan "bermanja pada kenyamanan". Namun, ketika kamu merasa kakimu telah cukup lama berdiri sendiri menghadang nyaris semua cuaca yang langit mampu tawarkan, ada kalanya kamu hanya ingin mencari waktu beberapa jenak untuk menemukan sebuah bangku kosong di pojokan taman. Dan duduk di sana tanpa berbuat apa-apa.

Saya hanya ingin seperti itu sekarang. Di rumah. Duduk. Diam. Dan tidak berbuat apa-apa.

Seandainya perjalanan pulang yang saya maksud mampu ditempuh dengan kereta, atau bis, atau kapal Ferry. Dan uang yang saya butuhkan tak lebih dari Rp. 300.000,- mungkin saya akan pulang saat ini juga. Namun, ada Laut Jawa dan beratus-ratus kilometer perjalanan menuju jantung pulau Kalimantan yang harus saya tempuh untuk menemukan rumah yang saya inginkan.

Baiklah. Anggap saja ini ujian.

Kelak, beberapa bulan lagi mungkin, semua lelah dan pusing yang diakibatkan perjalanan sunyi dari mengerjakan skripsi ini akan hilang tak berbekas. Dan induk saya pulang.

Saya nggak akan jadi "anak tanaman" lagi.

**