[October 2014]
Saya menulis dua post tentang "kesedihan" beberapa minggu yang lalu. Mereka saya tulis di tempat dan waktu yang berbeda. Dan berhubung mereka bertema sama, saya berniat untuk menggabungkan mereka saja. Mengingat saya menulis post yang kedua karena alasan 'lupa pernah menulis hal serupa sebelumnya', saya berkesimpulan kalau saya memang benar-benar ingin menulis tentang kesedihan.
*
Perempuan Penyuka Kesedihan
Saya adalah seseorang yang menemukan kesenangan di dalam hal-hal yang sedih. Saya adalah perempuan penyuka kesedihan.
Bersedih
sudah semacam rutinitas. Mengecapnya membuat saya senyum dan bahagia.
Beberapa orang menganggap saya menyedihkan dan butuh pengasihan. Saya
bilang, ini sih cuma soal selera saja.
Seperti halnya kamu suka pizza dan saya suka nasi padang.
Kamu ingin bahagia, saya senang berduka.
Tak ada beda.
Sejauh
peraturan yang mengharuskan seluruh umat manusia untuk hidup berbahagia
belum dilegalkan, saya ingin menikmati hidup dalam kesedihan yang sepi
ini dengan khidmat.
Dengan
catatan "hidup dalam kesedihan" bukan berarti saya senang jika
orang-orang terdekat saya kejatuhan musibah. Atau saya senang kalau
lamaran kerja saya ditolak terus-terusan. Bukan itu.
"Hidup dalam kesedihan" versi saya adalah hidup dalam perasaan sendu.
Tentu
tak sedikit yang menganggap bahwa hidup yang melankolis adalah hidup
yang sungguh tidak keren. Itu, saya kembalikan lagi ke masing-masing
orang. Seperti yang sudah saya bilang di awal. Ini hanya soal selera.
Entah
mengapa saya selalu merasa puitis ketika sedang bersedih. Mungkin itu
lah salah satu alasan mengapa saya begitu mencintai kesenduan yang gemar
merapat diam-diam ketika saya sendiri. Bagi saya menangis bukan bukti
bahwa seseorang itu pengecut. Seseorang itu lemah. Bagi saya menangis
adalah bentuk apresiasi akan kesedihan. Apresiasi kecil yang bisa saya
tunjukkan untuk kesedihan yang kerap dianaktirikan.
Kesedihan selalu berhasil membuat saya merasa lebih manusia.
Kesedihan selalu berhasil membuat saya merasa lebih manusia.
**
Mereka yang Menghargai Kesedihan
Saya
tidak bilang kalau pendapat ini salah. Saya cuma kurang setuju.
Saya
bisa jadi perempuan paling cengeng yang pernah kamu temui. Nomer dua setelah
adik bayimu. Tapi bukan berarti saya bisa menangis seenaknya di mana-mana. Saya
tidak gila. Saya hanya mudah tersentuh. Perempuan perasa. Nah, salahkah menjadi
perasa? Jawabannya tentu “Tidak”. Tapi teman-teman dekat saya mungkin akan
berpendapat lain, “Lha, kamu itu ‘perasa’-nya keterlaluan kok, ris. Nggak
lumrah. Terlalu sensitif. Lemah!” Lalu detik setelahnya, saya akan merasa jadi
orang paling tidak berguna sedunia..
Begitulah.
Saya senang menukar gelembung-gelembung kebahagiaan saya dengan
paku-paku milik ocehan pedas orang lain.
Sejak
lama saya berusaha mendeskripsikan sikap saya yang satu ini, baru malam ini
saya menemukan padanan kata yang tepat. Self-destructive.
Saya membawa ribuan bom bunuh diri di dalam kantung-kantung kasat mata yang
saya sendiri tak pernah tahu letaknya di mana. Dan kadang saya meledakkan
mereka dengan suka rela. Saya malah mikir, mungkin saya ini masokis. Masokis
dalam artian saya kerap menemukan percik
kebahagiaan ketika saya sakit hati. Bukan masokis yang senang dipecuti.
Ngomong-ngomong
tentang perempuan perasa, beberapa menganggap kalau perempuan-perempuan macam
ini seharusnya disimpan saja di dalam kandang emas. Tidak usah diperkenalkan
dengan dunia luar. Biar nggak usah dikit-dikit sakit hati. Tapi saya kembali
tidak sependapat. Perempuan perasa bukan berarti perempuan yang takut terluka. Salahkah
jika ia terlahir dengan hati yang lebih lembut dari hati manusia pada umumnya?
Entah
ya, tapi saya lebih senang menganggap orang-orang perasa ini adalah mereka yang
justru melihat kesedihan dari sudut yang sama sekali tidak menyedihkan. Mereka yang kebetulan menghargai kesedihan
sedikit lebih besar dari rasa bahagia. Tentu saja hal ini akan dengan mudah
dianggap tidak lumrah mengingat trend “pamer siapa-siapa yang lebih bahagia
dari siapa-siapa yang lain” kian menjamur di nyaris semua sosial media. Di
tengah masyarakat yang lebih mengagungkan kebahagiaan, mereka-mereka yang
menghargai kesedihan barang sedikit saja lantas sangat mudah dicap abnormal.
Tidak biasa. Asing.
Sebagai seseorang yang begitu sensitif, begitu mudah tersentuh, kutipan di atas begitu membantu saya untuk tidak melihat sifat saya yang satu ini sebagai kutukan. Bertahun-tahun saya merasa malu, merasa mati-matian bersalah karena saya begitu perasa. Begitu berbeda. Walaupun seharusnya itu tak perlu.
**
Dua post di atas pada dasarnya sama. Sama-sama menyiratkan bahwa saya adalah perempuan yang pandai dan senang bersedih. Sejujurnya kadang saya capek dengan generalisasi stereotype yang
menganggap bahwa orang-orang yang pandai bersedih (macam saya) adalah
juga orang-orang yang manja. Kadang kami, saya lebih tepatnya, hanya
ingin bersedih saja. Tanpa alasan yang jelas. Kadang ada malam di mana
saya tidur telentang, menyetel musik-musik sedih, dan tiba-tiba
menangis. Sesimpel itu.
**
Saya nemu gambar ini di news feed Facebook saya beberapa hari lalu.
Sebagai seseorang yang begitu sensitif, begitu mudah tersentuh, kutipan di atas begitu membantu saya untuk tidak melihat sifat saya yang satu ini sebagai kutukan. Bertahun-tahun saya merasa malu, merasa mati-matian bersalah karena saya begitu perasa. Begitu berbeda. Walaupun seharusnya itu tak perlu.
"Artists are more sensitive and more gifted to feel every emotion to the fullest... it is a gift that gives you the ability to create."
-Anon-
Yes. I wear my heart on my sleeve, I am sensitive, I cry easily and I am not ashamed of it.
Menangislah kalau memang perlu. Tak apa. Kamu manusia, bukan batu pondasi gedung-gedung pencakar langit di ibu kota. Yang harus selalu kokoh. Selalu kuat. Sampai kadang kamu lupa bagaimana rasanya meringkuk bisu di sudut kamar, ditemani beberapa tetes air mata dan kesedihan.
Maka mari, luangkan waktumu beberapa jenak untuk menghargai kesenduan. Karena tanpanya, apalah arti kebahagiaanmu selain toples-toples cantik berisi air tawar.
Hambar.
**